Kebutuhan mahasiswa akan ruang kreativitas sangat penting, khususnya sebagai wadah untuk menyalurkan minat dan bakat, kebebasan berekspresi, bahkan aktivisme. Salah satu bentuk ruang kreativitas mahasiswa adalah sekretariat mahasiswa. FISIPOL UGM merupakan salah satu fakultas yang mewadahi aktivitas dan kreativitas mahasiswa dalam mewujudkan minat dan bakat mahasiswa melalui pelbagai jenis UKM Fakultas (UKMF) maupun himpunan mahasiswa departemen (HMD). Sekretariat HMD dan UKMF FISIPOL UGM memiliki julukannya sendiri, yaitu Sekretariat Bersama, dimana julukan tersebut seringkali disingkat sebagai Sekber. Sekber tak hanya difungsikan sebagai ruang kreativitas dan operasional HMD dan UKMF oleh mahasiswa. Lebih dari itu, Sekber memiliki arti mendalam bagi para mahasiswa, dimana banyak mahasiswa yang menganggap Sekber sebagai “rumah kedua”.
Intrik Renovasi Sekber
Pada tahun 2019 silam, terdapat kabar baik bagi seluruh mahasiswa FISIPOL UGM, yakni terdapat rencana renovasi Sekber. Saat itu, pihak Dekanat FISIPOL UGM melalui jajaran ketua HMD dan UKM Fakultas (UKMF) menyebarkan kuesioner yang memuat persetujuan terhadap renovasi Sekber. Mahasiswa FISIPOL UGM rata-rata menjawab setuju agar Sekber direnovasi, mengingat Sekber selalu dalam kondisi kotor dan berantakan. Namun dibalik renovasi terdapat “maksud lain”, dimana setelah muncullah grand design dari renovasi Sekber yang menjadi keinginan Dekanat. Rancangan renovasi tersebut menunjukkan perubahan besar Sekber. Tidak hanya pembersihan dan perubahan bentuk fisik, renovasi ini juga mengubah fungsi Sekber menjadi co-working space (CWS). Kabar baik berubah menjadi nestapa. Keputusan Dekanat atas renovasi Sekber memunculkan kontroversi karena dampak penghapusan ruang kreativitas mahasiswa akan mengganggu eksistensi HMD dan UKMF serta dinamika sosial-politik mahasiswa.
“[…] dari Keluarga Mahasiswa FISIPOL (KMF) menyebar kuesioner untuk diisi. Kalau tidak salah inti dari isinya begini, ‘bagaimana kalau sekre ini direnovasi?’, dan jawaban dari teman-teman mahasiswa FISIPOL itu rata-rata setuju untuk direnovasi karena di dalam sekre itu sangat kotor dan tidak terawat. Sedangkan, hanya sedikit mahasiswa yang menolak adanya renovasi karena mereka menganggap bahwa itu (Sekber yang lama) sudah cukup untuk mewadahi aktivitas dan kreativitas mahasiswa, (sehingga) tidak perlu adanya renovasi. Selain itu, tidak ada kejelasan (dalam komunikasi dari) pihak (Dekanat) FISIPOL dalam memberikan tempat pengganti sementara maupun permanen.” (MH, 2021)
Pengalihfungsian Sekber menjadi CWS didasari oleh agenda untuk menciptakan ruang inklusivitas dan kolaboratif bagi seluruh mahasiswa. Tujuan tersebut dicapai melalui penghilangan sekat yang memisahkan batas-batas teritorial setiap HMD dan UKMF. AL, mahasiswa FISIPOL tahun 2017 melihat hal tersebut sebagai upaya penghilangan urusan “rumah tangga” setiap UKMF dan HMD, dan nantinya dinamika organisasi itu sendiri.
“Setiap HMD dan UKMF memiliki urusannya masing-masing. Tidak selalu dapat bekerja bersama. Ya, memang ada kemungkinan kolaborasi, hanya saja kita memiliki “rumah tangga” masing-masing. Hilangnya sekat-sekat yang memisahkan antar HMD dan UKMF justru menghilangkan ruang privat mereka. Memang, dari grand design-nya memperlihatkan adanya dua buah ruang rapat. Tetapi, kita harus mengantri dan saling bergantian. Kita tidak bisa lagi melakukan rapat atau pertemuan secara bebas di FISIPOL” (AL, 2021)
Tidak adanya titik temu antara pihak Dekanat dengan mahasiswa melahirkan gerakan perlawanan. Beberapa kali, mahasiswa mencoba melakukan audiensi dengan jajaran Dekanat untuk menyampaikan aspirasi mereka terhadap penolakan “renovasi” Sekber. Meskipun demikian, Dekanat tuli dan buta dalam menanggapi aspirasi mahasiswanya; mereka tetap bersikukuh untuk menelantarkan nasib HMD dan UKMF dengan membangun CWS.
Pesan Singkat dalam Perlawanan Perebutan Ruang
Pembangunan CWS FISIPOL UGM menunjukkan adanya ketidakpedulian Dekanat terhadap nasib HMD dan UKMF, bahkan tindakan mereka juga memperlihatkan ketidakberpihakan kampus dalam mewadahi kreativitas mahasiswa.
“…Nah, ketika itu (Sekber) dihilangkan, bisa diartikan mematikan organisasi (HMD dan UKMF) jika tidak diganti tempat yang baru. Pada poin ini juga menunjukkan ketika mereka (Dekanat) tidak mewadahi organisasi dan kreativitas, maka aktivisme mahasiswa akan mati karena jantung mereka ada di sana (Sekber), ketika itu (Sekber) dihilangkan, habis sudah riwayat aktivisme mahasiswa.” (MH, 2021)
Peran Sekber memang begitu vital dalam mewadahi aktivitas dan kreativitas mahasiswa. Hal ini mendasari munculnya gerakan mahasiswa untuk menolak penggusuran Sekber dan menggantikannya dengan CWS. Perlu disadari bahwa FISIPOL UGM hanya salah satu contoh kasus perebutan ruang bersama dan kreativitas mahasiswa. Dalam periode beberapa tahun setelahnya, terdengar bahwa mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar juga mengalami represivitas serupa. Namun, dinamika perlawanan mereka berbeda.
Mahasiswa FISIPOL UGM melakukan perlawanan menggunakan tindakan dialogis melalui upaya penyambungan aspirasi mahasiswa dalam forum bersama pihak Dekanat. Perlawanan dengan pendekatan ini sangat mudah dipukul mundur oleh penguasa—dalam kasus ini adalah pihak Dekanat. Hal ini disebabkan adanya beberapa tantangan yang perlu diperhatikan, seperti pengelolaan perspektif bersama untuk mempertahankan fokus pada poin perlawanan. Benar saja, entah apa yang menyebabkan perlawanan mahasiswa FISIPOL mengalami perubahan fokus, dari awalnya yang menolak adanya “renovasi” Sekber menjadi lebih bersikap konformis. Sangat disayangkan. Dalam artikel “Aspirasi Mahasiswa Gak Diurus, Pembangunan Sekber Jalan Terus” (2022), mahasiswa mulai meresahkan kapan renovasi Sekber ini selesai. Ditambah lagi, dalam audiensi “Hearing Dekanat” DEMA FISIPOL UGM tahun 2021 para mahasiswa lebih mendorong adanya pemenuhan hak-hak mereka setelah renovasi selesai; tidak lagi menolak renovasi tersebut.
Berbeda dengan kondisi di FISIPOL UGM, mahasiswa UMI menggelar aksi unjuk rasa sebagai respon atas penggusuran sekretariat mahasiswa. Sebelumnya, mereka berusaha mempertahankan sekretariat mahasiswa dari eskavator yang telah ditugaskan untuk merobohkan tempat tersebut. Mereka berupaya untuk menahan eskavator untuk tidak memasuki area sekretariat, salah satu upayanya dengan melakukan pelemparan batu ke arah eskavator. Akibat tindakan, anarkisme—setidaknya seperti itu tanggapan pihak birokrat UMI dalam melihat tindakan mahasiswa—tersebut, dua mahasiswa yang tergabung dalam UKM jurnalistik (UPPM UMI) dipolisikan oleh pihak UMI. Padahal, mereka hanya berupaya mempertahankan haknya dan menyelamatkan temannya yang sedang beristirahat di dalam sekretariat. (Kurniawan, 2021; Murtadir, 2021; Razak, 2021; Syawaluddin, 2021). Tindakan perlawanan dari mahasiswa UMI dalam mempertahankan ruang bersama dan kreativitas mahasiswa berupaya untuk menolak sentralitas pembangunan sekretariat baru oleh birokrat kampus dengan mempertahankan fokus perlawanan pada tindakan tidak partisipatif birokrat kampus dalam membuat rancangan pembangunan sekretariat baru.
“Bisa dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kampus adalah salah satu cara untuk mematikan kreativitas mahasiswa. Buktinya, tidak ada relokasi yang jelas selama pembangunan, waktu pengerjaan yang logis serta ukuran ruangan UKM yang diwacanakan tidak sesuai kebutuhan” (R dalam Razak, 2021)
Alih-alih komparasi, pada poin ini penting untuk disadari bahwa gerakan perlawanan harus kuat dan memiliki fokus perlawanan yang jelas. Hal ini berguna untuk menjaga nafas panjang perlawanan terhadap perampasan ruang. Perspektif akan kebutuhan ruang kreativitas, kebebasan, kebersamaan bagi organisasi mahasiswa dan mahasiswa secara umum harus dipertahankan. Jangan sampai mahasiswa gagal dalam mempertahankan idealismenya, kemudian berkompromi dengan penjahat yang berupaya merebut hak-hak mereka. Terus suarakan ketidakadilan yang kalian rasakan, buat birokrat kampus terdesak.
Kampus Menganaktirikan Organisasi Mahasiswa dan Ruang Kreativitas
Pihak birokrat kampus yang bersikeras untuk merealisasikan keinginannya dalam upaya renovasi sekretariat perlu ditelusuri lebih jauh “apa motif dibalik keinginan mereka”. JT, mahasiswa FISIPOL angkatan 2016 bertanya-tanya dengan keinginan dan sikap Dekanat untuk “merenovasi” Sekber.
“Saya memiliki beberapa pertanyaan dalam kebijakan renovasi Sekber karena saya melihat Dekanat sangat ngotot untuk merenovasinya. Sebenarnya, ada keinginan siapa? Kepentingan siapa? Kok, rasanya tidak menghormati eksistensi HMD dan UKMF sampai-sampai merebut ruang mereka. Saya juga memiliki sedikit saran kepada Dekanat, mungkin cara komunikasinya diperbaiki, dibuka lebar, diperjelas mengenai urgensi perubahan Sekber. Kalau kami (mahasiswa) diminta untuk angkat kaki, paling tidak kami diberikan tempat pengganti Sekber, kalau bisa, ya, di dalam area UGM agar mahasiswa mudah mengaksesnya.” (JT, 2021)
Ketika Dekanat menyebut bahwa mereka tidak percaya kepada mahasiswa dengan memberikannya ruang untuk mereka kelola, mereka menunjukkan arah renovasi Sekber adalah menghilangkan masalah kotor dan tidak terawatnya tempat tersebut di tangan mahasiswa. Argumen ini mengingatkan pada salah satu nilai dalam Konsep Produksi Ruang Lefebvre, dimana para penguasa berupaya untuk menghilangkan area kumuh dengan pertimbangan estetika ruang. Saat mereka berhasil mengambil alih area tersebut, para penguasa berusaha untuk mempertahankan estetika melalui upaya pengawasan dan pembatasan akses publik (Lefebvre, 2000). Di sisi lain, Lefebvre (2000) juga menyebutkan bahwa penggunaan ruang telah dikonstruksikan untuk kepentingan para penguasa—birokrat dan kapitalis. Eksklusivikasi ruang bersama akan menciptakan ketimpangan akses bagi masyarakat. Universalitas, inklusivitas, dan kolaborasi seakan-akan menjadi mimpi di siang bolong; tidak akan pernah terjadi, ketika kapitalisme telah memiliki kontrol penuh terhadap ruang bersama. Begitu juga dengan ruang kreativitas. Apabila kreativitas tersebut tidak mendorong produktivitas bagi kapitalisme, maka dalam waktu dekat akan diubah sedemikian rupa sesuai kebutuhan pasar. Dengan demikian, perubahan Sekber menjadi CWS memiliki motif yang kompleks dan dialektika yang mendalam.
Secara historis, birokrat kampus dan kapitalis memanfaatkan organisasi mahasiswa, termasuk HMD dan UKMF, sebagai alat untuk mengontrol tindakan mahasiswa. Organisasi mahasiswa secara struktural jelas berada di bawah naungan kampus. Hal ini tertulis dalam AD/ART setiap organisasi. Posisi struktural ini digunakan kampus dalam memberikan amanat bagi organisasi mahasiswa untuk mewadahi aktivitas dan kreativitas mahasiswa serta menjadi penghubung birokrasi kampus dengan mahasiswa. Artinya, organisasi mahasiswa memiliki hubungan top and down. Selain itu, organisasi mahasiswa juga diharapkan dapat memberikan peningkatan soft skills dan hard skills untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas mahasiswa ketika menghadapi dunia kerja nantinya (Mustafa, 2017). Oleh karena itu, banyak kegiatan organisasi mahasiswa yang memiliki hubungan dengan kerja praktis, seperti pelatihan, workshop, seminar, dan event-event lain.
Artikel yang diterbitkan The Conversation berjudul “Meredupnya Popularitas BEM: Gairah Aktivisme Mahasiswa Makin Menurun, Mengapa dan Bagaimana Solusinya?” (2023) menjelaskan bahwa popularitas BEM—begitu pula organisasi mahasiswa secara umum—mengalami penurunan eksistensi. Perubahan pola interaksi sosial pasca pandemi Covid-19 dan munculnya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) menjadi faktor eksternal yang memengaruhi turunnya minat mahasiswa pada organisasi mahasiswa. MBKM sebagai sebuah kebijakan yang mengalami singgungan langsung dengan mahasiswa, memiliki kemungkinan lebih besar dalam memengaruhi eksistensi organisasi dan minat mahasiswa. Apabila melihat tujuan diberlakukannya program MBKM, program tersebut berusaha menggantikan peran organisasi mahasiswa, khususnya dalam membentuk soft skill dan hard skills untuk menunjang keterampilan mahasiswa menuju dunia kerja. MBKM memiliki program konkrit dalam kerja praktis, yakni melalui magang kerja dan socio-entrepreneurship. Dua garis output dari program MBKM ini memiliki tujuan untuk menyiapkan mahasiswa dalam kompetisi global dunia kerja (Istiqomah, 2021).
Munculnya program MBKM perlu diwadahi oleh peningkatan fasilitas kampus guna menunjang berjalannya program ini. CWS merupakan fasilitas yang tepat, sesuai penjelasan dalam Markel (2015) mengenai CWS, dimana CWS memang dirancang untuk kebutuhan kerja. Oleh karena itu, CWS merupakan fasilitas yang mendorong mahasiswa untuk lebih produktif, dimana produktif di sini merujuk pada kegiatan yang dianggap bermanfaat dalam menjadikan mahasiswa sebagai calon pekerja. Dengan kata lain, ruang kreativitas mahasiswa yang diwadahi oleh sekretariat mahasiswa dan dinamika di dalam himpunan mahasiswa serta UKM tidak dianggap produktif, terlebih lagi ketika konteks ini ditarik ke arah produktivitas dalam sistem kapitalisme (Peuter et al., 2017).
Pada poin ini, terlihat bahwa program MBKM lebih efektif dan efisien dalam memenuhi produktivitas kapitalistik. Kompetisi pasar tenaga kerja neoliberal membutuhkan fresh graduate dengan segudang pengalaman kerja yang siap untuk bekerja, bukan lagi lulusan yang sedang belajar untuk bekerja. Dengan demikian, organisasi mahasiswa tidak lagi dibutuhkan oleh kampus, begitu juga dengan ruang mereka. Tidak dibutuhkannya wadah kreativitas tersebut disebabkan oleh gagalnya kontrol penguasa atas organisasi kampus. Organisasi kampus malah digunakan untuk mewadahi aktivisme politis, dimana hal ini mengancam posisi kuat penguasa, rantai produksi, dan surplus maksimal.
Artikel terbitan The Conversation telah menyebutkan bahwa dewasa ini, mahasiswa bersikap lebih realistis; mengutamakan penyelesaian masalah struktural individu alih-alih masalah sistemik bersama. Manfaat yang diberikan dalam program MBKM lebih menggiurkan dibandingkan mengasah minat, bakat, kreativitas, kritisisme, dan aktivitas politik yang diwadahi organisasi mahasiswa. Eksistensi organisasi mahasiswa kian krisis, bahkan mati. MH telah menuturkan bahwa jantung organisasi mahasiswa terdapat di sekretariat mahasiswa. Dengan demikian, langkah yang diambil oleh Dekanat FISIPOL UGM adalah benar jika mereka ingin mematikan organisasi mahasiswa.
“Dekanat berupaya menjauhkan mahasiswa dari rumah keduanya (Sekber). Apabila renovasi berjalan sesuai grand design milik Dekanat (membangun CWS), HMD dan UKMF akan mati, ya, karena ‘jantung’-nya ada di sana. Jelas bahwa kalau mau mematikan HMD dan UKMF tinggal telantarkan mereka dari rumahnya” (MH, 2021)
FISIPOL UGM Adalah Awal
Pada akhir tulisan ini, penulis berpesan pada seluruh mahasiswa, jagalah sekretariat mahasiswa sebaik mungkin. Jaga kebersihan dan kerapiannya. Sekber FISIPOL UGM adalah contoh kasus nyata yang menjadikan HMD dan UKMF tidak dapat berjalan dengan baik seperti dahulu. Meminjam kata Lefebvre, Sekber bukan hanya ruang fisik (place), tetapi juga ruang yang berisi dinamika sosial-politik (space). Apabila para penguasa yang berwujud birokrat dan kapitalis telah mengambil ruang fisik kalian, maka bersiaplah akan terjadi perubahan drastis pada dinamika sosial-politik organisasi mahasiswa, bahkan mahasiswa itu sendiri. Selain itu, mahasiswa juga perlu untuk bersikap kritis terhadap program MBKM. Program yang berusaha untuk melakukan link and match pendidikan dengan kerja ini juga memiliki upaya untuk memisahkan dinamika sosial-politik dengan mahasiswa melalui praktik-praktik “perbudakan modern”. Dengannya, MBKM dapat diartikan sebagai rangkaian program yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan produktivitas bagi kapitalisme dalam memastikan surplus produksi dan menguatkan posisi kekuasaan mereka. Adanya program ini berupaya memisahkan mahasiswa dari karakter progresif, kreatif, dan kritis, kemudian menggantikannya dengan sikap-sikap individualistik, pasif, kompromis, dan apatis.
Data primer pada tulisan ini diperoleh ketika mengerjakan tugas mata kuliah Penelitian Kualitatif 1 Departemen Sosiologi tahun 2021.
DAFTAR PUSTAKA
de Peuter, G., Cohen, N. S., Saraco, F. (2017). The Ambivalences of Coworking: On the Politics of An Emerging Work Practice. European Journal of Cultural Studies, 1-20.
Istiqomah, F. (2021, 25 Agustus). Kampus Merdeka: Link and Match Pendidikan Vokasi dan Dunia Kerja. ekspresionline.
Kurniawan, R. (2021, 3 November). Tolak Penggusuran Gedung UKM, 2 Mahasiswa UMI Dipolisikan. Beritabaru.com Jatim.
Lefebvre, H. (2000). The Production of Space. New York: Georgetown University Press.
LPPM Sintesa. (2022, 2 Agustus). Aspirasi Mahasiswa Tidak Diurus, Pembangunan Sekber Jalan Terus. LPPM Sintesa.
Merkel, J. (2015). Coworking in the City. Ephermera Theory and Politics in Organization, 15(1): 121-139.
Murtadir, N. A. (2021, 21 Oktober). Respon Pembangunan Sekret Tidak Partisipatif, Aliansi UKM UMI Gelar Aksi. Cakrawala Ide.
Mustafa, R. (2017, Mei). Sejarah, Perkembangan, dan Idealisme Organisasi Mahasiswa; Wadah Pergerakan atau EO (Event Organizer). LPM Hayamwuruk.
Razak, M. F. (2021, 22 September). Aliansi UKM UMI: Pengosongan Sekretariat Matikan Kreativitas Mahasiswa. Cakrawala Ide.
Syawaluddin, M. (2021, 1 November). Protes Penggusuran Bangunan UKM Kampus, 2 Mahasiswa UMI Makassar Dipolisikan. medcom.id.
The Conversation. (2023, 10 Februari). Meredupnya Popularitas BEM: Gairah Aktivisme Mahasiswa Makin Menurun, Mengapa dan Bagaimana Solusinya?. The Conversation.