Gelap yang dibalut rapih oleh dinginnya angin malam dan secercah cahaya rembulan, menemani perjalanan menuju pameran “F*ck The World, I Want To Dream” pada Senin, (28/8). Jalan Taman Siswa, malam itu lebih ramai dari biasanya. Di antara ramai-riuhnya jalan yang makin lama makin tak karuan, kami melipir ke Jalan Joyonegaran dan menyambangi kafe di pojokan jalan, Rumah Lama. Di muka kafe berupa joglo itu, sepasang gallery sitter berdiri menyambut kami.
Langkah pertama kami disambut baik oleh tegel kuning yang membawa kenangan di rumah nenek. Langkah kedua dan selanjutnya, tak kalah indah, sajian pesan kurator di atas selembar kertas tentang teknologi, disrupsi, dan mimpi dibahas dengan tajuk “Berani Kotor Mimpi, itu Baik”. Di tengah menuju akhir halaman, Arga Aditya, sang kurator bercerita melalui tulisannya tentang sosok yang ia sebut “Remaja yang sembrono, penuh gairah, dan syarat gugatan atas ketidakpuasan.” Ia adalah Aqil Prabowo, seniman sekaligus tokoh utama dibalik proklamasi mimpi ini.
Arga, pada pesan kuratornya, menyebutkan bahwa dirinya melihat Aqil dalam sebuah rangkaian perjalanan artistik. Bermula dari disleksia yang memaksanya untuk bergulat dengan terapi gambar, Aqil malah menemukan keintimannya dengan dunia seni. “Dengan memamerkan berbagai karya lintas waktu dan beragam bentuk merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan seberapa jauh proses perkembangan proses artistik Aqil selama ini,” tulis Arga menyambut pengunjung.
Langkah-langkah kami berlanjut, menari mengitari joglo hingga kemudian dituntut untuk manut pada lima lukisan yang mejeng dan satu instalasi yang tergantung. Keenamnya seperti yang disebutkan Arga, dihasilkan di ruang-waktu dan dengan gaya yang berbeda.
Ia adalah “Ratusan Jiwa dalam Satu Badan”. Di atas kanvas yang barangkali lebih dari satu seperempat tinggi penulis–yang hanya 170 cm–, Aqil menunjukkan kompleksitas dimensi yang ada pada manusia. Berbalut guratan-guratan berulang serupa sisik dan warna-warna vibrant yang mempersoleknya, lukisan ini dipilih menjadi pembuka tur.
Gallery Sitter yang sedari awal membuntuti, di hadapan mahakarya ini menawarkan diri untuk menjelaskan. Dengan mengambil jarak, Adha, salah satu dari sepasang Gallery Sitter coba menceritakan bagaimana karya ini mengenalkan diri sebagai ‘Ratusan Jiwa dalam Satu Badan’. Menunjuk pada kerangka badan yang diisi karakter-karakter tak bernama, ia menjelaskan maknanya. “Ratusan jiwa direpresentasikan dengan emosi ataupun personality,” terang Adha.
Makna lain juga bersembunyi di balik ekspresi berbagai karakter yang mejeng di balik sang badan. Ekspresi sedih dan bahagia didapati, walau lebih banyak di antaranya tak jelas mau mengatakan apa. Kompleksitas dan rahasia yang ada di balik sang badan dieksplisitasi melalui jaringan warna dan objek yang beragam. Adha menerangkan, “(Warna dan objek yang beragam) memperlihatkan bahwa di dalam satu tubuh itu bisa memiliki banyak jiwa yang mungkin tidak kita ketahui sebelumnya.”
Langkah selanjutnya kami ambil, mendekat pada lukisan di sebelahnya. Adha kini memberi pertanyaan, tentang apa yang dilihat dari lukisan tersebut. Kami merenung dan menjawab, menangkap dua gunung dan matahari yang mengintip di tengahnya. Adha membantu mengingatkan tentang pola gambar yang barangkali familiar dengan pengunjung, gambar yang dibuat anak-anak ketika mengerjakan tugas seni budaya.
Dalam ceritanya, Adha menjelaskan latar belakang bagaimana Aqil mendapat ilham untuk melukiskan “New Hope”. Lukisan ini berangkat dari kondisi pandemi yang dihadapi Aqil beberapa tahun silam. Manusia saat itu tak punya banyak pilihan, hanya diam atau mati. “Di masa pandemi, dunia ini tidak punya banyak pilihan. Banyak orang hanya melihat hitam dan putih, padahal sebenarnya tidak, dunia tidak sehitam-putih itu,” ujar Adha.
Melalui warna-warna dominan kuning-merah yang cerah, Aqil menitipkan makna. Di antara pilihan hitam dan putih, nyatanya Aqil melihat masih ada macam-macam warna yang lain. Harapan untuk keluar dari keputusasaan, Aqil wakilkan melalui ragam warna, matahari, dan tentunya bersama kumpulan karakter seperti ciri khasnya. “Warnanya paling terang dan hangat, bisa digambarkan juga dari gambar mataharinya sebagai lambang ‘New Hope’,” lengkap Adha.
Waktu berjalan dan ruang berubah. Kini giliran “Overthinking” yang memperkenalkan diri. Di atas kanvas dengan dimensi 120 kali 120 cm, keresahan Aqil mewujud bersama tarikan cat akrilik. Kilas balik ketika hasrat melukis Aqil pampat, dituturkan Adha di hadapan karya. “Lukisan ini dibuat oleh pelukisnya saat ia sedang tidak mau melukis. Tapi ia didorong untuk terus berkarya dan berakhir overthinking,” tutur Adha.
Tidak seperti kedua lukisan sebelumnya yang banyak maknanya dititipkan di balik warna dan bentuk, Overthinking terkesan jujur, pesannya terbuka bebas. Kelumit ramai-riuh kepala misalnya, menjelaskan bagaimana karya ini memang menggambarkan kondisi berpikir-berlebihan. Kepala berupa tengkorak dan paku di sekitarnya juga mengarah pada makna tertentu, kematian. “Bisa kita artikan sendiri bahwa itu tuh overthinking, dan bagaimana overthinking itu bisa membunuh seseorang,” lanjut Adha.
Pilihan warna juga bukan tanpa arti, kontras yang tinggi antara kondisi di luar kepala dan di dalam kepala punya arti tertentu. Di balik tengkorak itu warna dari berbagai spektrum bergulat, berusaha memenuhi ruang-ruang kepala. Adha melanjutkan, “Warna-warnanya juga lebih beragam, (menunjukkan) bagaimana di kepala kita bisa ada banyak hal yang bercampur aduk.”
Tur ditutup dengan instalasi megah berjudul “Kemelut Mimpi”. Instalasi dengan tinggi hampir menyentuh dua meter ini, nyatanya menjadi karya instalasi pertama yang dibuat Aqil. Melalui Kemelut Mimpi, Aqil membagikan tragedi mimpi setelah penolakannya terhadap dunia. “Maksudnya kayak udah bodo amat dunia, aku mau mimpi saja,” terang Adha.
Kain-kain disusun dan diikat Aqil pada jaring-jaring kawat yang memutar membentuk angin berolak. Dengan motif mirip sisik tajam yang bertaburan pada kain, Aqil memperlihatkan ketajaman yang melukai. Pangkal pusaran dibuat di dasar tegel, merusaknya hingga pecah. “Menunjukkan kompleksitas mimpi yang akhirnya berkemelut, bersatu menjadi sesuatu yang sangat kuat dan dapat menghancurkan lingkungan sekitarnya,” tutup Adha mengakhiri tur.
Sebelum gagasan Aqil terwartakan, lukisan di balik kursi-kursi seakan merayu kami, meminta untuk diperhatikan. Kopi seduh pesanan kalah saing dengannya. Badan menghadap bar, kepala kami berputar, rasanya tidak ingin kehilangan cantiknya. Ternyata ia adalah “Female: A Never Ending Mystery”, sosok yang mencuri mata-mata kami.
Lukisan Female: A Never Ending Mystery menjadi satu dari sekian lukisan yang disakralkan dalam pameran, terlihat dari posisinya yang sentral, tepat di belakang panggung gelar wicara. Entah, terkesan tajam, membekas, makna lukisan yang tidak perlu dilisankan oleh gallery sitter. Pola doodle yang Aqil biasa goreskan di lukisan lain, sangat minim di lukisan ini, seakan menunjukan kedewasaan Aqil. Ia cukup menjiwai perasaannya, sangat tajam, sisik-sisik itu dikeluarkan.
Pada lukisan tersebut, tampak eksplisit sesosok perempuan yang menghadap ke belakang. Padanya, Aqil jujur mengekspresikan perasaan cintanya, terbukti ukuran ‘sosok’ itu mendominasi dalam lukisan Female. Cinta Aqil teruji. Hal itu dibenarkan dengan pernyataan Aqil bahwa dia sangat mencintai sosok itu, bukan karena rambut atau penampilannya, tetapi kemisteriusannya yang menurutnya cantik. Lukisan itu entah ditujukan ke siapa, tetapi konsistensi Aqil untuk mengatakan bahwa dia suka dengan perempuan dari sisi kemisteriusannya, perlu disepakati.
Lukisan yang misteri, sosok perempuan yang misteri, dan kriteria Aqil mencari perempuan karena misteri, menjadi hattrick Aqil mensyarahkan. Putihnya sosok perempuan dalam lukisan membawa kesan bersih, tulus, tak banyak embel-embel yang mengotori. “Romantis lukisannya, tapi tidak dengan kisahnya”, tutur Aqil.
Bincang ‘Dapur’ Artistik Aqil
Di malam yang sama, sesudah kami berkeliling, bertepatan dengan momen Aqil membuka sesi gelar wicara. Perbincangan yang berjalan sekitar dua jam itu membawa informasi sejarah. Berawal dari disleksia yang dialami Aqil, referensi se-abrek, hingga peran Wafi sebagai support system lewat Natra. Perjumpaan dengan Arga Aditya layaknya pewayangan lakon “Dewa Ruci” yang membawa ilmu baru, hingga peran sosok Ibu membawa Aqil memanifestasikan pameran ini. Di hadapan penikmat, Aqil membawa Arga dan Wafi untuk maju kedepan, mengisyaratkan bahwa kolaborasi ini bukan hanya peran Aqil saja. Trio ini seperti malaikat untuk malaikat, saling menyelamat. “Manajemenku (Natra) masih sangat baru, Aqil membantu sekali terhadap tumbuh kembangnya manajemenku. Terimakasih, Aqil,” tutur Wafi.
Kembali kepada karya Aqil, salah satu pengunjung mengacung, mengajukan pertanyaan. Ia mempertanyakan makna bentuk mata yang kerap terlihat di beberapa lukisan Aqil. Hal tersebut sangat maklum karena memang mata menjadi salah satu langganan Aqil di setiap karyanya–sebagai simbol yang ia suka. Menghadapi itu, Aqil berdalih dengan menyatakan bahwa di antara sekian indra, mata itu sangat curang, egois, terlalu mendominasi.
Lain halnya dengan bentuk sisik yang juga mendominasi dalam beberapa lukisan dan instalasi yang Aqil gawangi. Bagi Aqil, sisik digunakan karena memberikan kesan tajam. Entah, jalan imaji apa yang ada di pikiran Aqil membayangkan sisik sebagai representasi kesan tajam. Namun, pemaknaan tajam yang konsisten digambarkan dengan bentuk sisik, menurut kami cukup unik. Perbedaan bentuk sisik Aqil dengan bentuk sisik seniman lain seperti Eko Nugroho yang dijadikan contoh oleh Aqil terletak pada tipis dan kotornya sisik yang dihadirkan, tidak lebih repetitif. “Kenapa ada sisik? Kan ini bentuk tornado (Kemelut mimpi), tajam ke bawah, jadi ya udah ada sisik-sisiknya,” tutur Aqil.
Bentuk instalasi Kemelut Mimpi yang dimaknai tajam, ada relevansinya dengan konsep, tema, dan judul pameran, yaitu mimpi. Walau tajam dan merusak bak angin berolak, Aqil melalui judul pameran tidak mensyaratkan untuk berhenti bermimpi. Di awal, ia bahkan menyemangati pengunjung agar tidak perlu takut untuk bermimpi.
Mimpi sebagai Bagian dari Perjalanan
Lahirnya Pameran “F*ck The World, I Want To Dream” sebenarnya mengalami proses yang panjang. Awalnya, Aqil ingin mengangkat mengenai karakteristik manusia dan dosa-dosa yang berpotensi manusia lakukan. Namun, Wafi yang memang sudah lama mengenal Aqil memberi sebuah bahan “rembug” baru. Wafi berangkat dari hal-hal esensialis, banyaknya portofolio Aqil, Mimpi Aqil, dan proses Aqil memberikan ide baru. Wafi dan Aqil bersepakat untuk menyorot proses berkaryanya Aqil di pameran ini. “Kenapa kita ga ngomongin karyamu selama ini aja?” kata Wafi.
“Di Jogja ini jujur aku ga takut salah, gapapa aku jatuh, gapapa orang nganggap aku apapun yang jelek, yang buruk atau yang baik yang penting aku dapet bekal dari situ,” tutur Aqil menghadap ke pengunjung. Aqil menganggap bahwa pameran ini adalah jejak hidupnya. Mimpinya untuk berani salah dengan menceritakan Studio Kalahan yang “Menangan”, seolah harapan itu dikhidmatkan Aqil. Salah benar-benar diamini untuk mencapai mimpi dan pameran, ini buahnya, ini jejak hidupnya.
Perjalanan hidup Aqil dikaryakan, mimpi Aqil terejawantahkan. Ia menganggap bahwa siapapun bisa membuat karya, bahkan skripsi adalah karya. Rasanya di Joglo itu sangat intim, Aqil berhasil membawa kami khidmat dengan mimpi Aqil. Melalui mimpinya kami tangkap, untuk jangan takut bermimpi, itu akan menghasilkan karya yang suatu saat menjadi jejak hidup, intinya.
Penulis: Bagus Mahendra, Aghli Maula
Penyunting: Dian Agustini
Fotografer: Adimas Irawan
Ilustrator: Wahyu Atika