Menggugat Sejarah, Pameran Patung dan Aktivisme di Jogja National Museum

0
588
(bpmfpijar.com/Fadil, Nais)

“Pameran ini merupakan hasil proses kerja sama setelah 20 tahun mereka sudah berkarya bersama,” tutur Wisnu. 

 

Senin (07/09), Maestro patung Indonesia, Dolorosa Sinaga, kembali berkolaborasi dengan murid sekaligus koleganya, Budi Santoso, untuk menggelar pameran seni rupa bertajuk “Patung dan Aktivisme” di Jogja National Museum (JNM). Pameran ini merupakan kelanjutan dari pameran serupa yang telah digelar di Galeri Nasional Indonesia pada Juli lalu. Pameran kali ini diselenggarakan mulai dari 7 Oktober hingga 7 November 2024. 

“Judul ‘Patung dan Aktivisme’ sangat mewakili karya-karya mereka,” ujar Alexander, kurator pameran. Ia mengungkapkan bahwa kedua seniman ini tidak hanya merespons peristiwa politik, tetapi juga mengekspresikannya secara mendalam dari sudut pandang yang sangat personal hingga perspektif yang lebih luas. Melalui patung-patungnya, Dolorosa dan Budi mengajak pengunjung untuk merenungkan kembali kelamnya sejarah bangsa dan mendorong kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan.  

Ekspresi Seni dan Politik

Alexander menjelaskan bahwa pameran ini memiliki dimensi politik yang signifikan. Hal tersebut, baginya dapat dilihat melalui dua karya yang dipajang di bagian depan pameran secara khusus ditujukan untuk merespons peristiwa kelam penculikan aktivis pada tahun 1996, 1967, dan penembakan mahasiswa pada tahun 1998 dan 1999 tersebut. Selaras dengan Alexander, Wisnu menegaskan jika pameran ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi seni, tetapi juga menjadi ruang kritis terhadap sejarah bangsa dan memahami seperti apa masa lalu masih relevan dengan kondisi saat ini. “Mengingat adanya rencana pelantikan seseorang yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat sebagai presiden pada bulan ini,” balas Alexander.

Alexander pun mengungkapkan kesedihannya atas kesuksesan Orde Baru dalam membunuh imajinasi politik masyarakat. “politik yang kita tahu sekarang adalah politik elektoral, politik partai. Padahal politik kan jauh lebih kaya daripada itu” ujar Alexander. Menurutnya, pameran ini juga menunjukkan kekayaan politik itu sendiri, cara mengajarkan agar dapat berpolitik dengan komunitas, berpolitik dengan mengorganisir solidaritas, sehingga tidak ada lagi cara berpolitik seperti masa Orde Baru.  

Ungkap Jejak Masa Lalu Lewat Karya

Wisnu, mengungkapkan bahwa salah satu karya yang menarik perhatian adalah “Anatomi Kerja” karya Budi Santoso. Menurutnya, karya tersebut seperti mengajak untuk merenung pada masa penjajahan. “Budi Santoso menginspirasi karyanya dari praktik kolonial di mana para peneliti asing datang ke Indonesia untuk mempelajari dan mendokumentasikan penduduk lokal, termasuk ciri fisik mereka,” ungkap Wisnu. 

“Budi Santoso seolah-olah mengajak kita untuk melihat kembali bagaimana kolonialisme telah merendahkan martabat manusia dan memanipulasi pengetahuan untuk kepentingan penguasa,” tegas Wisnu.

Alexander juga menyampaikan bahwa kelebihan seni memiliki kemampuan unik untuk merepresentasikan fakta sejarah dan momen sejarah dengan cara yang mendalam dan bermakna. “Seni dapat mengikat dirinya pada momen sejarah tertentu, namun pada saat yang sama, ia dapat melampaui batas waktu dan menjadi relevan bagi generasi mendatang,” jelasnya.

Wisnu mengungkapkan kekagumannya terhadap kemampuan Dolorosa  dalam menguasai bidang anatomi, terutama anatomi tubuh. “Dolorosa memiliki keahlian luar biasa dalam menguasai anatomi manusia,” ucap Wisnu. Menurutnya, meskipun karya-karyanya seringkali tidak menampilkan wajah, namun mampu menyampaikan ekspresi yang sangat kuat.  

Dolorosa, menegaskan bahwa berkarya seni baginya adalah sebuah komitmen. “Saya sejak dulu, kalau bisa ini harus menjadi semacam tanggung jawab etis terhadap kepedulian saya dari permasalahan sosial politik, that’s it,” tegas Dolorosa. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kolaborasinya dengan Budi Santoso dalam pameran ini dilandasi oleh semangat untuk memberikan kontribusi bagi generasi muda. Ia juga berkomitmen untuk selalu memperjuangkan keadilan dan perlawanan dalam bentuk represi, untuk terus melawan negara maupun kelompok yang sewenang-wenang.  

(bpmfpijar.com/Fadil, Nais)

 

Saya akan selalu membuat karya-karya yang berpihak pada mereka yang terepresi, mereka yang memperjuangkan keadilan dan karya saya harus bisa menggerakkan itu untuk perubahan.” tutup Dolorosa Sinaga 

 

 

Penulis: Fini Kezia Fortunatal Waruwu, Risdayanti Purba
Penyunting: Fadillah Akbar
Fotografer: Fadillah Akbar
Ilustrator: Nais Nur Rafiah

LEAVE A REPLY