Kadang kita perlu terbangun…
Untuk tertidur lagi…
Sering kita perlu terjatuh…
Untuk naik lagi…
Memang kita perlu berjalan…
Untuk berdiam lagi.
Jelas kita perlu hening…
Untuk bicara lagi.
Disini, dengan ini, lewat ini…
Aku ingin kesadaran yang bisa dibawa pulang
-Alex Abbad
Terik siang beradu dengan angin sore tepat saat ratusan manusia membentuk keramaian di depan pintu Jogja National Museum (JNM) pada Kamis, (7/7). Hawa yang baik untuk kembali merayakan secara langsung pameran seni kontemporer, ARTJOG MMXXII.
Hawa yang baik itu berhasil mengajak para penikmat seni berbondong-bondong datang dan berkelana dalam pameran seni tersebut. Beberapa tokoh seniman ternama, kaum media dan jurnalis, hingga orang-orang yang biasa nampak di televisi, semuanya bagaikan haus akan ruh estetika kembali dalam jiwa, terlepas apapun kepentingannya.
Heri Pemad dalam sambutannya memboyong tajuk “Expanding Awareness” sebagai tema ARTJOG MMXII. Dengan tema itu, rupanya membawa pula ‘kesadaran’ para penikmat seni untuk turut menyanjung karya-karya di dalamnya.
Tema tersebut seakan mendasar dan meluas bagi siapapun, baik perupa maupun penikmat. Para perupa menerjemahkan tema tersebut dengan berbagai jenis kesadaran dalam kehidupan manusia. Kemudian, para penikmat seni dengan ‘sadar’ menerima respons perupa dan mengapresiasinya.
Pameran seni dengan bangunan tiga lantai ini memungkinkan sekitar 300 instalasi tersebar. Banyak dan luasnya pameran seni ini tak dapat mengurungkan niat penikmat seni untuk berkelana. Sesekali mereka mengeluarkan gawai dan kamera untuk mengambil foto dengan tangan yang bergelangkan tiket ARTJOG MMXXII.
Terkadang, mereka pun berhenti sejenak untuk menelaah filosofi di balik cantiknya berbagai karya yang terpajang dengan elok. Sama halnya dengan saya yang tertegun menyimak sebuah lukisan cat minyak berukuran 200 x 280 cm di dinding lantai 3.

Lukisan tersebut adalah buah dari tangan berbakat seorang Ivan Sagita yang menyajikan posisi tubuh nyentrik dari beberapa perempuan.
“Lubang Keibuan” begitu Ivan memberinya judul.
Bukan hal sembarang dan gampang, rupanya lukisan tersebut adalah cara pelukis kelahiran 1957 itu untuk menyadari ironi yang meresahkannya. Saya masih ingat sorot lampu kekuningan di atasnya yang menyinari lukisan ageng itu.
Melalui lukisan itu, Ivan menerjemahkan keresahannya atas terma ‘kematian’ yang selama dua tahun belakangan ini terkesan menjadi hal yang remeh. Selama itu, hari demi hari kian menghilangkan rasa sepenanggungan atas kehilangan.

Perempuan sebagai satu-satunya kaum yang melahirkan manusia di dunia, seperti terkoyak hakikatnya. Itu pun karena “kematian dan penguburan bukan lagi hal yang sakral kemudian,” tulis Ivan dalam caption di sisi kiri lukisan.
Setapak demi setapak, saya mulai berjalan meninggalkan lukisan ageng karya Ivan Sagita dan menuju lantai 2. Di lantai ini, pandangan saya tertuju kepada satu instalasi menarik yang digeletakkan di ruang hitam.
Dengan alas tegel lawas, tersusun kursi Obgyn pembantu fertilitas. Yap, kursi Obgyn adalah kursi yang digunakan untuk melahirkan dari tahun 1910. Tepat di atas kursi Obgyn itu, benda panjang tajam layaknya duri tervisualisasi menusuk tubuh bayi mungil.
Sedangkan pada dinding, Jay Subyakto, sang perupa, menitipkan pesan singkat. Melalui pesan itu, ia menuliskan keprihatinannya atas populasi manusia terhadap bumi yang telah dan terus memberat. Namun, di sisi lain, manusia tetap tebal telinga dengan bumi.
Jay membawa ‘kesadaran’ kepada tembok itu dengan coretan sederhananya. Coretan itu ia tulis menggunakan bahasa Inggris dan akan saya coba terjemahkan secara lokal.
Samudera dilumuri minyak; lautan menghitam dalam masa yang lama; dan dersik otentik-cantik hutan dipenuhi bising gergaji mesin bergeming.
Melalui coretan itu, saya menangkap sedikit-banyak kesamaan antara instalasi Jay dengan lukisan Ivan. Dalam lukisan Ivan, ia meresahkan kondisi ‘kelahiran’ yang seolah terkoyak akibat musnahnya penggunaan kata ‘mati’. Kemudian, dalam instalasi Jay, ia berusaha menyinggung tingginya jumlah ‘kelahiran’ manusia yang tak seimbang dengan tempat berpijaknya manusia.
Bagi saya, peristiwa fertilitas yang diusung keduanya sama-sama memiliki perannya sebagai sebab dan akibat. Makna ‘kelahiran’ dalam instalasi Jay menjadi ‘penyebab’ atas beratnya bumi, sedangkan ‘kelahiran’ dalam lukisan Ivan berperan sebagai ‘akibat’ mengenai hilangnya makna dari kematian.
Tentu hal ini menjadi persamaan sekaligus perbedaan tersendiri bagi saya. Antara mengironikan ‘kelahiran’ atau juga mengironikan ‘akibat kelahiran’, keduanya sama-sama memprihatinkan.
Beranjak dari instalasi Jay yang tak berjudul tersebut, para penikmat seni, termasuk saya, kadang-kadang berhenti sejenak sebelum lanjut. Setidaknya, dengan tetap menggunakan masker, kami berusaha mengambil napas di keadaan yang masih serba terbatas.
Hal itu disebabkan oleh banyaknya instalasi yang menyanjung dan ramainya pengunjung. Terlihat sebagian wajah lelah terejawantah ketika menaiki dan menuruni anak tangga berwarna putih di ujung bangunan.
Dengan raut wajah lelah bercampur senyum yang merekah, untuk dapat sampai di lantai 1 saya pun harus mau menikmati tangga yang ada. Hanya di lantai itulah tersebar berbagai karya seni oleh para seniman muda. Selain itu, para penyandang disabilitas pun banyak terlibat, baik sebagai perupa hebat ataupun sebagai penikmat.
Visualisasi Manusia di Antara Kesadaran dan Tanpa Kesadaran
Keramaian penikmat seni juga terlihat memusat di sisi ujung lantai dasar. Beberapa kurator berdiri di depan lorongnya, tak sedikit orang bertanya kepada si kurator berwajah letih.
“Ini masuk langsung saja ya, Kak?” tutur sang penikmat seni yang segera menjadi calon pejalan di dalam ruang instalasi.
Memang, dari sisi luar karya yang satu ini cukup membuat orang bertanya-tanya tentang isi di dalamnya. Namun, dengan sedikit gelap dan lampu remang-remang kuning, calon pejalan tetap mampu membaca kertas penjelasan berisi narasi.
Kalau membaca baris penggalan narasi di awal tulisan ini, mungkin beberapa pembaca akan mempertanyakan korelasi dan maksudnya. Sebenarnya, penggalan tersebut tak lain merupakan narasi yang tertempel di depan lorong instalasi tersebut. Narasi yang sekiranya cukup mewakilkan maksud perupa tentang karya di dalamnya.
Dengan sedikit rasa ragu dan penasaran, saya merehatkan barang dan bekal di depan pintu instalasi. Perlahan-lahan suara narasi dari dalam ruangan berbisik samar seiring penikmat seni sebagai calon pejalan memutuskan untuk melepas kedua alas kaki. Suara narasi itu datang dari instalasi karya Angki Purbandono dan Alex Abbad yang berjudul “Catatan Pinggir Jurang”. Berbekal tema ARTJOG, Expanding Awareness, Angki dan Alex menggotong kisah perjalanan mereka mengenai kesadaran.
Seketika kegelapan menyambut, keresahan menghanyut.
“Bingung, resah, dan agak takut kala baru mulai menapakkan langkah di lorong,” ucap-ucap sekilas para pejalan usai mengunjungi ruangan instalasi tersebut.
Jantung kian berdenyut apalagi ketika mengetahui di dalamnya terdapat hampir 1000 bantal yang menyusun seisi ruangan. Dari jumlah tersebut, 250 buah diantaranya mengandung scanography milik Angki serta puisi ciptaan Alex.

“Rasa…rasa…rasa…,” tutur tersebut terus berdengung mengiringi audio narasi Alex dalam ruangan instalasi.
Para pejalan mengakui bahwa audio tersebut benar-benar terasa seakan membisik di belakang daun telinga. Hal itu sempat Alex singgung dalam obrolan pendek bersama tim BPMF Pijar. Ia berujar bahwa Angki dan dirinya dibantu oleh seorang kawan dalam pengerjaan audio narasi tersebut.
“Memang kalau masuk ke instalasi ini kita harus sendirian sih..,” belum rampung bicara sesaat dua orang lelaki tiba bersamaan.
Mereka terlihat baru saja usai mengunjungi ruangan instalasi dan datang menyapa. “Saya Sal Priadi, keren sekali instalasinya.” Sal sedikit menunduk dan menyapa, sedangkan seseorang di sampingnya terlihat tersenyum kepada Alex.
Setelah mereka bertegur sapa, tanpa basa-basi Alex juga melibatkan kami dalam tegur sapanya.
“Oh, perkenalkan ini Tofan yang membantu kami dalam pengerjaan soundscript,” sahut Alex mewakili perkenalan Tofan Iskandar, produser musik asal Jakarta. Hmm.., kalau begini saya tak lagi heran jadinya kalau seisi ruangan instalasi menjadi sebuah karya seni totalitas yang membekas.
Audio narasi yang telah tercipta berkat campur tangan Tofan, ternyata di dalamnya pula diikuti alunan musik lirih. Alunan tersebut turut menyapa para pejalan di dalamnya. Saya tak tahu pasti alat musik apa yang membentuk alunan megah itu, tetapi yang pasti mereka telah berbaur sempurna dengan suara narasi Alex.
Tidak menemui mandek, suara pendukung atmosfer pinggir jurang pula ditambahkan dengan pencampuran sempurna audio narasi dan alunan musik. Suara pinggir jurang itu terdengar persis selayaknya angin-angin yang berhembus di sekitar jurang sungguhan.
Betapa cantik dan apik dua hal tersebut saling melengkapi. Alunan musiknya seakan mengayomi para pejalan di tengah linglungnya perasaan. Apalagi ditemani suara pendukung atmosfer pinggir jurang yang berhasil mendetailkan suasana.
Perjalanan masih berlangsung, jalur sempit dari susunan bantal terus memutar hingga ke atas selayaknya tangga. Setiap langkah yang diambil menuju ke atas, seakan membawa keresahan mengenai eksistensi diri manusia.
Bantal yang melapisi seluruh isi ruang pun telah menimbulkan kesan jurang yang luas dan tidak terbatas selayaknya perasaan manusia. Rasa sedih, gelisah, takut, cemas, hingga resah terus tersusun sepanjang langkah menuju puncak.
Hingga di ujung perjalanan, nampak perosotan berwarna biru yang terjal jatuh menuju alas empuk di bawahnya. Beberapa pengunjung meyakini ketakutan mereka akan jatuh apabila harus berseluncur sebegitu curamnya. Sementara yang lainnya mendongak berani penasaran untuk mengikuti alur perosotan terjal tersebut.
Di bawah, alas empuk telah menanti dan siap menyambut para pejalan yang memutuskan untuk jatuh. Meskipun begitu, suasana di dalam instalasi Catatan Pinggir Jurang tetaplah campur aduk. Antara perasaan senang dan sedih saling mencelutuk. Kegalauan makin dirasakan, para pejalan berdiri lungak-lunguk.

Dua orang pada akhirnya menggelengkan kepala setelah menyaksikan perosotan dari atas. Mereka merasa ketakutan dan sedikit tersenyum getir menahan khawatir. Lampu yang menyorot di tengah ruangan cenderung membiru, seperti perosotan yang berhasil membuat kelu. Di antara gelisah juga kengerian berangsur, pada akhirnya beberapa pejalan memutuskan meluncur.
Berteriak, menahan kejut bersorak, hingga bisu mendesak. Hal itu saya akui sebagai bagian dari pejalan yang merasakan dua kali berseluncur. Ketika kali terakhir menunggangi perosotan biru itu, punggung tangan saya sempat terbesit akibat reflek menahan jerit.
Lantas, itu berarti kaum pejalan yang memilih meluncur, telah melawan rasa takut dengan curamnya perosotan. Mereka jatuh di antara bantal-bantal dan busa yang mungkin membuat mereka ‘menyadari’ sesuatu.
Namun hal itu, justru memungkinkan timbulnya pertanyaan lain. “Apakah kita tahu kalau kita sedang sadar, atau juga kita tidak tahu kalau kita sedang sadar?” Sebagaimana Alex menjelaskan intensinya dalam obrolan singkat.
Penyair yang juga dikenal sebagai aktor tersebut, menceritakan bahwa bantal dan kasur berperan erat bagi manusia untuk melakukan ritual sadar tak sadar secara bersamaan.
“Kita gatau kalau kita ini sadar, atau kita ini tidak tau kalau kita tidak sadar kita itu sadar. Di antara itu, kalau kami bisa pilih bentuk yang paling erat adalah bantal dan kasur. Sebab, disitulah masa ketika kita melakukan sadar-tidak sadar secara bersamaan.”
Dari berbagai perasaan yang didapat ketika ritual sadar dan tidak sadar, hanya saat tidur, menurut Alex dan Angki, manusia mampu menyelami dua hal tersebut. Ceritanya didongkrak lebih ketika Alex datang menuju instalasinya mengenakan busana tidur. “Well, kira-kira kenapa saya pakai piyama?”
Menilik Makna Baik Catatan Pinggir Jurang
Banyak filosofi yang tersimpan di balik lorong, perosotan, tiap bantal, audio narasi, dan seluruh kesatuan yang menyusun ruangan instalasi. Kompleksitas dan totalitas sepertinya menjadi kata yang pantas untuk dicetak tebal bagi karya Angki dan Alex.
Berbagai makna dipetik, ‘kesadaran’ manusia diketuk, sungguh cara kerja yang becik serta merasuk.
Selayaknya perjalanan kehidupan manusia, mereka seakan-akan banyak dikendarai berbagai keraguan. Hal itu terpampang nyata layaknya yang telah dialami selama dua tahun terakhir. Tentu adalah pandemi, ia menciptakan pertanyaan hingga keraguan dalam alam pikir manusia.
Berangkat dari keraguan itu, Alex mewartakan bahwa keraguan menjelaskan kondisi manusia yang sebenarnya tidak mengetahui apapun dalam hidup.
“Dan kalau tidak ada keraguan, menurut saya ga ada kebodohan di dunia ini.”
Baginya ‘kebodohan’ itu eksis saja. Dengan pendapat itu, ‘kebodohan’ bukan sesuatu yang sangat buruk. Bahkan, Alex mengakui bahwa ‘kebodohan’ dan ‘ketidaktahuan’ adalah kunci bagi perjalanan yang mereka desain selama 15 menit dalam instalasinya.
Selama waktu yang telah didesain sedemikian rupa, Alex menyisipkan hal secercah yang membuat pejalannya sedikit gundah. Pertanyaan itu mengenai cara kerja jalur untuk berjalan dalam ruang instalasi.
“It is very cynical karena kami memang cuma kasih jalan naik ke atas dan ketika sampai di atas, kalian gak bisa kembali,” ungkapnya.
Jelas, saat perjalanan instalasi hanyalah satu arah, dua seniman tersebut tak beri jalan kembali sudah. Hal ini menjadi pertanda pesan petuah. Bahwa manusia adalah bermimpi, melakukan ritual sadar-tak sadar. Kemudian, ternyata ‘linglung’ menjadi pesan penting dalam Catatan Pinggir Jurang.
Makin linglung ketika suara audio narasi yang berbisik-bisik terang, menjadi penuntun hingga menyeruak di kuping-kuping pejalan yang bersitegang. Pernyataan itu turut didukung dengan berani oleh Alex sebagai penulis narasi.
“Lalu ada narasi, narasi itu yang menuntun. Artinya, saya bermain Tuhan,” ya, audio narasi itu seakan-akan telah menjadi tanda persinggungan manusia dengan Tuhannya.
Atas hal itu, tak cukup heran kalau para pejalan akan meneteskan air mata, baik dalam perjalanan menuju ke atas ataupun saat sampai puncak. Saya memandang mereka sebagai orang-orang yang menerka emosi dalam dirinya ketika sedang berjalan di ruangan instalasi.
Lalu pada akhirnya, totalitas dan kompleksitas dari berbagai penggabungan media seni-lah yang mampu menggetarkan emosi para pejalan. Emosi yang memancing keadaan linglung datang bebas.
Dengan begitu, Angki dan Alex berharap perasaan ‘linglung’ yang timbul dalam instalasi dapat menciptakan kesadaran baru. ‘Kesadaran’ yang dimaksud adalah kesadaran yang mungkin saja sebelumnya tidak disadari bahwa tiap manusia pasti mempunyainya. Untuk menghadapi kesadaran, terdapat berlimpahnya perasaan. Tak jauh dari sana manusia memahami kehidupan.
“Bukan di Catatan Pinggir Jurang untuk merasa,” sedikit terkejut ketika mendengar pernyataan singkat itu keluar dari ucapan Alex.
Belum selesai, ia menyambung, “Namun, di sinilah tempatnya rasa yang merasa.”
Sekian banyak pesan bernuansa yang diterjemahkan Angki dan Alex lewat karyanya. Mereka tak ingin membantu, melayani, ataupun memerintah. “Kami hanya ingin menyampaikan kejujuran yang benar dan apa adanya tentang apa yang kami lalui,” tegas Alex memberi tahu.
Angki dan Alex juga tak banyak berkata detail karena sama seperti memaknai seni pada umumnya, penjelasan kompleks justru akan menghancurkan konteks. Mereka ingin penikmat instalasi secara sendirinya mendapatkan sesuatu. Entah apapun itu, setidaknya bawalah pulang sesuatu.
Kemudian hal itu baiknya telan, simpan, dan jadikan pelajaran, untuk evaluasi kehidupan.
“Sebab, kesadaran itu hak semua orang, sayangnya terkadang mereka tidak tahu bahwa mereka punya hak untuk itu.”
-Alex Abbad, Juli 2022-
Penulis : Melvinda Eliana A.
Penyunting : Dian Agustini, Michelle Gabriela
Fotografer : Parama Bisatya