Sadrah: Tinjauan Isu Kemiskinan Struktural dari Kacamata Sinema

0
176
(bpmfpijar.com/Judith/Lulu)

Jikalau mempertimbangkan rintik hujan yang semakin lama semakin menderu ganas disusul dengan sambaran petir yang saling bersahutan, sebagian orang sewajarnya mengurungkan niat mereka untuk beraktivitas di luar ruangan. Namun, jika sedikit menengok di balik dinding tembok Selasar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada hari Jumat lalu (7/3/2025), nampak banyak wajah yang samar terbalut cahaya redup hasil pancaran dari nyala proyektor. Semua sorot wajah itu nampak bersuka cita menyaksikan deretan film-film pendek yang sudah mulai diputar beberapa menit yang lalu, tak peduli hujan deras mengguyur deretan motor mereka yang parkir berjejer di utara maupun di timur Selasar.

Beberapa orang bercengkrama dengan kawan sebaya sembari menghisap sebatang rokok. Sebagiannya lagi mengambil hidangan yang sudah disiapkan di atas meja, baik gorengan maupun minuman sebagai pendamping untuk menikmati film tersebut. Mereka terlelap oleh suasana film yang disajikan oleh tim penyaji dan terbelenggu akan tiap lantunannya. Dari kelima daftar film yang sudah siap tayang, salah satunya yang paling dinanti-nanti ialah Sadrah. ‘Sir. Bandera’ dan Zalina Maryam selaku sutradara berirama memercikan api-api semangat dalam menggelorakan film Sadrah ini.

“Pada pertama kali membuatnya, kita menyadari ternyata hidup ini tuh penuh privilege, tetapi luput menyadarinya, film ini dibuat agar bisa merefleksikan sikap masing-masing,” ucap Zalina.

Terbelenggu akan Kebebasan!
Mulanya, film ini menyajikan satu ruang yang penuh kesesakan sebagai saksi bisu bahwa ini adalah potret yang nyata dalam realitas sosial. Ruang yang hadir tampak tak pernah sejalan dengan harapan-harapan yang digaungkan ke langit dari mereka. Hal ini pun sama dengan lantunan yang dibunyikan mengisyaratkan akan terbelenggunya akan kebebasan.

Keluarga ini tercacah menjadi Dadang sebagai suami, Salwa sebagai istri, Caca adik si Salwa, dan tak lupa turut serta ayah si Salwa. Sebagaimana Zalina Maryam terangkan bahwa mereka punya peran masing-masing. Terlihat pada Caca yang berkeinginan untuk bersekolah dengan ditunjukkan pada setiap adegan selalu membawa buku, namun terpaksa mengurungkan niatnya karena mau tak mau harus membantu mengurus bapaknya yang sakit. Kemudian, ada karakter Dadang yang dulunya adalah seorang penjual ikan hias kemudian mengalami kebangkrutan, namun sampai saat ini masih dengan setia menyimpan akuariumnya. Sementara itu, Salwa bekerja sebagai tukang laundry pakaian, dapat dilihat dari banyaknya bon-bon yang berserakan di beberapa scene.

Melalui ruang yang tak bersekat ini, sang sutradara nampaknya ingin menggambarkan bahwa semua aktivitas keluarga hadir tanpa adanya makna dan hanya menjalani kehidupan yang hampa. Kehidupan yang hampa ini tergambarkan pada mereka yang disibukkan dalam mengais rezeki dari pagi hingga sore hari demi melanjutkan hidup. Potret dalam kehampaan ini seakan-akan berbicara kepada kita secara menohok bahwa ini merepresentasikan akan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural ini sejatinya tak mudah terputus rantai siklusnya dan akan selalu menghantui, sebab ‘mereka maju mentok, mundur mentok, ditambah lagi mau istirahat pun harus berdesak-desakan.’

Hal ini bersenandung dengan perasaan Salman, sang produser penggarap film ini. Terlihat jelas film ini memberikan pesan tersirat problematika dalam masyarakat. Pesan itu memberikan penjelasan bahwa terdapat ketidakbecusan kinerja otoritas negara dalam mengatasi masalah sosial. “Ini sejatinya masalah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Jelas bukan mustahil untuk menyelesaikannya, mengingat memberikan kesejahteraan dan keadilan menjadi kewajiban kepada seluruh lapisan masyarakat yang harus dilakukan oleh otoritas negara,” harap Salman.

Ia akan selalu tertindas dalam hal apapun!
Dalam scene selanjutnya, terpampang raut wajah yang melemah dan pikiran berkicauan dari ayah Salwa sambil memandangi ikan yang berada di akuarium. Kelelahan ini sebagai dampak dari menjalani segala hiruk-pikuk yang terus berputar-putar di dalam ruangan yang penuh kesesakan, sedangkan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanya duduk di atas kursi roda sembari mengandalkan pangkuan tangan keluarganya. Dengan diberi saran oleh Caca agar bisa cepat sembuh dari penyakit yang diderita, Dadang merendam kaki ayah mertuanya itu dengan air garam. Selanjutnya, Salwa turut bergantian memperbaiki rendaman air garam yang telah dibubuhi oleh Dadang.

Tak ada dialog antara pria renta dan pasangan suami istri itu. Apa yang hadir di antara mereka hanyalah bayang-bayang ketakutan. Ketakutan ini bukan sebatas ketakutan biasa, melainkan ketakutan akan betapa tersiksanya hidup di dunia. Karenanya, layaknya ikan di dalam sebuah akuarium, mereka hanya hidup dan berkembang biak di sekitar situ saja. Tak dapat melihat luasnya samudra di berbagai belahan dunia, apalagi bersua dengan sesama ikan lainnya. Alhasil, timbul rasa penyesalan yang selalu hadir dalam benak kepala akibat melalui jalan yang sulit serta buntu.

Penyesalan yang selalu dialami di setiap harinya, tergambar dalam keinginan pasangan suami istri itu untuk segera menimang buah hati kecil. Penyesalan ini tersorot pada saat adegan Salwa dan Dadang yang selalu menghadapi gangguan terus menerus saat berniat untuk berhubungan intim. Adegan tersebut seolah mencerminkan penderitaan pasangan suami istri dari menengah ke bawah yang sama sekali tidak memiliki hiburan apapun selain melakukan hubungan seksual. Mirisnya lagi, mereka juga masih kesulitan untuk mendapatkan hal tersebut sebab selalu mendapatkan gangguan yang tidak terduga.

Kemiskinan kian terus dilanggengkan!
Film ini diakhiri dengan scene di mana mereka semua berdiri di sebuah akuarium. Suara keluhan, tangisan, sesak, juga puisi yang dilantunkan menggema seisi ruangan layaknya seseorang yang tak bisa keluar bebas dari tempatnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa masing-masing anggota keluarga sangat ingin lepas dari keadaan menyedihkan itu, namun segalanya menjadi sulit lantaran terjebak dalam jerat kemiskinan struktural yang nampaknya sistemik. 

Ketika menelusuri lebih dalam akan makna yang terkandung pada film ini, banyak adegan simbolis yang diselipkan di dalamnya, seolah sang pembuat film ingin memberi kita sebuah nuansa serta clue dalam memberikan interpretasinya. Sebagai contoh, terdapat scene dua ikan di dalam akuarium yang mati dan hanya menyisakan satu ikan kecil yang sehat. Dua ikan tersebut merupakan gambaran tersirat dari Dadang dan Salwa yang terjebak dalam kesulitan ekonomi dan tidak dapat keluar dari sana. Lalu, ikan kecil yang muncul di adegan terakhir merupakan simbol wujud harapan mereka untuk memiliki anak sebagai pemutus rantai kemiskinan struktural yang membelit keluarga mereka selama ini. 

Adapun terdapat scene yang menunjukkan semua anggota keluarga berdiri di atas akuarium kecil sembari menangis, meratap, dan juga membaca puisi. Adegan ini menunjukkan bahwa masing-masing anggota keluarga sebenarnya sangat ingin keluar dari keadaan yang menyedihkan itu, namun semuanya nampak sia-sia saja karena terbelit oleh jerat kemelaratan yang sudah mendarah daging. Hal ini dapat dilihat dari karakter Caca yang memiliki keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan, namun terpaksa mengubur mimpinya dalam-dalam lantaran harus mengurus ayahnya yang sedang sakit. Ia tidak dapat memberikan beban tersebut ke pada Salwa dan Dadang karena merasa tidak enak hati dengan keadaan keduanya saat ini yang sedang mengalami kesulitan secara ekonomi. 

 

 

 

Penulis : R. A. Julian Christy Kusumo Purbonegoro, M. Fauzi Akbar
Editor : Muhammad Arya Hakiim
Illustrator : Nabila Syefa Lulu Shafa
Fotografer : Judith Egalita Adliah

LEAVE A REPLY