Aksi Simbolik Meruwat Demokrasi, Mahasiswa Kibarkan Identitas Perlawanan

0
210
(bpmfpijar.com/Syefa)

Pukul 14.00 WIB mulai dilancarkannya aksi yang bertajuk “Ruwatan: Meruwat Demokrasi” di Jalan Malioboro hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta pada Selasa (11/03). Aksi tersebut diikuti oleh mahasiswa dari universitas yang terdapat di Jogja serta tergabung beberapa komunitas dalam masyarakat yang turut serta dalam aksi. Aksi “Meruwat Demokrasi” merupakan aksi lanjutan dari aksi sebelumnya, yakni aksi demonstrasi “Indonesia Gelap”. Massa aksi  meyakini bahwa Indonesia masih gelap. Sebagaimana yang dikatakan Asok, mahasiswa ISI Yogyakarta, “Kita masih membangun wacana yang sama karena wacana “Indonesia Gelap” ditentang oleh pemerintah dengan jargon “Indonesia Terang”,”.

Aksi “Meruwat Demokrasi” dilakukan dalam bentuk aksi simbolik. Aksi simbolik “Silence Long March” ini dilakukan dengan mengibaskan pakaian. Pakaian sering diasosiasikan dengan identitas dan kami memaknai itu sebagai identitas bangsa Indonesia,” terang Maul, anggota ISI Bergerak. Ia juga menjelaskan bahwa pakaian tersebut berlumuran darah. Bukan tanpa makna, menurutnya, pakaian yang berlumuran darah itu merepresentasikan realitas tragedi kemanusiaan di Indonesia. “Harapannya, solidaritas dari rakyat dapat membuat darah itu kering atau tragedi-tragedi kemanusiaan beserta segala bentuk tantangan kemanusiaan bisa segera tertuntaskan,” ujarnya.

Keresahan masyarakat dan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan merupakan dasar dari aksi ini. Putra (nama samaran)—mahasiswa ISI Yogyakarta—mengungkapkan, “Kebijakan makan bergizi gratis hanya simbol tanpa solusi nyata. Jika ingin masyarakat sejahtera, seharusnya harga minyak diturunkan, pendidikan digratiskan, nelayan diberi perahu, dan petani diberi pupuk. Bukan menghamburkan dana ke Danantara tanpa transparansi,”. Ia menambahkan bahwa kebijakan yang tidak menyentuh akar permasalahan justru akan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat di masa depan. 

Lebih lanjut, Putra mengeluhkan, “Saya sangat geram dengan kasus bensin oplosan yang mana bensin Pertalite diubah warnanya agar mirip Pertamax. Jelas di sini merugikan rakyat, terutama dalam aktivitas sehari-hari seperti bekerja dan kuliah. Ini dapat merusak kendaraan pengendara,”. Di sisi lain, Putra menambahkan bahwa program Danantara lebih baik dihilangkan. “Tentang Danantara, menurut saya, kalau bisa itu dihilangkan aja sih,” sarannya. 

Aksi “Meruwat Demokrasi” tak lagi memberi tuntutan terhadap rezim Prabowo-Gibran, melainkan ingin membersihkan pengaruh buruk dari seorang penguasa. “Kita tidak lagi melakukan tuntutan dalam aksi ini, melainkan melakukan pembersihan terhadap rezim hari ini,” ucap Asok. Ia juga menegaskan tiga poin perlawanan aksi “Meruwat Demokrasi”, yaitu turunkan Prabowo-Gibran, bubarkan Kabinet Merah Putih, dan bangun demokrasi kerakyatan. Baginya, ini menjadi seruan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk bangkit melawan penguasa secara terang dan tegas.

Di samping itu, Asok juga menyampaikan bahwa hukum di Indonesia tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Demokrasi pun mengalami kemunduran, pikirnya. “Terjadi pembredelan pentas karya teater, lukisan, dan kesenian bermusik oleh aparat serta lainnya,” tandasnya. Sejalan dengan Asok, Maul berpandangan bahwa persoalan hukum di Indonesia masih belum tegak sempurna dalam membela kepentingan rakyat. Menurutnya, hukum masih runcing ke bawah dan tumpul ke atas. “Kalau persoalan hukum di Indonesia memang masih belum tegak sempurna untuk bisa membela kepentingan-kepentingan rakyat. Kita semua tahu hukum di Indonesia itu runcing ke bawah dan tumpul ke atas,” terangnya.

Maul berharap agar ke depannya rakyat Indonesia dapat sejahtera dan hak-haknya dipenuhi oleh siapa pun yang memimpin negara ini. Selain itu, Asok juga membagi harapannya, “Jadilah Indonesia yang sebagaimana Indonesia itu ada dan ber-Bhineka Tunggal Ikalah dalam Indonesia,”. Jika dengan satu kata dapat menggambarkan realitas kepemimpinan Prabowo-Gibran, Maul memilih kata “janc*k”.

 

 

 

Penulis       : Inggrid Manusatun Nadia, Indy Neihan
Editor         : Satrio Yudhoyono
Ilustrator   : Nabila Syefa Lulu

LEAVE A REPLY