Kebijakan Pariwisata, Diskusi Publik Ungkap Suara Warga Yang Terpinggirkan

0
391
(bpmfpijar.com/Affan)

“Terluput dari Takdir dan Pariwisata: Potret Penyingkiran dan Perampasan Ruang Hidup Warga Kota Warisan Dunia” menjadi topik diskusi publik yang digelar di Jalan Kembang Merak, Ruang B-19 Universitas Gadjah Mada (UGM), pada Jumat (11/10). Diskusi ini diselenggarakan secara kolektif oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Balai Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung, dan beberapa komunitas lainnya. Diskusi ini menyoroti kebijakan pemerintah terkait penataan kawasan sumbu filosofi dan pengembangan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebijakan ini menjadi perhatian karena penerapannya yang seringkali mengabaikan ruang hidup serta hak-hak warga dan berujung pada penggusuran lahan.

Bayu Dardias, ahli politik agraria dan keistimewaan, menjelaskan terkait kebijakan tata ruang dan satuan ruang strategis (SRS). Ia menyatakan bahwa dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kewenangan tata ruang kesultanan dan kadipaten terbatas pada tanah milik kesultanan dan kadipaten. “Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta mengembangkan 18 daerah yang disebut satuan ruang strategis (SRS) untuk mendukung pariwisata dan pengembangan budaya,” ujar Bayu. Lebih lanjut, Bayu juga menjelaskan bahwa kebijakan ini menjadi alasan terjadinya beberapa hal terkait proses penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) di Malioboro. 

Rakha Ramadhan, perwakilan  LBH Yogyakarta, menegaskan dalam kurun waktu 2022 hingga 2024, kawasan Malioboro menghadapi persoalan terkait pariwisata dan warisan budaya. Ia menyebutkan bahwa, “Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta tidak memikirkan mitigasi atau penyelesaian setelah relokasi, sehingga sekitar 120 orang terdampak berjuang selama 4 bulan untuk mendapatkan kepastian”. Rakha menegaskan bahwa dampak dari persoalan ini cukup signifikan karena tidak hanya dirasakan oleh PKL Malioboro, tetapi juga pendorong gerobak. Selanjutnya, Rakha menjelaskan bahwa persoalan ini disebabkan oleh sikap pemerintah yang tidak mengindahkan Konvensi UNESCO 2003 tentang pelibatan komunitas dalam perlindungan dan pelestarian.

Supriyati, perwakilan PKL Malioboro, menjelaskan bahwa rencana relokasi PKL Malioboro terus memicu keresahan. “Kurangnya transparansi dan partisipasi dalam proses perencanaan membuat para PKL merasa tidak diikutsertakan sebagai subjek yang terkena dampak,” ucap Supriyati. Ia menegaskan bahwa PKL Malioboro tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan relokasi, padahal ini menyangkut mata pencaharian mereka. Supriyati menambahkan bahwa  ketidakjelasan informasi terkait lokasi, fasilitas, dan jaminan ruang hidup menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro.

Damar, warga Bong Suwung yang tergusur, juga mengeluhkan minimnya kompensasi yang diberikan oleh PT. KAI atas penggusuran yang dialaminya. “Hanya diberi 200 ribu untuk biaya bongkar dan 500 ribu untuk pindah,” ujar Damar. Selain itu, Damar menyinggung soal proses pengajuan kompensasi pascapenggusuran yang tidak adil. Sebab, pengajuan kompensasi ini hanya berlaku untuk dua tahun ke depan dan hanya bagi warga dengan Kartu Tanda Penduduk Kota Jogja yang mendapatkan kompensasi.  Ia menyatakan bahwa situasi ini menyebabkan banyak warga kehilangan mata pencaharian dan anak-anak putus sekolah.

Bayu mengatakan, kebijakan tak acuh pada hak dan ruang hidup masyarakat bisa diterapkan karena ekspansi kewenangan tata ruang oleh Pemda DIY yang melampaui batas-batas Undang-Undang Keistimewaan. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini membuat warga tidak memiliki dasar hukum yang kuat atas tanah untuk menuntut ganti rugi. “Jadi kalau ditanyakan mereka bisa tidak menuntut ganti rugi? Tidak bisa karena tidak memiliki alasan,” ucap Bayu. Lebih lanjut, Bayu menjelaskan cara mengatasinya adalah dengan mengubah Peraturan Daerah (Perda) menjadi Undang-Undang untuk memperluas cakupannya tanpa membatasi aturan.

Dewi, warga PKL Teras 2 Malioboro, berharap pemerintah membuka pintu dialog dengan para pedagang untuk mendiskusikan kebutuhan mereka secara transparan. “Harapan saya pemerintah membuka pintu dialog dengan warga untuk menyampaikan kebutuhan kami sebagai pedagang yang merasakan langsung dampak dari kebijakan yang ada,” ujar Dewi. Ia menegaskan penting melibatkan pelaku usaha dalam proses perencanaan kebijakan karena berdampak langsung bagi kehidupan mereka. Dewi berharap keputusan yang diambil dapat membawa kesejahteraan bagi warga, sehingga mereka tidak lagi merasa terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan. 

 

 

Penulis      : Deni Rizqi Pradeta, Inggrid Manusatun Nadia
Editor        : Muhammad Elfhan Winata
Fotografer : Muhammad Affan Fitrah

LEAVE A REPLY