Sudah Jatuh Tertimpa Tangga: Pilu Hidup Perempuan Difabel di Dunia Pendidikan

0
151
bpmfpijar.com/Nais

PENDAHULUAN
Diskriminasi adalah salah satu masalah fundamental yang masih dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Salah satu kelompok yang rentan mendapatkan diskriminasi adalah perempuan difabel. Mereka acap kali mendapatkan diskriminasi berlapis sekaligus, yaitu sebagai perempuan dan difabel. 

Salah satu kasus nyata yang dilansir Kompas menjelaskan bahwa Evo (17), bukan nama sebenarnya, merupakan seorang disabilitas yang telah mengalami pemerkosaan oleh ayah angkatnya sendiri. Hal ini membuat Evo mengalami trauma berat dalam menerima kenyataan yang ada di dunia ini. Dampaknya ia kehilangan cahaya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pada kasus nyata ini terlihat pada kuatnya budaya patriarki yang mengakibatkan perempuan dalam kelompok difabel mengalami kerugian. Kerugian ini menjadikan beban dan tekanan yang dirasakan akan lebih berat jika dibandingkan dengan kelompok lain yang tidak mengalami kekerasan seksual. 

Agar permasalahan di atas tidak terjadi lagi, maka diperlukan adanya pendidikan inklusif. Pendidikan ini diperlukan untuk memberikan kesamaan akses kepada semua peserta didik dalam mendapatkan hak pendidikan. Sebagaimana yang tertulis di dalam Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 yang mengatur bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif. 

Indonesia sendiri memiliki kebijakan sekolah inklusi, tempat anak-anak berkebutuhan khusus, tak terkecuali perempuan difabel, dapat belajar bersama dengan anak-anak nondifabel lainnya di sekolah. Namun, tampaknya masih terdapat banyak faktor yang mestinya diperhatikan oleh pemerintah sebelum membuat kebijakan ini. Salah satunya pada SDN 169 Pekanbaru yang dijadikan contoh untuk pendidikan inklusif. Beberapa masalah ditemukan, seperti kurangnya pelatih khusus untuk mengajarkan kepada para guru, tidak meratanya pemahaman keberagaman individu, dan fasilitasnya tidak memadai (Fitri, dkk, 2024). 

Tantangan perempuan difabel juga diperparah oleh faktor budaya yang melekat di masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan diskriminasi berlapis terhadap mereka. Maka dari itu, untuk menggali isu ini lebih mendalam diperlukan adanya analisis melalui perspektif interseksionalitas. Analisis ini  membantu kita menggambarkan secara lebih menyeluruh mengenai interaksi antar berbagai bentuk penindasan dan dampak terhadap perempuan difabel.

Diskriminasi Menghalangi Pemenuhan Hak Asasi Perempuan Difabel
Interseksionalitas sendiri merupakan suatu teori tentang feminisme yang berfokus pada viktimisasi kaum yang termarginalkan oleh latar belakang mereka seperti gender, ras, etnis, agama, orientasi seksual, warna kulit, dan disabilitas. Menurut Crenshaw, interseksionalitas adalah “identitas individu yang saling terkait sehingga mempengaruhi cara pandang, pemahaman, dan perlakuan terhadap mereka” (Coaston, 2023). Interseksionalitas merupakan bentuk pemberian label viktimisasi pada kaum minoritas yang mendapatkan diskriminasi, sekaligus perlakuan istimewa dari sebagian orang akibat dari terbentuknya identitas ganda pada kaum marginal dan kondisi sosial mereka dalam hierarki kekuasaan. Pada perempuan difabel, identitas dirinya mengakibatkan diskriminasi melalui patriarki dan ableisme.

Dalam budaya patriarki, perempuan sering diposisikan dalam kedudukan yang rendah. Mereka dianggap tidak mampu dan tidak dihargai dalam konteks sosial, politik, ekonomi, agama, bahkan pendidikan. Dalam budaya patriarki ini, masyarakat berpikir bahwa perempuan lebih dominan menggunakan perasaan ketimbang logika (Girindani, 2022). Maka dari itu, perempuan sering diremehkan dan dikesampingkan dalam kegiatan sosial karena masyarakat lebih memprioritaskan laki-laki terlebih dahulu. Istilah patriarki dimaknai sebagai rule of the father karena adanya sebutan keluarga yang peraturannya didominasi oleh laki-laki atau seorang ayah (Farha & Putri, 2024). Istilah ini kemudian meluas konteksnya ke dalam berbagai aspek di lingkungan sosial sehingga menempatkan perempuan dalam posisi lebih rendah. Budaya patriarki yang turun temurun menimbulkan diskriminasi gender, ketidaksetaraan gender, pelecehan seksual, bahkan kekerasan fisik atau seksual yang didominasi dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan yang dinormalisasikan oleh sebagian masyarakat (Atisa, 2024).

Di sisi lain, identitas sebagai difabel mendapat diskriminasi dari labelisasi ableisme. Ableisme merupakan istilah penindasan kepada orang yang menyandang disabilitas; kondisi ketika orang nondifabel dianggap sebagai standar ideal, sedangkan nondifabel membingkai pandangan kasihan kepada penyandang disabilitas seolah disabilitas itu kondisi yang cacat atau memiliki pengalaman yang tragis. Asumsi yang mengatakan penyandang disabilitas tidak bisa produktif dalam kegiatan sosial juga termasuk dalam ableisme (Zavinaura, 2020). 

Patriarki dan ableisme ini tentunya dua sistem penindasan yang berbeda, tetapi patriarki dan ableisme saling berkaitan dan menguatkan satu sama lain. Dampak dari ableisme ini membuat penyandang disabilitas mendapatkan stigma kurang baik dan dianggap tidak layak untuk hidup seperti orang nondifabel. Karena identitas mereka ini, terciptalah diskriminasi dalam masyarakat dan tindakan-tindakan perampasan hak-hak manusia oleh nondifabel kepada penyandang disabilitas, lebih-lebih jika penyandang disabilitas itu merupakan perempuan. 

Dapat disimpulkan, berdasarkan perspektif patriarki, perempuan selalu diposisikan dalam posisi lebih rendah, termasuk perempuan difabel. Sementara dalam ableisme, perempuan difabel dianggap lemah dan kurang mampu dalam kontribusi sosial karena bergantung pada orang lain dan perlu fasilitas khusus penyandang disabilitas. Akibatnya, perempuan difabel mengalami diskriminasi dan tantangan ganda dari segi gender dan disabilitas di lingkungan sosial. Selain rentan mendapatkan stigma negatif, pelecehan, kekerasan fisik dan seksual, perempuan difabel juga kurang memperoleh kesempatan dalam mencapai hak-hak sosial termasuk pendidikan seperti yang didapatkan oleh orang nondifabel atau laki-laki penyandang disabilitas (Azhar et al., 2023). 

Menghadapi Ketidakadilan Pengetahuan: Perempuan Difabel dalam Diskursus Sosial
Perempuan difabel seringkali dihadapkan dengan berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang berlapis dalam lingkup sosial. Perlakuan tidak adil yang dialami oleh perempuan difabel tidak hanya terjadi dalam bentuk pengucilan di lingkungan sosial maupun fasilitas yang terbatas. Akan tetapi, terdapat pula bentuk diskriminasi lain yang dihadapi, yakni mengacu pada ketidakadilan dalam ranah “pengetahuan” atau disebut epistemic injustice

Epistemic injustice merupakan suatu bentuk diskriminasi khusus yang ditujukan pada seseorang sebagai subjek epistemik (Fricker, 2007). Dengan kata lain, pendapat, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dianggap kurang valid atau bahkan cenderung diragukan kebenarannya. Ketidakadilan ini dipengaruhi oleh stereotipe tertentu yang melekat pada seseorang, seperti ras, gender, agama, dan identitas sosial lainnya (Chrichton, Carel, & Kidd, 2017). 

Istilah epistemic injustice pertama kali dicetuskan oleh seorang filsuf asal Inggris yang bernama Miranda Fricker. Dalam bukunya, Epistemic Injustice: Power & the Ethics of Knowing (2007), ia mengidentifikasi ada dua bentuk dari epistemic injustice, yaitu testimonial injustice dan hermeneutical injustice. Testimonial injustice merujuk pada situasi di mana seseorang menerima kerugian secara epistemik, dalam hal ini kesaksian seseorang diragukan kredibilitasnya karena dipengaruhi oleh identitas sosialnya. Hal ini terjadi ketika terdapat prakonsepsi atau stereotipe yang memengaruhi cara pandang orang lain terhadap suatu hal. Sedangkan hermeneutical injustice terjadi ketika individu tidak memiliki suatu konsep atau pemahaman untuk mengomunikasikan pengalaman mereka (Demirtas, 2020) Hal ini terjadi  karena kesenjangan sumber daya berupa pengetahuan, misalnya tulisan, jurnalisme, ataupun seni yang merugikan seseorang dalam memahami atau menjelaskan suatu fenomena yang dialaminya. 

Pada kasus testimonial injustice, perempuan difabel seringkali diragukan kredibilitas dan kesaksiannya hanya karena stereotipe yang melekat pada identitas sosialnya sebagai perempuan sekaligus penyandang disabilitas. Selain itu, pada ranah hermeneutical injustice,  perempuan difabel seringkali kesulitan menjelaskan pengalaman mereka disebabkan keterbatasan pengetahuan akan bahasa atau konsep yang menggambarkan pengalaman tersebut. Hal ini berakar pada prasangka sosial yang menghalangi pengembangan konsep yang menggambarkan pengalaman tertentu terhadap perempuan difabel (Fricker, 2007: 6). 

Persoalan ini bermula karena sempitnya pemahaman tentang perspektif gender di kalangan peneliti dan penulis, yang seringkali menganggap perspektif gender bukan suatu elemen penting dalam riset mereka. Alhasil ilmu pengetahuan yang berkembang tidak merepresentasikan pandangan kaum marginal, salah satunya perempuan difabel, dengan baik. Selain itu, peneliti, aktivis, maupun penulis yang mengembangkan riset dan advokasi Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) seringkali tidak dapat mengekspresikan pengalamannya yang subjektif (Wulandari, Susilo, & Widiyanto, 2022). Akibatnya, perempuan difabel secara tidak sadar menjadi korban dari bentuk epistemic injustice terus menerus. Keterbatasan pengetahuan melahirkan paradigma yang dipengaruhi pandangan patriarki dan ableisme. Pandangan tersebut mempersulit perempuan difabel dalam mengakses pengetahuan yang berdampak pada bagaimana mereka menginterpretasikan pengalamannya. Dampaknya, perempuan difabel mau tidak mau  mengamini budaya patriarki dan ableisme yang sudah terbentuk.  

Ujung-Ujungnya, Ketidakadilanlah yang Didapat
Dalam Laporan Ringkas Kajian Disabilitas dari Komnas Perempuan tahun 2020 menjelaskan bahwa perspektif patriarki dan ableisme di keluarga miskin secara ekonomi dan pendidikan, acap kali perempuan difabel dianggap sebagai aib dan beban keluarga. Terlebih pun yang dialami oleh perempuan disabilitas lebih rentan terhadap penelantaran dibandingkan dengan laki-laki disabilitas. Hal meyakinkan akan pandangan pada marginalisasi perempuan difabel dalam mengakses pendidikan formal dan stigma pada kemampuan intelektual perempuan yang dianggap tidak mampu mengikuti proses pembelajaran yang kompleks.

Stigma ini diperburuk oleh kurangnya fasilitas pendidikan yang inklusif. Banyak sekolah dan institusi pendidikan belum menyediakan alat bantu belajar ataupun kurikulum yang adaptif untuk memenuhi kebutuhan perempuan difabel. Ditambah lagi, minimnya pelatihan bagi tenaga pendidik dalam memahami kebutuhan belajar perempuan difabel mengakibatkan pendekatan pembelajaran yang tidak relevan dan berujung diskriminatif (Wulandari, Susilo, & Widiyanto, 2022). Ketidakadilan ini membuat perempuan difabel kesulitan memperoleh informasi dan wawasan yang seharusnya menjadi hak dasar mereka, sehingga peluang mereka untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengejar cita-cita menjadi sangat terbatas.

Minimnya representasi perempuan difabel dalam pendidikan juga memperparah situasi ini. Perempuan difabel jarang terlihat dalam peran strategis di dunia pendidikan, baik sebagai pendidik, peneliti, maupun pembuat kebijakan dengan dalih bahwa mereka tidak akan mampu melakukan pekerjaan tersebut dan patut dikasihani (Walida, 2024). Berdasarkan Sumber Angkatan Kerja Nasional 2020, ada 56% perempuan difabel yang jenjang pendidikannya hanya berakhir sampai SD, jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan laki-laki penyandang disabilitas (Thohari, dkk, 2024). Ketidakhadiran mereka dalam posisi ini menciptakan kesan bahwa pendidikan bukanlah prioritas bagi mereka atau bahwa aspirasi mereka tidak relevan. Hal ini berkontribusi pada hilangnya peluang bagi perempuan difabel untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dari perspektif yang mereka miliki. Norma budaya yang bias dan struktur pendidikan yang tidak mendukung memperkuat hambatan ganda ini, baik dalam mengakses pendidikan maupun memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk membangun kehidupan yang lebih baik. 

Ketidakadilan ini pada akhirnya menunjukkan bahwa akses pendidikan yang inklusif tidak hanya sekadar soal membuka pintu sekolah bagi perempuan difabel, tetapi juga memastikan bahwa mereka mendapatkan pengalaman belajar yang setara dan bermakna. Penting untuk melihat bahwa pendidikan adalah jalan terbaik untuk memberdayakan individu, menghancurkan stigma, dan memperkuat peran perempuan difabel di masyarakat. Dengan membuka lebih banyak ruang untuk mereka, dunia pendidikan dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih luas.

 

 

Daftar Pustaka :
Atisa, Diaz. (2024). “Patriarki dalam Masyarakat: Kajian Dampak dan Isu Gender.” Kumparan. Diakses pada 16 November 2024. https://kumparan.com/diaz-atisa/patriarki-dalam-masyarakat-kajian-dampak-dan-isu-gender-22ZELbyhqC0/1.

Chrichton, Paul, Carel, Havi, & Kidd, Ian James. (2017). “Epistemic injustice in psychiatry”, BJPsych Bulletin, 41(2), 65-70.  https://doi.org/10.1192/pb.bp.115.050682

Coaston, Jane. (2019). “Intersectionality, explained: meet Kimberlé Crenshaw, who coined the term,” Vox. Diakses pada 16 November 2024. https://www.vox.com/the-highlight/2019/5/20/18542843/intersectionality-conservatism-law-race-gender-discrimination 

Demirtas, Huzeyfe. (2020).“Epistemic Injustice”. 1000-World Philosophy. https://1000wordphilosophy.com/2020/07/21/epistemic-injustice/#_ftn3

Demirtas, Huzeyfe. (2020, July). “Epistemic Injustice”. 1000-World Philosophy, July  2020.

Fitri, A. ., Lestari, D. Y. ., Lestari, D. S. ., Rossa, M. D. ., & Mustika, D. . (2024). KETIDAKSIAPAN SDN 169 SEBAGAI SALAH SATU SEKOLAH YANG DIPILIH OLEH DINAS PENDIDIKAN PEKANBARU UNTUK MENERAPKAN SEKOLAH INKLUSI. Jurnal Review Pendidikan Dan Pengajaran, 7(3), 6617=6621. Diakses pada 21 April 2025.  https://doi.org/10.31004/jrpp.v7i3.29089.

Fricker, Miranda. (2007). Epistemic Injustice : Power and The Ethics of Knowing. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780198237907.001.0001

Girindani, Wukir Asih. (2022). “HUBUNGAN STEREOTIP GENDER DAN HARGA DIRI DENGAN KECENDERUNGAN CINDERELLA COMPLEX PADA REMAJA PEREMPUAN,” Digilib UIN Sunan Ampel Surabaya,. https://digilib.uinsa.ac.id/57948/2/Wukir%20Asih%20Girindani_J71218069.pdf https://1000wordphilosophy.com/2020/07/21/epistemic-injustice/#_ftn3 https://himiespa.feb.ugm.ac.id/patriarki-di-indonesia-budaya-yang-tak-kunjung-lekang/ 

Komnas Perempuan. (2020). Laporan Ringkas Kajian Disabilitas Pemenuhan Hak Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual: Capaian Dan Tantangan. https://komnasperempuan.go.id/pemetaan-kajian-prosiding-detail/laporan-ringkas-kajian-disabilitas-pemenuhan-hak-perempuan-disabilitas-korban-kekerasan-seksual-capaian-dan-tantangan

OKTAVIA, V. (2023, February 4). Nestapa Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual. kompas.id. Diakses pada 21 April 2025. https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/01/30/nestapa-perempuan-disabilitas-korban-kekerasan-seksual.

Putri, Koes Afifah Qurratuaini & Farha, Adnalia. (2022). “Patriarki di Indonesia : Budaya yang Tak Kunjung Lekang”. HIMIESPA FEB UGM. Diakses pada 16 November 2024.

Sultana, Abeda. (2012). “Patriarchy and Women’s Subordination: A Theoretical Analysis”. Arts Faculty Journal 4, 1–18. https://doi.org/10.3329/afj.v4i0.12929 

Thohari, Slamet, et. al. (2024, July 2). “Policy Brief: Engendering Disability and Intersectionality in Inclusive Development”, Indonesian Journal of Disability Studies. https://pld.ub.ac.id/en/policy-brief-engendering-disability-and-intersectionality-in-inclusive-development/

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. 

Walida, Erfin. (2023, July 25). “Pendidikan Dan Diskriminasi Perempuan Disabilitas,” Mubadalah. Diakses pada 16 November 2024. https://mubadalah.id/pendidikan-dan-diskriminasi-perempuan-disabilitas/.  

Wulandari, Primatia Romana, Susilo, Wahyu, dan Widiyanto, Dwi J. (2022). “Integrasi dan Kolaborasi Pengetahuan untuk Kebijakan yang Lebih Inklusif” dalam Kesetaraan Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial dalam Praktik. Indonesia: Knowledge Sector Initiative. https://www.ksi-indonesia.org/assets/uploads/original/2022/03/ksi-1646712875.pdf

 

 

 

Penulis : Kadek Ariel Bagus Saputra, Laely Puspita Sari, dan Fradipta Azzahra (Magang)
Editor : Ilham Perdana Lazuardhi & Giovanni Ramadhani
Illustrator : Nais Nur Rafiah

LEAVE A REPLY