Aliansi Jogja Memanggil Suara Rakyat Menggema di Gejayan

0
114
(bpmfpijar.com/Fadil, Intan)

“Lir ilir negoro ni kocar kacir rakyatne ora dipikir, Jokowi soyo kentir,” 

Lirik satir yang dikumandangkan oleh Gianto, selaku peserta aksi Jogja Memanggil pada Kamis (29/8) menambah riuh suasana di pertigaan jalan Gejayan Yogyakarta. Reformadi, selaku koordinator lapangan, menyebutkan bahwa aksi ini diinisiasi oleh beberapa elemen masyarakat yang tergabung di Aliansi Jogja Memanggil, seperti Forum Cik Di Tiro, Sejagad, dan BEM Se-DIY. Mulanya, peserta aksi berkumpul di Universitas Sanata Dharma (USD) pada pukul 14.30 WIB dan melakukan long march menuju pertigaan jalan Gejayan. Aksi ini menjadi puncak dari rangkaian demonstrasi yang sebelumnya sudah dilaksanakan dua hari berturut-turut pada 27 dan 28 Agustus 2024 di Jalan Malioboro dan Titik Nol Yogyakarta. “Satu kesimpulan yang kami tuntut adalah turunkan Jokowi dan adili Jokowi,” tegas Reformadi. 

Aksi yang dilakukan tiga hari ini, berangkat dari respon penolakan Revisi Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang direncanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Mariana, salah satu dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tergabung dalam aksi ini, menyerukan kewaspadaan terhadap proses pembuatan RUU Pilkada ini meskipun telah dibatalkan oleh DPR. Ia melihat adanya kemiripan antara kasus yang sedang terjadi dengan kasus kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Seperti UKT yang hampir naik, karena adanya tekanan dari rakyat baru mereka bergerak, semuanya melawan dan akhirnya dibatalkan,” geram Mariana. 

(bpmfpijar.com/Fadil, Intan)

Negara Abai Rakyat

“Saat ini, kita berdiri kembali (berkumpul) di pertigaan ini, mengulang kembali kekalahan-kekalahan yang terus kita rasakan setiap tahunnya,” seru Feri, selaku peserta aksi.

Feri menegaskan bahwa masyarakat kini tidak dapat menggantungkan hidupnya kepada elite (pemerintah) manapun di negeri ini. “Kita tidak dapat menggantungkan diri kita kepada DPR dari partai manapun,” lancang Feri. Menurutnya, saat ini hal yang memungkinkan bagi rakyat ialah dengan membangun kekuatan rakyat dari bawah dan mengorganisir kekuatan rakyat miskin. 

Ia juga menambahkan bahwa kondisi kesejahteraan yang ditunjukkan oleh pemerintah adalah sebuah kebohongan publik. Hal ini, baginya terlihat dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menurutnya dibangun bukan untuk rakyat, melainkan untuk para elite dan investor. “Bukan untuk kita kawan-kawan, kita setiap hari (harus) tetap mencari rupiah, seribu, dua ribu dengan berbagai tekanan yang ada,” resahnya.

Hal serupa juga dipertanyakan oleh Fahriza, salah satu peserta aksi. Ia mempertanyakan ketidakjelasan kepentingan di balik pembangunan IKN. “Dan hadiah yang diberikan kepada masyarakat adalah gas air mata untuk teman-teman yang sedang menyuarakan aksi demonstrasi,” kesal Fahriza. Mariana, menambahkan bahwa kondisi negara ini sedang tidak baik-baik saja dengan meningkatnya indeks korupsi, kolusi, dan nepotisme di era rezim Jokowi. “Korupsi merajalela dan dibiarkan di rezim Jokowi, supaya semua bisa disandera. Sekarang lihat elite politik tidak ada yang bisa berkutik gara-gara (ulah) mereka sendiri sebetulnya,” ungkap Mariana. 

(bpmfpijar.com/Fadil, Intan)

Bentak Bisu Hati

“Barangkali mereka putus asa, kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri,” Mulky, selaku peserta aksi dalam puisinya.

Aksi ini juga dipenuhi aspirasi menentang brutalitas polisi yang terjadi beberapa waktu silam. Hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar bagi Fahriza. Menurutnya, demonstrasi adalah hal yang wajar di negara demokrasi yang dilindungi undang-undang dan sudah sepatutnya mereka dilindungi. “Mereka tidak belajar dari Kanjuruhan, mereka tidak belajar dari kejadian-kejadian lampau yang sudah banyak sekali memakan korban,” ujarnya. Ia juga mengeluhkan bahwa tindakan ini hanya akan memakan korban lebih banyak, terutama ibu-ibu dan anak-anak.   

Lebih lanjut, ia mengecam tindakan brutalitas polisi dengan menegaskan bahwa “rakyat bukan sasaran tembak”. Hal ini juga dirisaukan Mariana, baginya keberadaan polisi yang seharusnya menjadi penegak keadilan, justru dipenuhi fungsinya oleh rakyat. Dodok, Komika Yogyakarta, menerangkan bahwa polisi yang mulanya berada di bawah naungan militer pada era Orde Baru, telah dibebaskan oleh Reformasi. “Artinya polisi adalah anak kandung reformasi, polisi adalah anak-anak aktivis, anak-anak rakyat. Kalau polisi menangkap rakyat, menembak, bahkan membunuh, berarti kalian durhaka kalian jahat banget,” pungkasnya.

Di akhir aksi, Reformadi membacakan press release yang berisikan lima poin ajakan, yakni:

  1. Lawan upaya kerusakan ataupun pelemahan konstitusi
  2. Mencegah segala cara dan politik dinasti
  3. Mengajak seluruh dosen serta guru besar di Jogja untuk kritis dan berani bersuara
  4. Menyerukan kepada warga Jogja untuk membangun oposisi rakyat
  5. Menyerukan kepada semua gerakan perlawanan rezim Jokowi untuk bersatu dalam konsolidasi.

Reformadi pun berharap dari aksi ini dapat membuat banyak masyarakat menjadi melek terhadap perilaku-perilaku politik di kepemimpinan Jokowi. Selain itu, Reformadi juga berharap agar DPR yang di Senayan mendengarkan nasib rakyat. Hingga di penutup aksi, Shana Ulaili, perwakilan forum Cik Di Tiro yang tergabung dalam aksi Jogja Memanggil, melaporkan bahwa selama tiga hari ini, tidak ada ditemukannya laporan kekerasan seksual yang terjadi semasa demonstrasi. Kemudian, untuk mengawal aksi ini pula disepakati oleh massa aksi demonstrasi untuk konsolidasi lanjutan pada Sabtu (7/9).  

 

 

Penulis       : Fadillah Akbar
Penyunting : Aghli Maula
Fotografer  : Fadillah Akbar
Ilustrator    : Intan Nisa Sholikhah

LEAVE A REPLY