“Re-vo-lu-si!” ujar seorang peserta demonstrasi. Tak jarang kita mendengar teriakan seperti itu atau minimal menyimak bahasan ndakik-ndakik soal realitas objektif dan subjektif yang terucap di sepertiga malam, alih-alih tahajud. Tentu, hal tersebut dilakukan untuk melegitimasi keputusan akhir dengan mentalitas, “Pokoknya revolusi!” Sayangnya, kita tahu toh sampai sekarang kondisinya masih gini-gini aja. Business as usual. Para pemrakarsa revolusi itu tampaknya selalu gagal menyiapkan apalagi menjalani dan menuntaskan revolusi, bak panitia yang gagal nge-event.
Tuduhan ini jelas subjektif. Selayaknya event yang gagal, tentu kita, dengan wajar saja, menuduh bahwa panitianya bobrok. Bobrok yang bagaimana? Ada satu cerminan umum yang dapat kita sematkan pada kebobrokan panitia-panitia revolusi ini: gaya hidup yang buruk. Mengutip Rio Apinino (2022), “Merokok seperti kereta uap abad ke-19, jauh dari makanan sehat, rapat dan teklap sampai larut, tidur subuh, bangun siang, dan seterusnya dan seterusnya.” Belum lagi, yang dilakukan aktivis kiri dengan status sebagai mahasiswa: urakan, sering menginap di sekretariat, abang-abangan, mahasiswa abadi. Tak jarang juga mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan, mabuk-mabukan.
Kita dapat berdalih bahwa itu hanya oknum. Namun, kepada mereka yang bermimpi untuk merombak corak produksi, menumbangkan tirani, dan vis a vis dengan aparatur bersenjata, tuduhan ini jelas memiliki posisi penting. Memimpikan revolusi dengan gaya hidup ala stigma aktivis di atas, persis dengan bermimpi di siang bolong (apalagi kabarnya aktivis bangunnya siang kan, cocok). Untuk itu, tulisan ini saya didedikasikan guna menjawab fenomena tersebut sesuai dengan judulnya, yakni “Tips and Trick Menjadi Event Organizer (EO)[1] Revolusi yang Sukses”.
Disiplin, Berani, dan Setia
Berapa kali kita melihat aktivis telat datang rapat? Lalai bahkan luput mengerjakan tugas? Ataupun, yang paling umum, bangun siang? Gejala-gejala ini menunjukkan satu hal: EO revolusi memiliki disiplin yang bobrok.
Disiplin dalam arti yang paling umum dapat berarti beberapa hal: (1) tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dan sebagainya); (2) ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan; (3) bidang studi yang memiliki objek, sistem, dan metode tertentu.[2] Tentu, dalam hal ini, penulis mengacu pada yang pertama dan kedua.
Disiplin mengacu pada aturan yang mengikuti perilaku, regulasi, ketertiban, kontrol, dan otoritas. Disiplin di sini berlaku bagi dua subjek: gerakan dan penggeraknya; kolektif dan individu; dan organisasi dan anggotanya. Lantas, mengapa disiplin itu penting?
Béla Kun, seorang revolusioner dan politikus komunis Hungaria, pernah menulis bahwa, “Disiplin besi Partai Komunis Rusia[3] memungkinkan untuk menjalankan kebijakan elastis mereka.”[4] Sebab, “Tanpa disiplin yang ketat, tanpa kader yang terorganisir dengan baik, kebijakan semacam itu mustahil tercapai,”[5] dan “Partai Komunis Rusia telah bertahan dalam ujian, berkat disiplin dan organisasinya yang elastis.”[6]
Disiplin organisasi atau dalam konteks tadi disebut sebagai disiplin partai, sangat penting. Sepenting itu sampai-sampai dikatakan Kun sebagai, “ … pelajaran terbesar yang dapat dipelajari di Partai Komunis Rusia.”[7] Disiplin partai ini memungkinkan tercapainya kebijakan-kebijakan yang dirancang oleh partai. Dalam arti yang lebih luas, disiplinlah yang memungkinkan program-program organisasi tercapai. Tentu, kebijakan-kebijakan partai dan program-program organisasi adalah tombak dalam gerakan: wujud kerja nyata dalam upaya mencapai utopia yang dibayangkan.
Lalu, bagaimana suatu organisasi dapat disiplin? Hal ini dijelaskan oleh Kun pada bagian sebelumnya dalam tulisannya tadi bahwa, “ … disiplin tidak hanya berasal dari massa, tetapi terutama dari para pemimpin, dan karena itu membutuhkan kepercayaan diri yang besar pada para pemimpin. Kepemimpinan ini benar-benar jantung dari Partai Komunis Rusia, badan otoritatif dari seluruh gerakan Komunis.”[8] Izinkan saya mengutip beberapa kata dari penyair Austria, Anzengruber: “Engkau harus menghormati ayahmu dan ibumu, tetapi mereka harus layak untuk itu.”[9]
Kuncinya, menurut Kun, ada pada sikap kepemimpinan dan teladan dari para pemimpin. Menggubah ulang apa yang menjadi kuotasi terkenal dari Njoto, komunis berkacamata bulat, bahwa pemimpin tanpa massa masih bisa jalan, tetapi massa tanpa pemimpin tidak. Sekali lagi kawan, pemimpin itu penting sekali. Pemimpin adalah panglima. Apakah dalam hal ini massa artinya terbelakang, tidak bisa bergerak sendiri, dan lain sebagainya? Tidak sesederhana itu. Namun, dengan realitas objektif hari ini dan kesadaran massa yang demikian, naif jika mengatakan bahwa revolusi mungkin digarap tanpa adanya “motor-motor” (baca: kepeloporan) di baliknya.
Sejauh ini, kita telah melihat pandangan-pandangan yang progresif-revolusioner banget. Lengkap dengan balutan terjemahan yang banal, bahasa yang lawas, maupun gaya penulisan yang berapi-api. Hal tersebut tidak jarang menjadikan maknanya sulit ditangkap. Lalu, teknisnya gimana? Ada satu hal yang menjadi dasar disiplin: manajemen waktu.
Manajemen waktu adalah suatu bentuk disiplin yang memanfaatkan waktu sebagai regulator dan pemerhati waktu sebagai subjek pengatur. Manajemen waktu sebagai penjadwalan disiplin harus melibatkan fokus pada satu atau dua tugas. Kita dapat menggunakan prinsip “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”. Kita dapat dengan jelas mendefinisikan apa yang hendak direncanakan untuk dilakukan dan kapan berniat melakukannya, serta fokus pada apa yang dilakukan; alih-alih pada apa yang tidak ingin lakukan.[10]
Kita dapat mengandaikan respons pekerja-pekerja atau anak sekolahan yang tertarik untuk mengikuti konsolidasi gerakan. Tentu, pekerja dan anak sekolah memiliki satu kesamaan: waktu yang terbatas. Pekerja harus bekerja minimal delapan jam sehari, 09.00-17.00. Anak sekolah pun sama, bersekolah delapan jam dari jam 06.30 sampai 14.30. Di luar ini, masih butuh waktu untuk lembur, side hustling, ataupun mengerjakan tugas dan belajar untuk ujian. Namun, yang tak jarang terjadi ketika konsolidasi direncanakan ngaret. Konsolidasi yang dijadwalkan pukul 17.00, misalnya, tak jarang baru mulai tiga sampai empat jam kemudian. Malahan, enam jam pun bisa. Durasi yang sama ketika pasukan Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta pada Serangan Umum 1 Maret 1949.
Tentu saja, yang ditunggu justru adalah panitianya itu sendiri. Entah terlambat, bangun kesiangan, dan apa pun alasan lainnya. Konsekuensinya, pekerja dan pelajar, yang memiliki keterikatan waktu secara ketat, kesal dan secara psikologis akan malas untuk menghadiri dan melanjutkan pembangunan gerakannya. Ketika konsolidasi baru dimulai jam 21.00, yang dipikirkan pekerja kurang lebih “Kapan ini akan selesai? Aku belum bertemu dengan keluarga sementara besok harus bangun pagi untuk bekerja lagi. Lebih baik aku pulang ke rumah dan istirahat sajalah.” atau “Ini lama banget mulainya sih. Aku udah dicariin Ibu, disuruh pulang! Mana tugas besok belum dikerjain lagi, nanti diomelin Pak guru, huft.” Akhirnya, konsolidasi berjalan hanya diisikan oleh EO yang telat datang tadi dan gerakannya menjadi 4L (lo lagi lo lagi).
Selain itu, terdapat hal lain soal disiplin yang tidak boleh dilupakan, yakni disiplin diri. Disiplin diri mengacu pada kemampuan untuk mengendalikan perilaku dan tindakan diri sendiri guna mencapai tujuan atau mempertahankan standar perilaku tertentu. Ini adalah praktik melatih diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan dan menolak hal-hal yang harus dihindari. Hal ini termasuk menetapkan tujuan, fokus, dan pengorbanan guna mencapai tujuan tersebut.
Membangun disiplin diri dapat berarti sebuah upaya menuju suatu kebiasaan (habit). Secara sederhana, ada tiga tahap yang ditempuh untuk kebiasaan dapat terbangun. 1) pemicu (hal yang memulai perilaku, 2) perilaku (tindakan yang dilakukan), dan 3) keuntungan (manfaat yang diperoleh dari melakukan perilaku).[11]
Kunci dalam menjalani tiga proses di atas terdapat dalam identifikasi respons emosional yang harus didorong (pemicu) untuk mengambil tindakan dan menjaga kesamaan manfaat dari mengganti tindakan atau rutinitas itu ke satu hal yang lebih sehat, lebih produktif, atau lebih berguna. Kita dapat mengisolasi pola perilaku spesifik yang mendorong rutinitas spesifik berdasar keinginan dan keuntungan kita. Kemudian, merencanakan bagaimana kita benar-benar menginginkannya terjadi lagi hingga, pada akhirnya, secara sadar dapat mengambil kendali.
Di luar Jiwa yang Revolusioner terdapat Tubuh yang Sehat
Berulang kali kita, atau setidaknya EO Revolusi, berupaya meluruskan makna “agama adalah candu” yang kerap kali disalahartikan oleh “kelompok kanan konservatif”. Namun, terkadang kita lupa akan “candu” yang nyata hadir dalam gerakan kiri. Menurut pengalaman subjektif saya terdapat ada dua hal, yakni rokok dan alkohol.
Mengenai alkohol, tentu yang penulis persoalkan di sini bukanlah sekadar penenggakan minuman beralkohol. Terdapat dua hal yang perlu dicatat: mengenai minum-minum yang tidak memikirkan soal strategi, taktik, dan politik dan kebiasaan minum-minum yang berlebihan.
Pertama, penting untuk diingat bahwa orang Indonesia jarang mengonsumsi alkohol. Hanya 4,8 persen dari total penduduk Indonesia yang mengonsumsi minuman beralkohol.[12] Sebabnya sederhana, Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim dan alkohol haram dikonsumsi. Indonesia adalah sebuah negara yang religius.
Bayangkan, ketika EO Revolusi ingin membangun revolusi yang dipelopori oleh kelas pekerja. Tentu yang ada adalah penolakan. Padahal, kelas pekerja di Indonesia (yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia) beragama Islam dan di sisi lain EO ini telah dicap suka minum-minum yang artinya suka melakukan tindakan yang haram. Jangankan mengorganisasi, mungkin EO ini akan dicibir, bahkan dijauhi rakyat itu sendiri. Kadung dicap buruk dan tidak sesuai ajaran agama. Astagfirullah.
Kedua, masalah frekuensi yang berimplikasi kesehatan. Hal ini sudah banyak risetnya. Efek jangka pendek dari konsumsi alkohol berkisar dari penurunan kecemasan dan keterampilan motorik pada dosis yang lebih rendah hingga ketidaksadaran, amnesia anterograde, dan depresi sistem saraf pusat pada dosis yang lebih tinggi. Alkohol mengganggu pola tidur normal sehingga mengurangi kualitas tidur dan dapat memperburuk masalah tidur.[13] Mungkin, inilah salah satu penyebab aktivis bangun siang.
Efek jangka panjang dari konsumsi alkohol ada banyak. Ada lebih dari tiga juta orang yang meninggal akibat efek berbahaya alkohol setiap tahun dan berjumlah lebih dari 5% beban penyakit di seluruh dunia. Penggunaan alkohol berat dalam jangka panjang merusak hampir setiap organ dan sistem dalam tubuh. Risiko tersebut termasuk gangguan penggunaan alkohol, malnutrisi, pankreatitis kronis, penyakit hati alkoholik, dan beberapa jenis kanker.[14] Selain itu, risiko kekerasan dan kecelakaan lebih besar terjadi pada orang yang lebih muda.[15] Muda, beda, dan berbahaya menjadi literal. Bukannya membangun revolusi, misalnya untuk patungan akomodasi dan transportasi (akomtrans), EO revolusi malah dapat menghabiskan waktu, tenaga, dan uang untuk kemoterapi.
Lalu, soal rokok. Bungkusnya sudah menyatakan dengan gamblang; ROKOK MEMBUNUHMU. Atau, pada peringatan di bungkus rokok era sebelumnya yang sedikit lebih detail, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Mungkin di antara EO Revolusi ini banyak polisi, seperti yang sering dituduhkan olehnya dengan “malas membaca jadi polisi”. Di sisi lain, tentu tidak ada larangan bagi EO Revolusi untuk mati lebih dahulu dan tidak menikmati atau berpartisipasi dalam menyukseskan revolusi. Namun, jika bukan EO Revolusi ini yang membangun revolusi, siapa lagi?
Jika peringatan ini sifatnya individual, seperti kapitalisme mengatomisasi dan membuat segala sesuatu terlihat individual, dan tentu EO Revolusi tidak sepakat terhadap atomisasi demikian, kita bisa menganalisis secara relasional beberapa dampak sosial dari merokok. Soal perokok pasif, misalnya. Studi telah menunjukkan bahwa paparan asap rokok menyebabkan efek berbahaya pada sistem kardiovaskular yang dikaitkan dengan gagal jantung di antara nonperokok.[16] Asap rokok di rumah atau di tempat kerja yang memapar nonperokok diperkirakan meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 25–30% dan risiko kanker paru-paru sebesar 20–30%. Perokok pasif diperkirakan menyebabkan 38.000 kematian per tahun dan 3.400 di antaranya adalah kematian akibat kanker paru-paru pada nonperokok.[17] Kesimpulannya, mungkin tidak hanya aparat yang berpotensi untuk membunuh kawan-kawan kita di gerakan[18]. Sebab, EO Revolusi yang merokok pun memiliki potensi sebagai pembunuh!
Selain soal kesehatan, ada juga dari segi ekonomi(-politik), bahasan favorit EO Revolusi. Seperti yang diterangkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, konsumsi rokok telah menimbulkan beban Jaminan Kesehatan Nasional yang cukup besar. Bahkan, biaya kesehatan akibat merokok bisa mencapai Rp 17,9 triliun hingga Rp 27,7 triliun per tahun.[19] Uang sebesar ini, tentu saja bisa digunakan untuk agenda rakyat lainnya, misalnya pendidikan gratis, mendorong industri nasional, atau melaksanakan reforma agraria yang sejati. Alih-alih melakukan hal tersebut, “gerbong asap” ini justru memperkaya borjuasi-borjuasi di Indonesia, bahkan internasional, yang tidak merokok. Jangan mau dibodohi pakai rokok, sungguh kontra revolusioner!
Penutup
Kita sudah melihat beberapa watak reaksioner yang berupaya menghalangi EO Revolusi untuk mewujudkan hari besarnya. Disiplin yang buruk, candu alkohol, dan penghisapan rokok. Tentu, tidak ada salahnya kita meletakkan kecurigaan bahwa ini merupakan suatu agenda setting dari kelas berkuasa guna menggagalkan setiap utopia yang ingin dibawa. Oleh karena itu, semoga tulisan ini dapat menjadi pemantik untuk merumuskan kesatuan teori praksis, menuju gerakan yang demokratis, ilmiah, bervisi kerakyatan.
Mengutip ujaran Yesus Kristus dalam Injil Lukas 16:10, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”[20] Segala doa baik untuk EO Revolusi, ditunggu event besarnya, semoga sukses!
Referensi
- Sebagai upaya untuk membuat tulisan lebih santai dan jenaka, saya menggunakan istilah event organizer (EO) ‘penyelenggara acara’. Melihat gerakan-gerakan kelas yang emansipatoris berlaku bak panitia yang mengorganisasi untuk sebuah “event” grande: revolusi. ↑
- Lih. https://kbbi.web.id/disiplin, diakses 11 Februari 2023. ↑
- Pada perkembangan selanjutnya dikenal sebagai Partai Komunis Uni Soviet. ↑
- “The iron discipline of the Russian Communist Party was what made it possible to carry on their elastic policy.” Lih. Béla Kun, Discipline and Centralised Leadership, dalam https://www.marxists.org/history/international/comintern/sections/britain/periodicals/communist_review/1923/09-10/dis_and_leader.htm. ↑
- “Without a strict discipline, without well-organized cadres, the accomplishment of such a policy would be impossible.” Lih. Ibid. ↑
- “The Communist Party of Russia has stood the test, thanks to its discipline and its elastic organization.” Lih. Ibid. ↑
- “ … greatest lessons which we have been able to learn in the Russian Communist Party.” Lih. Ibid. ↑
- “ … discipline comes not only from the masses, but mainly from the leaders, and it requires therefore a great confidence in the leaders. This leadership is really the heart of the Russian Communist Party.” Lih. Ibid. ↑
- “Thou shalt honour thy father and thy mother, but they must be worthy of it.” Lih. Ibid. ↑
- Lih. Douglas A Wick, “Discipline rituals–what we resist persists”, dalam https://strategicdiscipline.positioningsystems.com/bid/56675/Discipline-Rituals-What-We-Resist-Persists. Diakses 11 Februari 2023. ↑
- Lih. Ryan Bartlett, “Self discipline – the biggest lie ever told”, dalam https://www.visionpersonaltraining.com/expert-hub/expert-articles/weight-loss/self-discipline-the-biggest-lie-ever-told. Diakses 11 Februari 2023. ↑
- Lih. https://zonautara.com/2021/03/10/ankga-48-penduduk-indonesia-konsumsi-miras/#:~:text=Secara%20nasional%20ada%204%2C8,8%20liter%20miras%20setiap%20bulan, diakses 11 Februari 2023. ↑
- Lih. Bernd Feig, Susanne Scaal dkk., “Sleep electroencephalographic spectral power after withdrawal from alcohol in alcohol-dependent patients”, dalam Alcoholism: Clinical and Experimental Research, Vol. 31, No. 1 (2007), 19-27. https://doi.org/10.1111/j.1530-0277.2006.00260.x ↑
- Lih. Woody Caan, J. De Belleroche, Drink, Drugs and Dependence: From Science to Clinical Practice (New York: Routledge, 2002), 19-20. https://archive.org/details/drinkdrugsdepende00caan ↑
- James H. O’Keefe dkk., “Alcohol and cardiovascular health: the dose makes the poison…or the remedy”, dalam https://www.mayoclinicproceedings.org/article/S0025-6196(13)01002-1/fulltext. Diakses 11 Februari 2023.↑
- Lih. T.M.Skipina dkk., “Secondhand smoke exposure is associated with prevalent heart failure: Longitudinal Examination of the National Health and Nutrition Examination Survey”, dalam Nicotine and Tobacco Research, Vol. 23, No. 9 (2021), 1512-1517. https://doi.org/10.1093/ntr/ntab047 ↑
- Lih. http://www.tobaccofreefloridanewsroom.com/?cat=6 , diakses 11 Februari 2023. ↑
- Turut berduka cita untuk setiap kawan-kawan yang telah berjuang dan mendahului kita. Bagian ini bukan untuk mendiskreditkan atau membuat kawan-kawan menjadi lelucon, tetapi sebagai pengingat bahwa kita pun memiliki potensi yang sama dengan apa yang kita kritik. ↑
- Lih. https://bisnis.tempo.co/read/1539187/sri-mulyani-soroti-konsumsi-rokok-bebani-bpjs-kesehatan-hingga-rp-156-triliun#:~:text=Selasa%2C%2014%20Desember%202021%2012%3A16%20WIB&text=Bahkan%2C%20biaya%20kesehatan%20akibat%20merokok,yang%20dikeluarkan%20oleh%20BPJS%20Kesehatan, diakses 11 Februari 2023. ↑
- Lih. https://alkitab.sabda.org/verse.php?book=luk&chapter=16&verse=10 ↑