Rabu (12/02), dalam kanal instagram @suaramalioboro menghadirkan diskusi-konsolidasi dengan topik: “Wujudkan Tata Kota yang Partisipatif dan Demokratis; Tolak Warisan Budaya Penggusur Rakyat”. Diskusi ini dihadiri Supriyati (perwakilan PKL Malioboro), Eko Prasetyo (Social Movement Institute), M. Rakha Ramadhan (Lembaga Bantuan Hukum), dan Elanto Wijoyo (Penggiat Kebudayaan dan Sosial) sebagai pemantik. Diskusi ini digelar sebagai lanjutan aksi mengawal pedagang kaki lima Malioboro yang tidak digubris pemerintah perihal hilangnya Malioboro sebagai ruang publik dan rantai ekonomi rakyat.
Upik (Salah satu PKL Malioboro) menerangkan bahwa permasalahan selama tiga tahun ini belum ada titik terangnya. Menurutnya, Aliansi PKL Malioboro sudah mencoba untuk audiensi bahkan aksi, namun aliansi PKL Malioboro seperti dilemparkan dan digantungkan nasibnya. Selaras dengan Upik, Rakha menambahkan bahwasannya Malioboro kini hilang perannya sebagai ruang publik dan ruang sosial “Nah kini apa? Malioboro menjadi ruang asing dimana pengunjung lalu-lalang datang dan pulang,” tegas Rakha.
Lebih lanjut, Elanto menjelaskan bahwa konsistensi klaim wilayah pemerintahan Yogyakarta berbasis budaya tidak selaras dengan kondisi saat ini. “Tata Kelola pemerintahan yang dikelola dengan basis budaya seharusnya tidak menimbulkan ruang kesengsaraan,” tegas Elanto. Seirama dengan Elanto, Rakha menjelaskan dalil sumbu filosofi dan warisan budaya tak benda World Heritage UNESCO menjadi akar permasalahan hilangnya peran Malioboro sebagai ruang publik-ekonomi. Rakha menegaskan bahwa lagi dan lagi ada penyingkiran rakyat akibat dari klaim historis.
Selain itu, Rakha menilai bahwa pemerintah tidak melibatkan rakyat dalam permasalahan ini. Perwakilan dari LBH tersebut menerangkan bahwa jelas partisipasi masyarakat menjadi penting di dalam proses perlindungan dan pelestarian kawasan warisan budaya. “Malioboro tidak lagi menjadi ruang milik kita bersama, tapi seakan-akan menjadi ruang yang memang hanya milik Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta saja,” ujarnya.
Kondisi PKL pasca relokasi berdasarkan cerita Upik kini dipindahkan dari yang sebelumnya berada di selasar Malioboro ke belakang teras Malioboro. Menurut pengakuan Upik, tempat ini sangat tidak strategis untuk berjualan, tak hanya lokasinya yang tidak terlihat dari jalanan utama Malioboro, untuk bisa datang ke lokasi ini wisatawan juga harus melewati lorong-lorong. Selain itu, Upik mengeluhkan tidak hanya kesulitan akses lokasi saja, tetapi juga terkait ultimatum dari pengelola, “Nah, semenjak tanggal 14 kemarin pindah, kita di ultimatum sama pengelola. Kalau sampai tanggal 25 tidak berjualan, kita dikenai SP atau surat peringatan. Dan benar ternyata, tanggal 26 pagi sejumlah 135 pegagang dikenai surat peringatan bahwa tidak berjualan” cerita Upik
Upik kemudian menjelaskan, ultimatum ini menyebabkan dilema bagi PKL. Ia menceritakan apabila mereka memaksa berjualan, mereka harus keluar biaya lagi untuk modal pajangan dan jika mereka terus tidak berjualan, mereka terancam dikenai SP. Upik mengamati beberapa PKL harus menyerah dan mencoba peruntungan mencari pekerjaan lain. Meskipun demikian, Upik mengakatan bahwa tidak semuanya seberuntung itu, para PKL yang sudah sepuh tidak bisa semudah itu berganti profesi, serta ada juga yang anaknya harus putus kuliah demi membantu ekonomi keluarga. “Ada teman-teman kami yang putus kuliah, beneran. Ada yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena memang tidak ada biaya.” keluh Upik.
Rakha mengkritisi dalih pemerintah yang menggunakan sumbu filosofi sebagai alasan untuk menggusur ruang sosial dan ekonomi di Malioboro. Rakha menganggap keberlangsungan PKL lebih penting daripada sumbu filosofi itu sendiri, karena para PKL lah pilar ekonomi di Jogja. “Dengan adanya kaki lima menghidupkan roda perekonomian Kota Yogyakarta, mereka (pedagang) bisa mengambil barang dari supplier, Supplier bisa mengambil barang dari penyedia bahan.” Jelas Rakha.
Eko menekankan betapa pentingnya keberadaan PKL di Yogyarta ini harus dipertahankan, tidak boleh didiamkan ketika mereka digusur begitu saja. Eko menawarkan ada suatu cara yang bisa dilakukan untuk melindungi para PKL ini, yaitu dengan melegalkan mereka. Lebih lanjut, Eka menjelaskan bahwa salah satu alasan mengapa pemerintah menggusur PKL adalah karena mereka ilegal dan harus dibereskan. “Kalau sudah seperti itu, tugas kita adalah melegalkan PKL, bagaimana caranya? Kasih ruang. Mari kita cari tempat dimana PKL bisa berjualan, kita lindungi bersama-sama. Akan terlalu lama bila menunggu kemenangan legal, apalagi menunggu walikota dilantik. Cari ruang-ruang agar mereka bisa legal” pangkas Eko.
Penulis : Jati Nurbayan Shidiq, Muhammad Nur Syamsudin
Penyunting : Muhammad Teuku Thamrin
Fotografer : Hadrian Galang
Ilustrator : Ariel Johan Sulistyo