Pukul 10.00 WIB, massa aksi yang terdiri dari berbagai aliansi mahasiswa dan masyarakat menggelar demonstrasi pada hari Kamis (20/02). Mulanya massa aksi berkumpul di Parkiran Abu Bakar Ali yang selanjutnya akan melakukan demonstrasi di sepanjang jalan Malioboro, dan berakhir di depan Gedung Agung Yogyakarta. Aksi ini diadakan sebagai respons terhadap kebijakan baru pemerintah mengenai efisiensi anggaran, yang berkaitan dengan Prioritas Arah Kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan (BPP) 2026.
“Bisa dibilang suatu proyek ambisius yang sangat mencekik rakyat dimana pemerintah memiliki visi besar, tetapi dalam implementasinya mereka tidak pernah mencerminkan visi tersebut”. ujar Aan, selaku Mahasiswa Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengikuti demonstrasi. Ia merasakan bahwa kebijakan efisiensi anggaran menimbulkan keresahan dan kemarahan di kalangan masyarakat, sehingga menjadi pemicu aksi demonstrasi kali ini.
Smanof, salah satu massa aksi yang tergabung dalam Jogja Memanggil, menyerukan poin-poin perlawanan dalam aksi hari ini. Menurutnya, Kabinet Merah Putih yang telah berjalan selama 120 hari ini telah membawa berbagai macam bencana terhadap rakyat. “Mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, makan tidak bergizi gratis, kelangkaan gas 3 kg, dwifungsi militer, pemangkasan anggaran pendidikan, hingga ketidakpedulian pemerintah terhadap kesehatan rakyat,” ujarnya. Ia juga menambahkan beberapa poin perlawanan seperti kelangkaan solar, perampasan ruang hidup rakyat atas nama proyek strategis nasional dan pembunuhan rakyat yang dilakukan TNI-POLRI.
Sugap, perwakilan dari Medika Universitas Gadjah Mada (UGM), turut menyadari akan dampak dari pemangkasan anggaran. Menurut Sugap, efisiensi anggaran menyebabkan hilangnya belanja negara yang sudah diatur oleh Undang-Undang. Sugap berpendapat bahwa hilangnya belanja negara berpotensi memperlemah tanggung jawab pemerintah yang menyebabkan ketidakpastian dalam pembiayaan berbagai program, salah satunya adalah kesehatan. “Padahal kami ingin membantu menyehatkan masyarakat, tetapi tidak bisa karena Kementrian Kesehatan berinisiasi menyisihkan rakyat demi kepentingan oligarki,” katanya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa para tenaga kesehatan hanya dijadikan kambing hitam oleh Kemenkes atas mahalnya biaya rumah sakit dan beberapa biaya yang tidak teratasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Di samping itu, Maghsi, salah satu Mahasiswa Pendidikan Universitas Sanata Dharma (USD), mengaku sudah mulai merasakan dampak dari efisiensi anggaran mengenai pendidikan. Ia yang merupakan anak guru, mengaku kesulitan untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) karena kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa guru dan dosen tidak mendapatkan tunjangan kinerja. “Ketika guru-guru yang sudah berjuang sedemikian rupa tetapi tidak dihargai, bagaimana bisa kami memberikan performa yang terbaik saat mengajar?” keluhnya.
Aan juga angkat bicara mengenai efisiensi anggaran pendidikan ini. “Apabila pendidikan menjadi suatu hal yang memang dikorbankan untuk proyek-proyek ambisius Prabowo menurut saya kurang tepat,” jelas Aan. Menurutnya, salah satu hal yang bisa mengubah masyarakat Indonesia adalah melalui pendidikan. Namun, hal ini disayangkan oleh Aan mengingat efisiensi anggaran pendidikan merupakan hal kontradiktif dari visi Indonesia Emas 2045.
Di akhir wawancara, Maghsi tidak berharap sama sekali terhadap Kabinet Merah Putih. “Kalau harapan sih susah karena sudah gelap, lampunya gak ada,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa aksi demonstrasi ini adalah sebagai sikap muak dan lelah terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Aan turut menambahkan harapannya, apabila pemerintah tidak bisa menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, alangkah baiknya pemerintah sadar diri untuk mundur dari jabatannya dan melakukan evaluasi.

Penulis : Veni Febriani dan Mallica Kezia
Editor : Muhammad Arya Hakiim
Illustrator : Ariel Johan Sulistyo