(bpmfpijar.com/Benardinus Evan)
Disco Elysium yang dirilis pada tanggal 19 Oktober tahun lalu, dinobatkan sebagai salah satu gim Role-Playing Game (RPG) terbaik yang dirilis pada tahun 2019 oleh majalah PC Gamer. Dengan narasi yang bagus,dan fitur-fitur di dalam gim nya yang inovatif dan segar dalam genre RPG seperti sistem thought cabinet ditambah oleh world building yang menarik dan komprehensif memperkuat dunia yang ditawarkan dalam gim ini.
Penggambaran revolusi komunis yang gagal 50 tahun lalu di Revachol, kota yang menjadi latar gim ini, mengingatkan saya kepada peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang terjadi di Indonesia. Terutama dengan bagaimana peristiwa ini, meskipun sudah lama terjadi, tetap hadir dan “membayang-bayangi” dua masyarakat ini–Revachol dan Indonesia. Kendati, salah satunya diciptakan dan hanya hadir di dalam gim. Namun untuk memberi konteks akan mengapa dua masyarakat ini, Revachol dan Indonesia, dihantui oleh komunisme, saya rasa saya harus menjelaskan dengan singkat cerita yang diberikan di gim ini dan setelahnya, membahas tentang hantu yang menghantui dua masyarakat ini.
Menyelidiki Kasus Penggantungan
Di Disco Elysium, kita bermain sebagai Harrier Du Bois, seorang detektif amnesia yang menyelidiki sebuah kasus pembunuhan di Martinaise, salah satu distrik di Revachol. Lebih tepatnya, ia berusaha menyelidiki sebuah kasus penggantungan seorang tentara bayaran yang dipekerjakan Wild Pine, perusahaan yang memiliki Pelabuhan di Martinaise. Dibantu oleh Kim Kitsuragi, seorang detektif dari Precinct 57. Narasi yang diberikan kepada kita sebagai pemain bisa dibilang sangat sederhana: terdapat permasalahan dengan serikat buruh setempat, beberapa anggotanya mabuk dan membuat kegaduhan; serta seorang kontraktor keamanan dari perusahaan pelabuhan digantung di belakang Whirling-In-Rags, sebuah hotel di Martinaise.
Lima dekade sebelum gim dimulai, revolusi komunis terjadi di Revachol dan berhasil menggulingkan monarki yang berkuasa di sana. Sebuah komune dibentuk setelah itu, tetapi segera dijatuhkan oleh invasi aliansi negara-negara kapitalis yang menyebut diri mereka “Koalisi”. Revachol sejak itu telah berubah menjadi sebuah daerah administratif khusus di bawah Koalisi, yang memegang kendali kuat atas ekonomi lokal kota dan menjaga otonominya seminimal mungkin.
Pemain, sebagai Du Bois, berusaha menyelidiki kasus penggantungan ini dengan mencari petunjuk dan menanyakan karakter-karakter yang ada di Martinaise untuk mencari jawaban dari pertanyaan: Siapakah pelakunya?
Setelah mencari petunjuk di setiap lokasi di Martinaise, berinteraksi dengan karakter-karakter yang hidup di sana, kemudian kita mengetahui bahwa Ellis “Lely” Kortenaer, yang menjadi korban penggantungan, sedang berhubungan dengan Klaasje, perempuan yang sedang menetap di Martinaise, dan juga menemukan bahwa sebab kematian Lely adalah ditembak, bukan digantung. Tapi Du Bois mengungkap fakta yang tidak cukup sesuai dengan narasi itu. Dia menarik-narik benang dan kisah menggantung terurai, kemudian kita sebagai pemain mencoba mengikat benang-benang ini menjadi sebuah cerita yang sesuai dengan bukti yang ada.
Apakah yang membunuh Lely adalah Klaasje, dengan alasan yang belum diketahui, apakah Lely dibunuh oleh Ruby, anggota serikat buruh yang juga cinta dengan Klaasje? Apakah Lely ditembak oleh tentara bayaran yang lain? Apakah identitas Klaasje sama dengan apa yang dia utarakan ke kita? Apakah peluru yang membunuh Lely sebenarnya untuk Klaasje?
Namun, pertanyaan-pertanyaan ini seakan-akan tidak berguna saat kita bertemu dengan pelakunya, seorang perwira politik yang menjadi desertir dari revolusi komunis setengah abad yang lalu. Dia menembak penduduk Martinaise tanpa banyak alasan di luar,
“They are subjects of a decadent bourgeois world order and traitors to the working class.”
Walhasil, penyelidikan berdasarkan petunjuk yang diberikan dan pengemukaan motif penggantungan tidak berujung pada apa-apa. Rupanya, si pembunuh hanya seorang pertapa yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan karakter lain, bertabrakan dengan dugaan dan asumsi yang berdasarkan kepada petunjuk yang ada.
Revachol dan Hantu yang Membayanginya
Sepanjang Disco Elysium, kita diingatkan akan kehancuran dari revolusi komunis lima dekade sebelumnya. Mulai dari kondisi infrastruktur yang hancur lebur, penglihatan Du Bois akan bangunan-bangunan hancur yang digempur mortar 40 tahun yang lalu ketika skill Shiver-nya tinggi, atau ketika dia berdiri di pantai dan mengintip melintasi teluk dan melihat sisa-sisa kerangka benteng pertahanan komune. Ketika Du Bois sedang mencari petunjuk di sebuah ruko di Martinaise, ia menemukan sebuah bunker peninggalan revolusi, lengkap dengan brosur propaganda, senapan yang sudah usang, dan gambar Kras Mazov (pengganti Karl Marx di dalam gim). Disco Elysium terus-menerus mendorong pemain untuk mempertimbangkan isu-isu dan masalah yang ada di gim dari sudut pandang politik dan, seringkali, untuk memilih salah satu sisi. Namun, bisa dibilang sistem penyelarasan politik yang ada tergantung pada Du Bois dan, dalam ekstensinya, pemain.
Pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul dan bisa dipengaruhi oleh pemain: Apakah Du Bois seorang komunis? Seorang nasionalis Revacholian? Atau seorang ultraliberal yang hanya memikirkan uang? Du Bois dihadirkan kepada pemain sebagai seseorang yang kosong, baik pengetahuan tentang dunia ataupun ideologi-ideologi yang hadir di dunianya. Apakah permasalahan yang dialami Martinaise disebabkan oleh revolusi komunis? Atau kapital asing?
Namun, apabila diperhatikan tidak banyak karakter di Martinaise yang mengikuti atau minimal menyuarakan pandangan politiknya. Di luar karakter desertir yang dimaklumi, karena dia adalah perwira politik pasukan komunis Revachol 50 tahun yang lalu; Rene, seorang fasis tua yang meninggal di tengah game; Charles Villedrouin, pegawai dinas yang berafiliasi dengan Moralintern, dan Kim, yang membantu penyelidikan pemain, yang menyatakan dirinya seorang moralist (pengganti sentrisme di dalam game).
Semua peristiwa tersebut terjadi sejak Revachol dikuasai oleh sebuah Koalisi, yang dikendalikan oleh Moralintern–semacam pengganti PBB di dalam gim–yang hanya mementingkan stabilitas ekonomi dan status quo yang sudah ada, serta memertahankan dominasi kapitalisme di dunia Elysium. Di luar kapitalisme dan moralisme, tidak ada lagi tempat bagi ideologi lain hadir di Revachol atau Elysium, tidak ada revolusi di masa yang akan datang. Semua komunis sudah dipendam di pekuburan masal di Revachol setelah pasukan Koalisi mengambil alih di tahun ’08. Penduduk Revachol, terlepas dari pandangan politik apapun, menyerah dan tunduk kepada kekuasaan Moralintern.
Di Revachol, ideologi komunisme tidak dikalahkan, pengikutnya bukan dibujuk atau kecewa kepada komunisme dan mulai berhamburan menghilang. Melainkan, dibantai dan dihabisi oleh Koalisi. Komunisme dibuat tidak relevan dengan kekuatan dan kekerasan yang luar biasa.
Revolusi komunis Revachol hanya tinggal dalam memori kolektif warga negaranya. Serta hadir di bangunan rusak, lubang bekas ledakan artileri, dan bunker-bunker lama yang sudah lama disegel dan dibersihkan.
Salah satu adegan yang cukup terkenang bagi saya adalah ketika Du Bois merekonstruksi secara visual peristiwa penembakan masal tentara komunis oleh pasukan koalisi di sebuah gedung yang temboknya dipenuhi bekas peluru.
Dan, di sinilah komunisme tinggal: di masa lalu. Komunisme dilimpahkan ke masa lalu yang hampir terjadi. Dia tidak hanya belum terjadi, dia hanya hampir terjadi empat puluh tahun yang lalu.
Dari awal pembukaan Disco Elysium, kita berulang kali ditunjukkan bahwa Martinaise adalah luka yang tidak akan sembuh. Sebagai rumah bagi para pemabuk dan pekerja pelabuhan, distrik ini tidak pernah diserap lebih luas ke Kota Revachol dan semua upaya untuk menyerapnya telah gagal. RCM, kepolisian Revachol, bertengkar tentang siapa yang tidak perlu mengawasi Martinaise, ia hanya dibutuhkan sebagai tempat pelabuhan Wild Pines Group. Segala sesuatu tentang Martinaise hancur, dihantui, dan menginginkan, minimal, sebuah penyelesaian.
Du Bois tidak bisa melakukan apa-apa tentang ini, komunisme dan revolusinya sudah terjadi dan gagal di masa lalu. Dia hanya seorang opsir polisi, meskipun dia bisa saja memilih untuk bersikap revolusioner, atau mempunyai keinginan untuk mengubah kota Revachol.
Salah satu pemikiran yang bisa kita dapatkan di thought cabinet, semacam perk di gim RPG lain, yaitu Mazovian Socio Economics yang kutipannya cukup menjelaskan seberapa tidak mungkinnya komunisme hadir lagi di Martinaise, atau di dunia Elysium.
“0.000% of Communism has been built. Evil child-murdering billionaires still rule the world with a shit-eating grin. All he has managed to do is make himself *sad*. He is starting to suspect Kras Mazov *fucked him over* personally with his socio-economic theory. It has, however, made him into a very, very smart boy with something like a university degree in Truth. Instead of building Communism, he now builds a precise model of this grotesque, duplicitous world.”
Berinteraksi dengan karakter-karakter Disco Elysium, mencoba memahami apa yang mereka pikir dan harapkan, dan juga pemahaman mereka atas diri mereka. Bagi saya, seseorang yang lahir di Indonesia yang pernah mempunyai salah satu partai komunis terbesar di dunia lalu dihancurkan dan dihilangkan dengan cepat serta penuh kekerasan, kegagalan revolusi dan kehancuran beserta pembantaian Le Parti communiste d’Insulinde, partai komunis di Revachol beresonansi di dalam pikiran saya.
Mulai dari kesamaan akan kehancurannya, usaha untuk membuat sebuah utopia komunis, baik dengan cara revolusi atau “kudeta”. Jika di Indonesia, dengan pembantaian besar-besaran yang diarahkan kepada pendukung komunis, baik yang memang simpatisan komunis maupun yang didakwa sebagai pendukungnya. Memori kolektif yang hadir baik di Revachol juga familiar bagi saya, pemain, alam ekstensinya Du Bois, memilih opsi dialog yang cenderung memiliki substansi komunis. Responnya beragam; bisa dari dianggap tidak serius hingga sebagai omongan dari orang gila, seakan-akan komunisme adalah hal yang tidak masuk akal karena pernah merusak banyak sekali nyawa dan hidup di Revachol. Hal ini juga didorong oleh koalisi-koalisi negara yang menduduki Revachol, yang sangat kapitalis dan hanya menggunakan Revachol sebagai tempat mencuci uang atau mendirikan perusahaan dengan pajak yang sama sekali tidak ada.
Insulinde, Isola atau benua dimana Revachol berada di dunia Elysium, didominasi oleh Moralintern, dan dalam ekstensinya, Koalisi. Kapitalisme menjadi suatu hal yang konstan di Revachol, tidak ada ideologi lain yang bisa hadir di dalamnya. Baik kelompok fasis maupun komunis di Revachol tidak bisa berbuat apa-apa atas tatanan kekuasaan ini. Mereka sudah dibuat tidak relevan sejak gagalnya revolusi. Kelompok fasis dan loyalis yang juga melawan kelompok komunis bersama pasukan koalisi, ikut dibersihkan bersama dengan kelompok komunis setelah Revachol berhasil diduduki.
Bagi saya, peristiwa-peristiwa ini terasa familier dengan PKI dilarang, pendukung dan anggotanya dibunuh atau menjadi tahanan politik, dan komunisme menjadi tidak relevan di negara ini dibantu oleh narasi tunggal yang diberikan pemerintah Orde Baru dan Tap MPR yang melarang berdirinya partai komunis di Indonesia. Namun, memori kolektif dan trauma kolektifnya, dari segi bagaimana terjadi dan dibuat, berbeda. Jika di Revachol memori dan trauma kolektif yang hadir terjadi karena besarnya kekerasan dalam usaha penumpasan partai komunis beserta anggotanya baik dalam dan setelah revolusi, ditambah dengan banyaknya bangunan hancur dan peninggalan revolusi yang masih bisa dilihat. Sedang, memori dan trauma kolektif mengenai komunisme di Indonesia terjadi karena reproduksi yang terkesan artifisial, apalagi bagi saya yang lahir di tahun 2000an.
Memori dan trauma kolektif yang ada di sini dibuat dengan penyebaran narasi tunggal pemerintah secara sistematis, melalui buku teks pelajaran, monumen-monumen, dan situs-situs peninggalan G30S. Lebih lanjut, melalui pembunuhan-pembunuhan anti-komunis setelahnya, sampai dalam bentuk film yang berjudul “Pengkhianatan G30S PKI”. Bahkan juga melalui cerita-cerita sekitar peristiwa itu yang bersifat oral, yang semuanya masih hadir sampai sekarang dan menanamkan memori dan trauma kolektif mengenai komunisme.
Apakah Kita Masih Dihantui Komunisme?
Memang cukup aneh untuk mengaitkan kejadian serta dampak yang cukup nyata, yaitu G30S dengan sebuah kejadian di dunia fiksi yang berbentuk gim. Namun, setelah memainkannya berhari-hari, menjelajahi Martinaise dan isi-isinya, bertemu dan berinteraksi dengan karakter yang terasa hidup dan nyata, dan juga menyelami sejarah dari dunia yang di hadirkan di gim ini, semacam mengingatkan saya dengan sedikit peninggalan penghabisan komunisme yang saya rasakan di Indonesia.
Bermain Disco Elysium, saya terus menerus melihat bahwa, dalam satu sisi, Revachol dan Indonesia mempunyai kesamaan: Keduanya masih dihantui oleh peristiwa besar yang melibatkan sebuah partai komunis, dua-duanya menjadi tempat dimana kekerasan besar terjadi dalam merepresi dan menghancurkan seluruh aspek. Orang yang berafiliasi dengan partai komunis, baik yang benar-benar anggota partai maupun yang tertuduh, dengan korban jiwa yang tidak kecil, yang mengingatkan saya terhadap kekerasan-kekerasan yang terjadi serupa di Indonesia.
Untuk saya yang lahir di tahun 2001, komunisme, PKI, dan G30S adalah hal yang asing bagi saya, setidaknya sampai saya masuk sekolah dan mendapatkan pelajaran PPKN. Ketika kelas 6, saat saya berserta teman-teman saya diajak menonton film Pengkhianatan G30S PKI, seingat saya, meskipun saya tidak terlalu memperhatikannya. Namun meskipun begitu, lambat laun saya akan bertemu dengan dua narasi mengenai kejadian G30S, ataupun kekerasan anti-komunis yang terjadi di 1965-1966, yang satu narasi resmi dari pemerintah, dan yang satu narasi dari penyintas-penyintas dari kejadian-kejadian itu.
Historiografi dan narasi resmi dari pemerintah berfokus kepada G30S dan menyalahkan PKI atas meninggalnya enam perwira tinggi TNI AD, tetapi meniadakan kekerasaan yang dilakukan kepada orang-orang yang tertuduh anggota partai PKI dan kaum kiri lainnya yang terjadi dari tahun 1966-1968. Namun, kontra-narasi terhadap narasi resmi dari pemerintah juga terus hadir sampai saat ini, yakni dengan dua cara: pertama, melalui cerita-cerita perihal 1965-1966 yang ada di beberapa situs; dan kedua adalah cerita-cerita perihal kekerasaan di periode itu yang terus diturunkan antargenerasi (Leksana: 2019).
Narasi resmi pemerintah ini juga diperkuat oleh pembangunan monumen-monumen yang memperingati kemenangan pemerintah terhadap usaha kudeta partai PKI, seperti Monumen Pancasila Sakti, yang berisi kekejaman PKI seperti pembunuhan enam perwira Angkatan Darat. Monumen-monumen anti-komunis lainnya yang mengingat keberhasilan pemerintah menumpas perlawanan dari kelompok komunis, seperti monumen Trisula di Blitar, dan juga hari Pancasila Sakti yang dikenang setiap tanggal 1 Oktober. Monumen-monumen ini dibuat untuk mengenang kemenangan TNI dan pemerintah dalam menumpas pemberontakan PKI, bukan nyawa-nyawa yang hilang dalam operasi-operasi anti-komunis.
Di luar monumen-monumen yang dibuat pemerintah, banyak juga situs-situs, dimana residu-residu dari kekerasan yang terjadi di saat itu masih hadir di luar campur tangan pemerintah untuk merepresi narasi-narasi diluar narasi resmi yang diberikan. Saya teringat dengan perbincangan saya dengan teman saya yang keluarganya berasal dari Madiun saat SMA, dimana ia menceritakan kembali cerita dari ibunya tentang sebuah tempat di hutan dekat rumah keluarga mereka. Dimana orang-orang yang tertuduh anggota partai PKI dikumpulkan dan dieksekusi mati.
Situs-situs dimana kekerasan yang terjadi di masa lalu terus-menerus muncul saat kita menjelajahi dunia yang ditawarkan oleh Disco Elysium, Martinaise sendiri secara garis besar adalah situs itu. Reruntuhan bekas perang, eksekusi tentara, dan simpatisan komunis masih terus ada, meskipun sudah bertahun-tahun sejak kejadian itu terjadi. Situs-situs ini juga hadir di Indonesia, dimana masih banyak tempat-tempat, Jawa Timur misalnya, dimana situs-situs itu hadir entah dalam bentuk kuburan massal ataupun hutan dimana banyak terjadi eksekusi tertuduh anggota partai PKI maupun organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Ada juga semacam memori dan trauma kolektif di dua tempat ini, yakni sama-sama menjerumus pada kekerasan dan kesengsaraan yang terjadi. Baik tentang revolusi dan penghancuran revolusi komunis di Revachol, dan juga G30S dan kekerasan yang terjadi setelahnya. Meskipun karena narasi resmi dari pemerintah, memori dan trauma kolektif yang ada lebih mengarah kepada kekejaman dan kejahatan yang dilakukan PKI, dan juga mengarah kepada kejadian G30S. Dari memori dan trauma kolektif ini, menjadi semacam kebencian terhadap apapun yang berbau komunis atau PKI yang masih dipercayai banyak orang.
Dan anehnya, meskipun memori kolektif dan trauma kolektif mengenai komunisme, dan G30S hadir di pikiran-pikiran banyak orang, masih banyak yang tidak mengerti apa itu komunisme. Semacam membenci atau takut tanpa tahu sama sekali apa yang ditakuti atau dibenci. Banyak sekali kejadian dimana suatu hal dikaitkan dengan PKI atau komunisme, walaupun tidak ada hubungannya sama sekali dengan komunisme, seperti artikel berita yang dilansir dari tagar.id dimana Novel Bamukmin, Juru bicara PA 212, menganggap rumah sakit tanpa kelas adalah rumah sakit dengan program komunisme.
Apalagi isu PKI bangkit yang sering muncul bertahun-tahun, tanpa adanya kemunculan semacam “Republik Sosialis Indonesia” atau “Komune Indonesia”. Seperti di Revachol, komunisme tidak mungkin bisa hadir lagi di Indonesia, dalam bentuk atau proses apapun, sama seperti revolusi di Revachol, momentum untuk keduanya sudah habis di masa lalu, diselesaikan dengan ratusan atau jutaan nyawa yang hilang di kekerasan dan pembantaian. Tidak peduli versi atau narasi apapun mengenai G30S, yang pasti tetap sama, banyak nyawa yang melayang, dengan estimasi dari 500,000 sampai 1,000,000 melayang.
Maka, lebih tepatnya, maksud dari pertanyaan “Apakah kita masih dihantui komunisme?” bukan merujuk kepada kita masih dihantui oleh kemungkinan-kemungkinan akan terjadi lagi peristiwa semacam G30S. Namun, lebih tepatnya, apakah kita masih dihantui oleh peristiwa kekerasan besar yang pernah terjadi, yaitu kekerasan dan pembunuhan anti-komunis yang menghasilkan ratusan ribu jiwa melayang, dibandingkan komunisme itu sendiri, dan jawabannya adalah iya.
Ada yang harus kita benahi bersama-sama, mengenai masa lalu bangsa kita, terutama G30S. Hantu ini sudah dibiarkan bergentayangan terlalu lama, 65 tahun lebih tepatnya. Hadir hanya untuk kepentingan politik atau kambing hitam, yang siap direproduksi terus menerus. G30S, komunisme, PKI, adalah sebuah bagian dari sejarah negara kita. Yang mau tidak mau, mereka ada dan pernah hadir, terlebih kekerasan dan pembunuhan massal yang terjadi sesudahnya yang masih enggan untuk dibahas dalam diskursus publik. Namun, itu semua sudah terjadi 65 tahun yang lalu, memori dan trauma kolektif kita sudah terlalu lama mengendap di negara ini.
Masa lalu tidak pernah sepenuhnya hilang, di Elysium atau di Bumi; dia terus kembali menghantui kita. Dengan begitu, apa yang bisa kita lakukan?
Jika Du Bois, di Revachol, dengan segala beban masa lalunya, baik tentang masa lalunya yang tetap menghantuinya meskipun dia lupa ingatan, atau masa lalu Revachol dan Elysium, yang memulai kembali, kemudian menanggung beratnya masa lalu. Setidaknya, karena pilihan-pilihan yang saya buat dalam permainan saya, merekonsiliasi, dan berdamai dengan masa lalu, dengan sejarah Revachol, lantas menatap ke masa depan. Percobaan merekonsiliasikan peristiwa G30S dalam diri kita masing-masing, tanpa harus menunggu pemerintah mengadakan usaha rekonsiliasi, yang pernah hampir terjadi di tahun 2015 merunut apa yang diberitakan di nasional.okezone.com. Tidak hanya sebuah usaha rekonsiliasi, tetapi untuk berdamai dengan masa lalu. Dan akhirnya, menidurkan hantu mengerikan bernama komunisme, mulai berdialog mengenai kekerasan dan pembunuhan massal yang masih enggan dibicarakan sampai sekarang.
(Fadil/Haris/Ayom)
Referensi:
Gamer, P. (2019, 31 Desember). Game of the Year 2019: Disco Elysium. Diambil pada 17 Oktober, 2020, dari https://www.pcgamer.com/game-of-the-year-2019-disco-elysium/
Indonesian mass killings of 1965–66. (n.d). (2020, 19 Oktober). Diambil 20 Oktober, 2020, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_mass_killings_of_1965%E2%80%9366
Kurvitz, R. (2019, 08 Oktober). Welcome to Revachol! Diambil pada 14 Oktober, 2020, dari https://zaumstudio.com/2019/10/08/welcome-to-revachol/
Leksana, Grace, et al. “Remembering the Indonesian Genocide, 53 Years Later.” Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde, vol. 175, no. 1, 2019, pp. 67–79. JSTOR, www.jstor.org/stable/26605160. Diakses 19 Oct. 2020.
Syarif, E. (2017, 23 Desember). Novel Bamukmin: Rumah Sakit Tanpa Kelas Pertanda PKI. Diambil 18 Oktober, 2020, dari https://www.tagar.id/novel-bamukmin-rumah-sakit-tanpa-kelas-pertanda-pki
Yudhistira, A. (2015, 30 September). Jokowi Takkan Rekonsiliasi dengan Keluarga PKI : Okezone Nasional. Diakses 15 Oktober, 2020, darihttps://nasional.okezone.com/read/2015/09/30/337/1223674/jokowi-takkan-rekonsiliasi-dengan-keluarga-pki
Disco Elysium, ZA/UM, 2019.