Mengintip Pram Bekerja: Rutinitas dan Tantangan

0
114
bpmfpijar.com/Affan

Sabtu, (12/4), Biro Pers Mahasiswa Filsafat Pijar menggelar diskusi “Mengenang Pram Berkarya” yang merupakan rangkaian dari perilisan Surat Kabar Pijar Edisi Ke-27. Diskusi ini berlangsung di Ruang Persatuan, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada dengan menghadirkan Muhidin M. Dahlan dan Eka Kurniawan selaku pembicara, serta moderator Giovanni Ramadhani, selaku awak Penelitian dan Pengembangan 2023. Diskusi ini membahas latar belakang sejarah dan politik yang hadir dalam kehidupan Pram dan cara menyikapi kondisi sosial yang telah dilalui.

Muhidin M. Dahlan, akrab dipanggil Gus Muh, memulai diskusi dengan menjawab pertanyaan dari moderator mengenai latar belakang sejarah dan politik yang hadir dalam kehidupan Pram. Ia menjelaskan bahwa Pram menjadi jurnalis secara resmi pada Jumat, 16 Maret 1962, yang bertepatan hari berdirinya Lentera Dipantara. Sebelum masuk ke jurnalis, pada tahun 1960-1961 Pram dimasukkan ke Lapas Cipinang karena essay Hoakiau di Indonesia. Akan tetapi, Pram terus menulis essay Hoakiau di Indonesia hingga menjadi sebuah buku. Namun, buku itu dibredel bersamaan dengan buku Demokrasi Kita karya Moh. Hatta. “Beritanya (pembredelan) dimuat dalam satu artikel yang sama” tambahnya.

Gus Muh juga memberikan gambaran tempat tinggal dan kerjanya Pram. Pram tinggal di Percetakan Negara, bekerja di Lentera Dipantara yang berada di Rawamangun Utara dan Bintang Timur yang ada di Pecenongan, serta perpustakaan berada di Museum Gajah (sekarang Museum Nasional). Pekerjaan Pram sehari-hari berada di rumah dan hanya hari Rabu dan Kamis ke Lentera atau Pecenongan. “Kerja paling banyak Pram itu di Percetakan Negara dan Museum Gajah, mengumpulkan data riset untuk Lentera” sambungnya. 

Kemudian, ia juga menambahkan penjelasan tentang proyek-proyek yang dilakukan oleh Lentera pada masa Pram: Pertama, meriset wajah Sisingamangaraja yang kemudian diwariskan di uang 1000 rupiah tahun 1992; Kedua, proyek Hamka yang berusaha menganalisis plagiarisme oleh Buya Hamka pada karya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang tujuan membersihkan plagiarisme di Indonesia. Namun, proyek kedua justru dibelokkan menjadi proyek yang bernuansa kebencian terhadap Islam. “Padahal poin utama pada proyek ini tujuannya untuk membereskan hak cipta di Indonesia” Gus Muh meyakini.

Gus Muh melanjutkan pembahasanya dengan menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru telah dilakukan pembakaran oleh para tentara terhadap dokumen-dokumen, arsip-arsip, dan tulisan-tulisan Pram yang ada di Percetakan Negara. Setelah peristiwa pembakaran tersebut, muncul tuduhan bahwa Pram mencuri buku dari Museum Nasional. Tuduhan tersebut bersumber dari koran Duta Masyarakat. “Pram marah terhadap tuduhan itu, kenyataannya ia hanya meminjam buku, lalu fotokopi dan dikembalikan lagi,” jelasnya.

Selanjutnya, Gio bertanya kepada Eka Kurniawan yang mempunyai ketertarikan pada karya Pram, karena semasa kuliah Eka membuat skripsi tentang Pram dengan topik Realisme Sosialis. Lalu, Eka memberikan keterangan mengenai latar belakang skripsinya, ia awalnya tak terpikir untuk mengambil topik tersebut, sampai kemudian membaca buku Bumi Manusia dan buku itu menarik perhatiannya, lalu mencari buku-buku Pram lainnya.

Melalui skripsinya, Eka ingin membayangkan apa yang ada dalam pikiran Pram tentang sastra dan konsep Realisme Sosialis. Baginya, konsep Realisme Sosialis tidak muncul begitu saja dan itu memerlukan ‘pelatihan’ yang begitu lama. Karena sudut pandang yang dipakai untuk memahami Realisme Sosialis adalah dialektika Hegelian. “Skripsi ini relatif dibuat tujuannya penelitian filsafat ketimbang sastra” tegas Eka.

Pada penjelasan Eka, ketika Pram menemukan sebuah konsep, dipastikan selalu melacak konteks sejarahnya terlebih dahulu. Cara melacak sejarah Pram persis seperti tradisi Marx. Tulisan-tulisan sastranya ini dipengaruhi oleh estetika Marxis, selain dari Sastra Rusia dan Tionghoa. Eka pun melanjutkan tradisi dari pemahaman Pram yang menghubungkan pendekatannya pada Sastra Realisme Sosialis yang ada di Indonesia. Lebih lanjut, pada bagian pertama skripsinya, Eka mencoba melihat bagaimana sejarah Realis Sosialis ini muncul dan menjadi semacam gerakan di era Pram. 

Selanjutnya, ia juga mencoba melihat bagaimana Pram berdialektika dengan mencoba melihat perkembangan kreatif Pram dalam tiga periode, seperti pada periode: Pertama, sangat alamiah. Sebagian karya-karya Pram sebelum 1960, ditulis berdasarkan pengalamannya sendiri, artinya kenyataan itu sesuatu yang bisa ia rasakan sendiri; Kedua, Pram mulai berkenalan bahwa realitas tidak semata-mata apa yang ia lihat, tetapi juga harus diinterpretasi berdasarkan konsep, ide, dan point of view tertentu. Dalam hal ini, Pram sangat dipengaruhi oleh ide Realisme Sosialis; Ketiga, Eka mengungkap hal yang menonjol, bahwa realitas tidak hanya dilihat oleh Pram sebagai sesuatu yang dialami, dia lihat, dia rasakan, tapi juga sesuatu yang bisa di-riset dan hasilnya bisa menjadi karya-karya yang lain.

Hal yang menarik bagi Eka itu ada di periode kedua. Baginya, novel-novel Pram pada periode ini sangat kental dengan politik yang secara estetik menurun. Akan tetapi, pemahaman Eka salah dalam melihat situasi Pram ketika telah membaca novel Pram berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Ia pun melihat bahwa periode ini pun Pram tidak begitu produktif dalam menulis karena ditangkap oleh rezim Orde Baru. “Terputus, tapi tidak benar-benar terputus karena selama 10 tahun di Pulau Buru ia masih melanjutkan tulisannya” sambungnya.

Gio, melontarkan pertanyaan kepada Gus Muh dan Eka mengenai makna jurnalistik bagi Pram. Menurut Gus Muh, Pram sadar bahwa sejarah Indonesia dikerjakan oleh jurnalis. “Saya menyadari ini ketika mencoba memvalidasi ulang semua riset Pram tentang era kebangkitan nasional” terangnya. Tokoh-tokoh pada era kebangkitan nasional dipenuhi oleh para jurnalis untuk memperjuangkan Indonesia.

Eka pun menambahkan pendapat dari Gus Muh, yang dimana ada hal menarik dalam hubungan sastra dan jurnalis. Baginya, keduanya mempunyai kesamaan bercerita tentang salah satu sumber pengetahuan. Ia membayangkan ketika jurnalisme itu lahir, sempat untuk dibunuh pada sumber cerita melalui informasi yang disajikan, kita dapat mengetahui tentang suatu peristiwa. Maka dengan itu arsip-arsip dari jurnalistik berkembang dan hal ini dipakai oleh Pram menata ulang kembali fungsi bercerita.

Di akhir sesi, Gus Muh menambahkan dua ciri khas yang dipunyai Pram patut untuk dijadikan contoh bagi kita semua, seperti: Pertama, ketika Pram membaca suatu berita, buku, artikel, atau semacamnya, ia selalu menyimpan apa yang telah baca dan menata rapi sumber-sumber data; Kedua, Pram selalu menyimpan satu data dengan memfotokopi sebanyak lima dan disebarkan pada tempat yang berbeda. Alasan menyimpan lima karena Pram memiliki lima orang anak. “Pram menyadari bahwa data itu tidak langgeng dan bisa habis, habis karena berserakan atau habis karena kekuasaan,” tutupnya.

 

 

 

Penulis : Elsa Rahma Sari
Editor : Bilal Surya Nugraha
Illustrator : Muhammad Affan Fitrah

LEAVE A REPLY