Isu RUU TNI Mencuat, Sivitas Akademika UGM Nyatakan Sikap

0
225
(bpmfpijar.com/Galang/Lulu)

Penolakan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) semakin meluas. Berbagai tokoh akademisi,  pusat-pusat studi, tendik, mahasiswa, serta lembaga mahasiswa mulai menyerukan aksi pada Selasa (18/03) di halaman Balairung, Universitas Gadjah Mada (UGM). Aksi ini bertajuk “Kampus Jaga Reformasi, Tolak Dwifungsi” yang dimulai sekitar pukul 13.00 WIB dan dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Bukan hanya dari kalangan UGM saja, Fathul Wahid selaku Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) juga turut hadir. Ia menegaskan bahwa aksi ini merupakan bagian dari kepedulian terhadap demokrasi Indonesia. Wahid teringat pada dampak buruk akibat dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. “Supremasi militer sangat mungkin bermuara pada represi sipil, ada banyak kekerasan saat itu yang kita tidak ingin itu kembali terulang,” ujarnya. 

Masih dengan kekhawatiran yang serupa, Ahmad Munjid dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, mengungkapkan bahwa dengan kembalinya militerisme maka akan merusak reformasi yang pernah diperjuangkan oleh rakyat. “Kita sudah berdarah-darah memperjuangkan lewat reformasi, kalau semuanya itu dibatalkan maka apa artinya pengorbanan yang sudah dilakukan,” tegas Munjid. 

Selain itu, Ahmad Munjid juga menilai bahwa persiapan atau agenda revisi Undang-Undang TNI dilangsungkan secara tertutup dan tergesa-gesa. “Undang-undang harus menyangkut kepentingan semua rakyat, prosesnya (pengesahan) harus transparan, rakyat harus dilibatkan,” ujarnya. 

Merujuk pada pernyataan sikap sivitas akademika UGM, Ahmad Munjid menuntut pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi, tidak mengkhianati agenda reformasi, serta menolak Dwifungsi TNI/Polri. Herlambang, selaku dosen Fakultas Hukum (FH) UGM, menjelaskan RUU TNI hanya akan menggerogoti supremasi sipil dan ketidaksetaraan di mata hukum. “Kampus tolak Dwifungsi, tolak militerisme,” tegas Herlambang dalam orasinya.

(bpmfpijar.com/Galang)

Selaras dengan Ahmad Munjid dan Herlambang, Ursula—salah satu mahasiswa Fakultas Hukum UGM—berpendapat bahwa proses pembahasan RUU TNI sudah menyeleweng dari undang-undang dengan membahas revisi RUU TNI secara tertutup. “Menurut undang-undang, warga berhak mengetahui dan berpartisipasi dalam proses pembahasan undang-undang,” jelas Ursula.

Ursula mengaku resah jika kursi pemerintahan didominasi mereka yang berlatar belakang militer. Menurutnya, gaya kerja militeristik tidak cocok diterapkan dalam masyarakat sipil. “Militer sangat erat dengan kekerasan dan mereka anti dengan demokrasi,” jelasnya. Lebih lanjut, Ursula menegaskan bahwa negara-negara yang menerapkan militeristik seringkali mengalami mandeknya kebebasan berpendapat.

Menurut pengamatan Ursula, jabatan pemerintah seolah sangat bergantung pada orang-orang militer. Selain gaya kerja yang dinilai tidak cocok diterapkan kepada masyarakat sipil, ia juga khawatir adanya celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk kebijakan yang tidak baik jika RUU disahkan. Maka dari itu, ia menekankan betapa pentingnya pengawalan pembentukan undang-undang baru. “Ya mereka tinggal bilang, kami (pemerintah) nggak salah menggunakannya, secara undang-undang kan tidak dilarang,” resahnya jika RUU disahkan. 

Menjawab keresahan tersebut, Munjid mengajak agar rakyat harus terus melawan. Ia menegaskan jika rakyat abai maka pemerintah hanya bekerja selama rakyat marah, dalam konteks ini adalah demonstrasi. Ia berpendapat masyarakat harus secara aktif mengkritisi, mengawasi jalannya kekuasaan untuk memastikan bahwa pemerintah benar-benar menjalankan amanat rakyat. “Kalau tidak,  power tends to corrupt! (penyalahgunaan kekuasaan),” tegas Ahmad.

 

 

 

Penulis : Aqsa Syakira, Jati Nurbayan Shidiq
Editor   : Muhammad Iqbal
Artistik : Nabila Syefa Lulu
Fotografer : Hadrian Galang

 

LEAVE A REPLY