Studium Generale, Untuk Apa?

Oleh: M. Nur Alam Tejo

0
9372
Ilustrasi: Lintang

Fakultas Filsafat UGM sering kali membuat kejutan—atau mungkin lelucon (?)—akhir-akhir ini. Kita masih ingat bagaimana fakultas ini meluluskan seorang Doktor yang menganalisis bahwa ateisme dapat disangkal dengan penggemblengan Pancasila.[1] Kali ini kampus ini mau membuat sesuatu yang bikin heboh, atau lebih tepatnya sensasi, dengan mengundang Habiburrahman el Shirazy (penulis Ayat-Ayat Cinta) sebagai narasumber di studium generale yang digelar Senin (05-02).

Pada awalnya saya tak habis pikir, kok bisa orang seperti ini diberi panggung di lingkungan akademis. Okelah jika tujuannya untuk memberikan ruang untuk berdebat secara terbuka terkait konsep-konsep—atau hal seksis—yang ia tulis di bukunya. Tapi, mengapa diadakan di acara semegah dan seprestisius studium generale? Apakah tidak ada hal yang lebih penting dari sekadar “Proses Kreatif – Intuitif dalam Dunia Kepenulisan” untuk dibahas sebagai tema studium generale saat ini? Kesannya studium generale adalah kegiatan kacangan yang biasa diobral layaknya program gosip atawa infotaiment. Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengiang di kepala saya.

Guna menjawab pertanyaan tersebut, saya iseng-iseng mencari tahu apa sih sebenarnya studium generale itu. Kenapa studium generale menjadi penting, awal mula adanya kegiatan tersebut, dan siapa saja yang berhak untuk menjadi pembicara di acara seperti itu. Hasilnya cukup bikin saya misuh-misuh dalam hati bahwa, “sebenarnya para petinggi Fakultas Filsafat UGM paham nggak sih maksud dari studium generale?”. Pikiran dangkal saya akhirnya berkesimpulan buruk bahwa pada dasarnya fakultas ini hanya ingin cari sensasi, yang tentu saja tak beda dengan acara reality show ala Uya Kuya. Mari kita mulai.

Studium Generale: Sebuah Awal Tanpa Sekat

Term studium generale pertama kali muncul pada awal abad ke-13. Penggunan kata tersebut hanya bermakna sebagai tempat di mana mahasiswa yang berasal dari mana pun diterima dengan baik.[2] Sementara Oxford Dictionary mengartikan studium generale sebagai “In the Middle Ages: a university attended by scholars both from within and beyond its own locality.[3] Istilah tersebut secara bertahap memperoleh makna yang lebih tepat sebagai tempat yang (1) menerima mahasiswa dari mana pun; (2) mengajarkan seni dan pada mahasiswa dari fakultas yang lebih tinggi kedudukannya pada saat itu (yaitu, teologi, hukum atau kedokteran); dan (3) bagian penting dari sebuah pengajaran yang disampaikan oleh seorang pakar.[4]

Muncullah hal keempat: seorang pakar yang telah mengajar dan terdaftar di Guild of Masters dari studium generale berhak untuk mengajar di studium (tempat) lain tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Keistimewaan itu, yang dikenal sebagai jus ubique docendi, sebuah tradisi yang hanya dimiliki oleh para empu dari tiga universitas tertua: Salerno, Bologna dan Paris. Reputasi universitas yang begitu menawan menjadikan para lulusan dan ahli yang mereka dididik mampu untuk mengajar nyaris di semua bidang studi lainnya. Mereka juga memiliki keistimewaan untuk mengajar di universitas lain. Namun sebaliknya, ketiga universitas tersebut tidak menerima dosen/pakar dari luar tanpa diseleksi terlebih dahulu.

Di Indonesia, studium generale atau sering diterjemahkan sebagai kuliah umum, dilaksanakan di perguruan-perguruan tinggi sebagai penambah wawasan baru yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Seperti yang diungkapkan Wakil Rektor Universitas Nasional bidang Hubungan Kerjasama dan Kemahasiswaan, Drs Faldy Rasyidie, dia mengungkapkan, isi dan peta jalan (road map) perguruan tinggi ke depan harus berpijak pada pokok-pokok yang telah digariskan di masa lalu dan rancangan ke depan yang terus dikembangkan sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman. Salah satunya menjadikan studium generale sebagai tradisi kampus.[5]

Dengan demikian, studium generale bukanlah kegiatan asal-asalan, melainkan ia merupakan kegiatan yang berusaha menghadirkan wacana interdisipliner sesuai dengan perkembangan zaman dengan menghadirkan seorang pakar. Pembicaranya juga bukan main-main, ia harus punya kemampuan yang mumpuni tak hanya di bidang yang digelutinya, melainkan lebih luas lagi, serta diakui oleh komunitas ilmiahnya. Jika ditarik konteksnya dengan pembahasan kita kali ini ialah, apakah Habiburrahman el Shirazy cukup kompeten dalam dunia tulis menulis dan mampu menjadi medium pembelajaran interdisipliner? Saya pesimis akan hal ini.

Menurut saya, Habiburrahman el Shirazy meskipun telah menciptakan karya-karyanya menjadi best seller tidak menjamin isi dari karya tersebut memiliki kualitas yang mumpuni. Karya yang ia ciptakan juga termasuk ke dalam fiksi populer islami. Fiksi populer selama ini dianggap sebagai sastra yang hanya menghadirkan bentuk baru tanpa mengedepankan isi. Pada periode saat ini akan sulit menemukan perbedaan sastra populer dan sastra adiluhung atau serius. Fiksi populer islami biasanya menghadirkan wacana perihal moralitas, humanisme, religius, sekaligus membawanya pada gairah eskapisme sastra populer.

Terdapat pengalaman baru dalam kesusastraan Indonesia kontemporer, bahwa setelah runtuhnya Orde Baru, wacana Islam menemukan kebangkitannya, mencairkan stereotip Islam yang konvensional menjadi sebuah fenomena baru dalam budaya populer sebagai Islam moderat, termasuk di antaranya dalam fiksi pop islami. Fiksi pop islami ikut membentuk pengalaman masyarakat Indonesia dalam memaknai Islam dalam ranah kebudayaan. Sebenarnya tidak buruk, namun ada efek samping yang ditimbulkan bagi masyarakat ke depannya bisa berakibat fatal, salah satunya dogmatisme dalam beragama. Melalui tindak pembacaan yang serius, gejala-gejala dalam fiksi populer tak hanya hadir sebagai sebuah fenomena selera pembaca, produksi masif, atau hanya sebagai eskapisme belaka. Fenomena budaya populer merupakan kondisi kebangkitan hasrat individu yang berubah menjadi subjek kolektif. Meledakkannya, menjadi sebuah fenomena massal yang membangkitkan minoritas menjadi mayoritas.[6]

Lalu lari ke segi tujuan dari studium generale itu sendiri sebagai jembatan antar keilmuan dan membuat diskursus universal guna menyesuaikan tuntutan zaman. Bisakah Habiburrahman el Shirazy mengatasi tantangan tersebut? Lagi-lagi tidak.

Habiburrahman el Shirazy membawa wacana kepenulisan “intuitif” ke dalam koridor Islam. Baginya intuitif di dalam Islam disebut sebagai firasat. Menurutnya firasat merupakan kekuatan penting bagi seseorang dalam menulis. Firasat dalam Islam muncul dikarenakan tiga faktor. Pertama, muncul dari Allah SWT; akan mengakibatkan hal yang baik. Kedua, firasat yang muncul dari bisikan setan; artinya selalu mengarah pada hal yang buruk. Dan ketiga, datang dari nafsu manusia; hal ini juga mengakibatkan keburukan. Lalu, cara kita bisa tahu bahwa firasat yang kita dapat berasal dari Allah SWT adalah dengan cara mendekatkan diri dan senantiasa mengingat-Nya.

Di titik ini terlihat bahwasanya Habiburrahman el Shirazy terkungkung dalam tempurungnya sendiri. Tidak bisa membawa wacana kepenulisan intuitif ke arah yang lebih luas dari koridor Islam.  Toh jika kita membaca artikel Rene Descartes yang berjudul “Meditation On First Philosophy” sudah dijelaskan bagaimana intuisi—atau firasat—akan ketakutan kepada sebuah monster/iblis jahat dapat dipatahkan oleh rasionalitas. Descartes membaginya ke dalam enam meditasi yang pada akhirnya akan sampai kepada “I think, therefore, I am”. Dalam argumen Descartes, ia menjembatani bagaimana Tuhan dan rasionalitas adalah dua hal yang berbeda, namun rasio tak pernah tunduk pada iman. Baginya, rasio, ada di samping iman.

Habiburrahman el Shirazy dengan demikian mencampuradukkan mana antara rasio dan iman, karena masih “percaya” bahwa segala yang baik berasal dari Tuhan, bukan dari akal budi manusia. Dan kita dipaksa mundur ke Abad Pertengahan di mana Tuhan ada di atas segala-galanya; termasuk menulis. Kegiatan ilmiah—termasuk tulis-menulis—harus mendapatkan izin dari otoritas agama dan ajarannya tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Apakah ini yang diharapkan oleh Fakultas Filsafat? Saya harap tidak. Karena jika menulis harus senantiasa mengarah pada ajaran agama, tempatnya bukan di universitas tapi di selebaran khotbah Jumat.

Kembali lagi pada kegiatan tulis-menulis. Kerja tulis-menulis tak akan lahir dari sebuah paksaan melainkan kecintaan, maka menurut saya, penting adanya teladan bagi mahasiswa. Subjek yang bertanggung jawab menurut saya adalah para dosen. Saya tak berniat mencari kambing hitam, melainkan membuktikan bahwa terkikisnya budaya tulis-menulis di kampus ini ialah kelalaian para dosen dalam menciptakan terobosan baru dari segi konsep, dan kemalasan berdialog dengan komunitasnya sendiri, yaitu komunitas ilmiah.

Fakultas Filsafat UGM Tak Lebih dari Sebuah Desas-desus

Jika Fakultas Filsafat UGM ingin mahasiwanya lebih banyak menulis, maka penting untuk para dosennya mencontohkan. Pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari menjadi relevan di sini. Selama tiga tahun saya kuliah di kampus ini,—Fakultas Filsafat UGM—saya belum pernah membaca satu pun opini dosen Filsafat UGM di koran-koran nasional. Sebuah bayangan kasar bagaimana sulitnya bagi para dosen kami untuk berdialog dengan komunitasnya sendiri.  Dan sialnya mereka mencoba berlindung di balik sifat permisif perihal ketatnya urusan birokrasi.

Sudahlah akui saja bahwa memang iklim tulis-menulis di Filsafat UGM makin lama makin terkikis. Salah satu penyebabnya tak lain dari absennya kemampuan dosen atau petinggi kampus untuk memberikan tauladan perihal pentingnya menulis. Jika para dosen kami rajin menulis, logikanya, buat apa repot-repot mengundang narasumber macam Habiburrahman el Shirazy?

Memang para dosen sudah memberikan dorongan bagi para mahasiswa untuk menulis melalui tugas-tugas. Namun menurut saya, hal tersebut hanya menciptakan sebuah paksaan, bukan kebiasaan. Tujuannya mungkin mulia menciptakan paksaan agar nanti terbiasa. Tapi cara seperti itu terbilang kuno. Sekali lagi saya tekankan, bahwa menulis tidak lahir karena sebuah paksaan melainkan sebuah kecintaan. Jika dosen-dosen memberikan contoh kongkret bahwa dengan menulis kita dapat menyuarakan kebenaran, dengan menulis kita dapat mengukir keabadian, dan dengan menulis kita dapat melatih keberpihakkan, maka mahasiswa akan lebih terpacu untuk menulis alih-alih dengan keadaan terpaksa.

Selain kesulitan dalam berdialog dengan komunitasnya, para dosen kami lebih senang berkhutbah sana-sini. Saya memaklumi kebiasaan demikian, pasalnya honor dari menulis memang tak seberapa dibandingkan honor cuap-cuap ala khotbah sholat Jumat. Namun, lagi-lagi saya tekankan bahwasanya sudah kewajiban dosen untuk melakukan publikasi seluas-luasnya. Lagi-lagi jika ingin memperoleh pembaca yang luas, medium koran atau media online bisa jadi solusi daripada menulis di jurnal lokal kampus yang pembacanya tak seberapa.

Kesulitan menuliskan gagasan ke dalam sebuah tulisan mengakibatkan stagnannya ide atau konsep untuk berkembang. Dengan menuliskan gagasan di koran atau media online, maka gagasan tersebut akan dibaca khalayak luas, dikritisi, dan diberikan solusinya. Terjadinya dialog di dalam komunitas ilmiah inilah yang mengakibatkan ide dan konsep menjadi berkembang, syukur-syukur menghasilkan solusi konkret bagi masyarakat. Sehingga Fakultas Filsafat UGM tak menjadi ruang abu-abu institusi pendidikan di Indonesia; menjadi ada dan tiada sekaligus.

Jika memang Fakultas Filsafat UGM ingin diakui eksistensinya di kalangan akademisi Indonesia, saya sarankan, berhentilah menjadi desa-desus dengan menjual sensasi. Benahi institusi pendidikan sesuai dengan marwahnya; rasionalitas ilmiah. Setiap elemen di dalamnya harus menciptakan situasi yang mengkondisikan ide-ide brilian lahir. Semangat rasionalitas ilmiah di pupuk oleh para petinggi kampus, dirawat oleh mahasiswa, dan dipetik buahnya oleh masyarakat. Begitulah seharusnya institusi pendidikan berkembang.

Menciptakan Jembatan Bukan Sensasi Murahan

Pada dasarnya selalu menyenangkan menghadiri studium general beberapa tahun belakangan. Fakultas Filsafat UGM pun beberapa tahun belakangan mengangkat tema-tema menarik di studium generale, misalnya wacana antara relasi filsafat dan film atau peran filsafat dalam dunia pendidikan. Dua tema tersebut menarik karena berusaha menjembatani dua topik yang memiliki titik singgung. Peran filsafat sebagai jembatan penghubung keilmuan inilah yang seharusnya digalakkan jika Fakultas Filsafat UGM tak ingin ketinggalan gerbong kemajuan teknologi.

Sudah bukan zamannya lagi menciptakan tembok ekslusivitas antara keilmuan satu dengan keilmuan lainnya. Eksklusivitas atau linieritas ilmu pengetahuan bukan lagi berpotensi sebagai pembebasan berpikir alih-alih pengkotak-kotakan. Dampaknya ialah menjadikan setiap ilmu berdiri sendiri-sendiri membuat kita (baca: filsafat) jauh dari psikologi, ekonomi, hukum (padahal tiga fakultas ini hanya berjarak selemparan batu dari kampus kita), teknik, kedokteran, dll. Tak ada lagi dialog keilmuan, selama ini kita berjalan sendiri-sendiri, kita tak lagi utuh menjadi sebuah universitas—tempat di mana keilmuan bercampur baur saling melengkapi.

Lalu, perkembangan spesialisasi ilmu memerlukan sebuah kerjasama antardisiplin ilmu, pasalnya monodisiplin ilmu terkesan mandul dan butuh udara segar. Toh kenyataannya alih-alih menyelesaikan problem masing-masing keilmuan, kita malah terbata-bata dalam menjelaskan masalah. Karena setiap ilmu butuh ilmu lainnya untuk menjelaskan terjadinya peristiwa. Alhasil proses penetrasi dan integrasi sudut pandang tidak terjadi, atau bisa dibilang malah mati alias mandek! Zaman berubah dan fenomena yang dialami tak bisa diselesaikan dengan satu disiplin ilmu saja. Tren keilmuan saat ini ialah dengan berkolaborasi menyelesaikan sesuatu permasalahan.

Di sinilah studium generale berperan. Studium generale dapat menjadi medium guna merekatkan yang renggang, menghapus ilusi ekslusivitas ilmu, dan mulai memfasilitasi dialog antara dua keilmuan atau lebih. Contoh yang coba saya tawarkan misalnya mengangkat tema seperti “Membayangkan Etika Masa Depan”.

Hal ini menarik karena keumuman dari mengangkat domain etika sebagai titik tolak membayangkan masa depan manusia, khususnya perihal perilaku sosial manusia di masa mendatang. Kita bisa mengundang pakar dari psikologi, pakar teknologi, atau pakar sosiologi guna merumuskan apa yang akan terjadi dengan perilaku sosial manusia di masa mendatang. Banyak para akademisi yang dapat hadir dan menyumbangkan perspektifnya dari keilmuan yang digelutinya masing-masing. Hal tersebut baik guna menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru bagi kehidupan manusia kelak.

Kita bisa memulainya dengan mempertanyakan problem sosial apa yang akan bertambah baik atau buruk di masa depan. Kemudian kita dapat merumuskan cara untuk meredam atau memupuk masalah tersebut. Dan akhirnya dapat memperjuangkan hal tersebut. Misalnya saja pada zaman dahulu perempuan tidaklah dianggap setara dengan laki-laki. Namun, karena ada orang-orang macam Simone de Beauvoir, Fatima Mernissi, Judith Butler, R. A. Kartini, dan para pejuang kesetaraan perempuan lainnya yang mau memikirkan problem sosialnya saat itu dan memperjuangkannya, maka di zaman kita kini perempuan sudah diakui hak-haknya—terlepas penerapannya bermasalah atau tidak.

Dengan mengangkat wacana yang sesuai dengan perkembangan zaman. Studium generale bukan merupakan kegiatan kacangan yang mencoba menghadirkan sosok-sosok kontroversial. Artinya, tak ada ruang bagi sensasi. Hal yang harus diperjuangkan ialah membuka dialog antarkeilmuan dengan menghadirkan tema-tema kemanusiaan. Usaha seperti ini kelak akan lebih berguna membangun iklim universitas menjadi terintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Sudah saatnya Fakultas Filsafat UGM membuka tempurungnya, aktif menjadi perantara dialog keilmuan, dan tak melulu terjebak dikotomi keilmuan.

Akhir kata inilah bentuk apresiasi saya terhadap almamater. Dengan mengajukan kritik dan memberikan sedikit masukkan untuk kemajuan fakultas ini. Saya harap fakultas ini tak lagi terus-menerus mendulang sensasi, melainkan prestasi. Dengan demikian, saya akan terus berani menatap mata lawan bicara saya ketika ditanya kuliah di fakultas apa. Sebab, filsafat tidak boleh lagi hadir sebagai desas-desus semata. Ia tidak boleh lagi jadi ruang abu-abu; antara ada dan tiada.

 

 

[1] Lih. Andreas Rosi, “Humor Minggu Ini Disumbang oleh UGM dan Fakultas Filsafatnya” diakses via https://mojok.co/andreas-rossi/esai/humor-minggu-ini-dari-ugm/.

[2] Lih. H. Rashdall, (1895) The Universities of Europe in the Middle Ages, Vol. 1, hal. 8

[3] Lih. https://en.oxforddictionaries.com/definition/studium_generale.

[4] Op,Cit. H. Rashdall, hal. 9.

[5] Lih. http://edukasi.kompas.com/read/2012/06/30/13350667/Menjaga.Tradisi.Kampus.Melalui.Studium.Generale.

[6] Lih. Cantini Cucum, “Pos-Islamisme dalam Ayat-Ayat Cinta 2” daiakses via https://jurnalruang.com/read/1513930302-pos-islamisme-dalam-ayat-ayat-cinta-2

LEAVE A REPLY