Re-for-ma-si, mantra agung itu jatuh ke dalam slogan politik belaka.
— Wimo Ambala Balang dalam “Perisai Putih yang Belum Sudah”
Langit abu di luar bangunan menambah sesak ruangan putih di Kedai Kebun Forum (KKF) pada Jumat (17/3). Bising berjibaku dengan sunyi. Lukisan dan patung yang menuntut kekhusyukan beradu dengan rekaman orasi yang berulang-ulang menegaskan keharusan Papua untuk bangkit dan melawan. “Harus dijawab dengan bermartabat oleh rakyat Papua sendiri,” begitulah bagian awal rekaman orasi itu dimainkan berulang-ulang.
Setidaknya, untuk sejenak awal kedatangan pengunjung, suara itu berhasil mencuri panggung utama dari karya-karya yang lain. Tak akan aneh rasanya jika pengunjung yang datang tanpa membawa informasi apapun mengira tema besar pameran ini adalah soal kebebasan Papua.
Kalimat-kalimat jujur juga mendalam pada rekaman orasi yang terus berulang itu, berhasil membuat pengunjung menetap sejak awal untuk menyerahkan perhatiannya. Uniknya, setiap kalimat yang begitu membara, seakan membakar tungku-tungku jantung pengunjung untuk berjuang dan membuat perubahan. Bahkan, rekaman itu disampaikan dengan suara yang datar dan tanpa embel-embel penyulut semangat. Rentetan kalimat di dalamnya merupakan suara rekaman dari kutipan sebuah buku berjudul “Hidup Papua Suatu Misteri” yang ditulis oleh I Ngurah Suryawan. Temponya yang begitu teratur, bertalu-talu mengisi seisi ruangan tanpa terkecuali.
Berulang-ulang, genderang semangat pembebasan Papua dimainkan, memasak perasaan pengunjung hingga bergejolak. Papua yang selama ini diklaim sebagai bagian dari negara nyatanya tinggal di bawah kekerasan dan penderitaan. Kebebasan yang menjadi embel-embel reformasi nyatanya tak terdengar di tanah Irian Jaya (apalagi tambang di bawahnya). Setidaknya, begitulah sulut semangat yang dibawa oleh pameran ini.
“Apapun itu, rakyat Papua harus bangkit dan memimpin dirinya sendiri. Melawan kekuasaan dan kekerasan, berjuang menghadapi penderitaan, dan mandiri serta berdaulat di atas kakinya sendiri,” rekaman itu menyerukan pembebasan. Kebebasan yang sejati dengan hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan tanpa adanya lagi penderitaan yang menyelimuti.
Beranjak dari soal Papua dan pembebasannya, situasi pameran itu sedang tak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung yang berjalan mengelilingi ruangan dengan dua pilar dan instalasi di tengahnya. Barangkali sebab karya yang ditampilkan memang tak begitu banyak. Sejak awal masuk ruangan, hanya terdapat enam lukisan dan beberapa instalasi karya yang tak begitu jelas harus digolongkan sebagai apa.
Para pengunjung disita secara khidmat untuk menghayati pesan-pesan yang disampaikan pada beberapa karya yang mejeng di ruangan putih itu. Meski di sudut yang lain, beberapa orang tampak puas hanya dengan menjepret karya-karya di sana tanpa peduli pesan apa yang terkandung di dalamnya.
Sebuah objek di pojok kanan ruangan, tersusun dari besi yang meliuk-liuk dan bentuknya mirip kepala burung pipit, mencoba mengambil alih panggung perhatian dari rekaman suara pembebasan Papua. Di bawahnya, terpasang kursi dan sepasang kaki. Bola matanya, yang berupa dua buah lampu, berpijar lembut di antara jalinan besi yang terlipat.
Bentuknya yang mirip dengan alat hukuman mati, banyak digunakan pada abad 18 dan 19 sekilas membangunkan ketakutan. Terbayang seseorang tengah duduk di kursi besi itu dengan kepala terkungkung dalam rangkaian besi yang bentuknya menyerupai kepala burung pipit.
Yang mengoyak ketakutan, mengubahnya menjadi segumpal ironi terdengar seperti bunyi jingle salah satu merek es krim dari mulut rangkaian besi yang serupa burung pipit itu. Pada satu sisi membangkitkan memori di masa lalu yang hanya bisa melihat dari kejauhan tanpa bisa membelinya, dan di sisi yang lain membayangkan kejamnya penyiksaan korbannya sama sekali tidak terbukti melakukan kejahatan.
Dari mulut burung pipit yang sama, terdengar juga jenis-jenis suara yang lain. Sulit dipastikan suara apa itu. Namun, sayup-sayup terdengar suara-suara remeh seperti suara yang dihasilkan dari benturan besi dan suara setruman listrik.
Tak berhenti di situ, tersaji kepala tanpa badan dari burung pipit yang sering terlihat di sawah dan merek beras rojolele. Penampakan tersebut terlukis pada sandaran kursi seolah menyiratkan perhatian karya ini pada isu pertanian. Sepasang kaki tanpa tubuh tersebut ditangkap sebagai representasi dari minimnya perhatian pada petani.
Instalasi karya ini dengan apik diciptakan oleh Moch. Krismon Ariwijaya. “Petani Didudukkan Sebagai Minoritas” diolah oleh tangan kreatif seniman muda ini sebagai media cerita baginya. Ia berupaya menyampaikan keresahannya tentang kondisi petani di era reformasi yang kini terpinggirkan.
Pada instalasi burung pipit tanpa tubuh ini, reformasi seakan dinilai ulang keberhasilannya. Bagi para petani, tak ada yang namanya reformasi, hanya ada ajal yang semakin menjalar ke leher mereka. Pengaturan ulang pemerintahan bukanlah bagi mereka para penanam padi. Namun, apa yang nyata bagi mereka hanyalah hilangnya kesempatan untuk memperpanjang napas.
Instalasi ini menyuguhkan suara-suara yang umum terdengar di sekitaran sawah dan pedesaan. Seperti benturan baton atau tongkat sejenisnya dengan tiang listrik, lantunan burung pipit yang sedang jatuh cinta, dan jingle gerobak es krim yang merayu anak-anak kampung. Namun, lagi-lagi naas nasibnya digeruduk reformasi dan industrialisasi yang membuntutinya.
Kisah yang menyayat perasaan pengunjung belum juga berhenti. Pada sudut ruangan yang lain, baju-baju hitam tergantung bersama kliping koran lawas di kanan kirinya. Seisi tembok itu senada, menyumpah kegagalan reformasi. “Reformasi Sekarat Rakyat Melarat” terlukis pada salah satu baju hitam yang tergantung disana.
Patung yang sekilas mengingatkan pada serial drama korea Squid Game juga berdiri di depannya pada sebuah akuarium plastik dengan beragam coretan dan pesan abstrak. Pada kedua dadanya tergambar bulan bintang dan salib yang erat terkait dengan agama Islam dan Kristen. Tulisan di tembok menjelaskan bahwa memang kedua agama tersebutlah yang disinggung pada patung berjaket merah tersebut.
Papan putih yang mejeng di tembok seolah mencoba bercerita bahwa karya seni pada sudut ini merujuk pada sebuah tragedi berdarah. Konflik yang bagi siapapun seharusnya enggan untuk terulang. Tak lain adalah konflik yang terjadi pada November 1998 silam di ufuk timur Indonesia. Konflik ini dikenal sebagai Kerusuhan Kupang 1998.
Reformasi di Kupang tidak disambut begitu baik. Konflik berkepanjangan antara masyarakat penganut agama Kristen dari berbagai etnis dengan masyarakat penganut agama Islam yang banyak dari etnis Bugis. Bom waktu meledak. Titel mayoritas-minoritas terus menjadi penyulut.
Teori dan cerita berceceran di sana sini. Mulai dari kesengajaan suatu kelompok hingga penunggang kuda berjubah putih sebagai penolong dari Tuhan ikut disenggol dalam pembahasan tragedi ini. Sekolah Musa dengan “Kematian Reformasi” ini berusaha menekankan bahwa korban dari konflik ini lebih dari isu agama. “Mau Islam, Mau Kristen, Semua Korban,” coretan pada tembok putih menjelaskan.
Relung jiwa pengunjung diisi rasa miris juga kecewa, dihadapkan pada kenyataan semacam ini. Agama yang akhir-akhir ini menjadi bola panas yang menunggu ditendang, nyatanya sudah sejak dulu dibakar pengetahuan masyarakat yang payah. Mereka-mereka yang berkepentingan meniup-niup dari jauh berharap api semakin besar nan panas.
Agama yang sebenarnya diharapkan dapat membawa pengikutnya pada kedamaian sejati, nyatanya malah membuka pintu neraka dan membawa apinya ke dunia profan. Darah sesamanya menjadi halal hanya karena surga yang mereka lihat serupa namun tak sama–yang satu dicapai melalui ibadah ketat lima kali sehari, sedang yang lain mencapainya melalui do’a di gereja megah sebagai rasa terima kasih atas penebusan dosa oleh Tuhan bagi pengikutnya.
“Reformasi Lahir, Ibu Menangis, Timur Bertengkar,” salah satu baju yang tergantung berucap.
Pameran Mengingat 25 tahun Reformasi bukanlah semata-mata merupakan pengagungan pada masa lalu atau makian pada masa kini. Pameran ini adalah sebuah rangkaian cerita, yang setiap karyanya menjadi bab-bab yang dapat dibaca secara terpisah. Walau terkesan melompat-lompat, dari tahun 98 tiba-tiba ke tahun 2023, dari Papua tiba-tiba ke Kupang, dari karya berupa rekaman orasi tiba-tiba ke serangkaian instalasi yang penulis juga bingung menyebutnya apa, mereka sejatinya adalah satu kesatuan.
Pameran Mengingat 25 tahun Reformasi ini hadir sebagai bentuk usaha dekonstruksi dari wacana besar reformasi. Cerita serta pengalaman para seniman handal menggambarkan reformasi yang tidak melulu soal Jakarta, reformasi adalah soal Indonesia, tentang apa yang terjadi di seluruh tanah ibu pertiwi. Seolah menegaskan bahwa reformasi tidak melulu tentang krisis moneter, reformasi adalah seluruh kebahagiaan, kesedihan, tragedi, dan keputusasaan. Biarlah cerita-cerita, urban legend, kisah heroik, hingga kisah remeh muncul ke permukaan wacana besar reformasi.
Kejadian Reformasi tidak jauh dari peristiwa Krisis Moneter yang menimpa Indonesia di tahun 1997. Melalui karya-karya Pameran Mengingat 25 Tahun Reformasi yang diselenggarakan di lima tempat yaitu Kedai Kebun Forum (KKF), Ruang MES 56, LAV Gallery, Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat dan KRACK! mencoba mengingat apa yang pernah terjadi pada masa transisi reformasi. Alia Swastika sebagai direktur artistik pencetus Pameran “Mengingat 25 Tahun Reformasi”, menemani dua kurator Dwiki Nugroho Mukti dan Savitri Sastrawan.
Dua kurator—Dwiki Nugroho Mukti dan Savitri Sastrawan—menjelaskan “mengumpulkan karya-karya yang lahir kisaran 1997-2003 tidak mudah. Beberapa karya seniman sudah tersebar, beberapa sudah jatuh ke tangan kolektor, beberapa tak jelas keadaanya, beberapa tersimpan di gudang dan sulit mencari. Karya-karya yang berhasil ditampilkan di KKF hanya sebagian kecil saja dari gambaran luas dinamika seni dan politik pada periode waktu tersebut. Beberapa karya ditampilkan sebagai arsip, karena karya fisiknya sudah tidak ada. Namun karya-karya itu masih sangat berharga sebagai bagian dari sejarah kita”.
Penulis: Aghli Maula, Hanifah Alyarowina
Penyunting: Dian Agustini
Fotografer: Wahyu Atika