Aksi Gerudug PT. KAI, Warga Bong Suwung Tuntut Tanggung Jawab

0
509
(bpmfpijar.com/Dani)

“Sterilisasi, bahasa halusnya dari penggusuran yang tidak mengedepankan hak asasi manusia,” 

Seruan Anna Mariana, salah satu peserta aksi unjuk rasa Bong Suwung Menyala (24/09). Aksi ini dimulai dengan berkumpul di depan Kantor PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi 6 (Daop 6) Yogyakarta, pada pukul 10.05 WIB. aksi ini dilatarbelakangi untuk menuntut kedaulatan rakyat atas ruang hidup yang dirampas. Memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan agar tetap berdiri kokoh dari warga Bong Suwung yang akan digusur paksa oleh PT KAI. Aksi unjuk rasa ini pun didukung oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Yogyakarta.

Mulanya, Aliansi Bong Suwung Menyala melayangkan empat poin tuntutan untuk PT. KAI. Empat poin ini mencakup penolakan sterilisasi, pemagaran sepanjang kiri dan kanan rel kereta,  penundaan waktu sterilisasi, dan  meminta PT KAI, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kota Yogyakarta dan Keraton Yogyakarta untuk bertanggung jawab atas sterilisasi. Dikutip dari pers rilis, sterilisasi ini dilakukan dengan indikasi maladministrasi. Rukida, salah satu warga dan peserta aksi meminta kompensasi ataupun relokasi. “Bukannya kita nggak mau diusir atau disingkirkan, tapi harus dikasih tempat atau dikasih imbalan untuk menyambung hidup,” ucap  Rukida.

Dalam negosiasi dengan PT. KAI, peserta aksi sempat terlibat dalam perdebatan yang sengit. Pukul 10.30 WIB pihak PT. KAI meminta lima orang perwakilan Aliansi Bong Suwung Menyala untuk berunding dengan pihak PT. KAI. Hal ini disayangkan karena kesepakatan sebelumnya pihak PT KAI meminta 10 perwakilan untuk berunding, namun tiba-tiba hanya 5 orang saja yang dapat masuk. Hal tersebut menyulut emosi warga Bong Suwung. “Kami sudah mengalah dari 10 jadi 5 orang, kenapa dipilah-pilah lagi?!” keluh Angga, salah satu bagian aliansi yang ikut dalam perdebatan.

Sebelumnya, PBHI sudah melakukan upaya mediasi dengan mengunjungi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjembatani Aliansi Bong Suwung dengan Pemerintah Daerah. Namun, upaya tersebut tidak mendapatkan titik terang. “Kami telah mengawal secara substansi dan melakukan tuntutan untuk mengadakan audiensi dengan DPRD. Kami juga telah mengajukan pengaduan ke Ombudsman dan kembali ke DPRD kota. Namun, hasilnya tidak memenuhi harapan yang kami maksud,” tutur Rafi. Menurut Rafi, gerakan kemarin itu seperti bola ping-pong, karena hanya dilemparkan saja dari stakeholders ke stakeholders lain, karena tidak ada upaya meskipun sudah bertemu tetapi DPRD tidak memenuhi tuntutan yang diberikan.

Pada audiensi sebelumnya, pihak PT. KAI memberikan ganti bongkar bangunan sebesar 200 ribu per meter. Namun, Aliansi Bong Suwung juga menuntut relokasi jika terjadi penggusuran. Tuntutan tersebut muncul karena Aliansi Bong Suwung ingin  pertanggungjawaban PT. KAI. “PT. KAI ingin memberikan ganti bongkar pasang itu 200 ribu per meter, dan warga menolak,” ucap Anna. Lebih lanjut, Anna mengharapkan adanya audiensi dengan Pemkot dan Pemda untuk dapat memenuhi kebutuhan warga Bong Suwung, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Rafi Baihaqi, salah satu  perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM), menegaskan jika audiensi pertama tidak memenuhi tuntutan ia ingin warga Bong Suwung dilibatkan dalam pengambilan kebijakan. “Misalnya, jika terjadi penggusuran di sana, jelas pemerintah harus  bisa memberikan alternatif perumahan kepada masyarakat, dan itu hal yang kami kawal dari perundingan yang terjadi di dalam,” kata Rafi. 

Anna Mariana, salah satu perwakilan dari PBHI, menjelaskan masyarakat tidak dilibatkan dari perencanaan awal, perencanaan sudah selesai, dan masyarakat Bong Suwung secara tidak langsung dipaksa menerima perencanaan tersebut. “Kalau kita lihat secara prosedur, seharusnya ada keterlibatan masyarakat di dalam perencanaan apapun itu. Dari situ saja sudah menyalahi prosedur, baik PT KAI maupun pemerintah yang ada,” lanjut Anna.

Restu Baskara, kuasa hukum Bong Suwung dari PBHI dan salah satu dari lima orang perwakilan Aliansi Bong Suwung menjelaskan hasil dari audiensi dengan PT. KAI. “Mengenai kompensasi, hanya diberikan ongkos bongkar bangunan sebesar 200 ribu per meter persegi untuk bangunan semi-permanen dan 250 ribu untuk bangunan permanen serta ditambahkan ongkos sebesar 500 ribu per rumah,” kata Restu. Ia menjelaskan bahwa PT. KAI hanya menaikkan biaya ongkos bongkar bangunan dan memberikan waktu hingga hari Jumat (27/09). Meskipun ada penolakan dari warga, bangunan tetap akan disterilisasi. Biaya bongkar ini mencakup Rp 250 ribu per meter untuk bangunan permanen dan tambahan Rp 500 ribu per rumah.

Pada 27 September 2024, lebih dari 50% warga Bong Suwung akhirnya menerima uang ganti bongkar sebesar 500 ribu rupiah dari PT KAI. Warga Bong Suwung memilih untuk bongkar mandiri dan meminta waktu pembongkaran maksimal hingga 2 Oktober 2024. Warga Bong Suwung pun akan melanjutkan hidup mereka masing-masing. Beberapa warga Bong Suwung memilih untuk pulang ke kampung asal mereka dan beberapa memilih untuk tinggal di kos-kosan dekat daerah Bong Suwung.

 

 

Penulis        : Jati Nurbayan Shidiq, Veni Febriani (Magang)
Penyunting : Bagus Mahendra
Fotografer   : Dani Ardian
Ilustrator    : Dani Ardian

LEAVE A REPLY