Suara Perempuan Menggema di Aksi Kamisan Jogja

0
109
(bpmfpijar.com/Galang/Judith)

Simpul

  1. Ketidakberpihakan kebijakan pemerintah terhadap perempuan, kebijakan yang dibuat seringkali tidak didasarkan pada kajian berperspektif gender, berakibat kepada keputusan-keputusan yang merugikan perempuan.
  2. Ketimpangan signifikan yang dialami perempuan di sektor pendidikan, meskipun akses membaik tetapi masih ada ketimpangan di dunia kerja, dengan adanya stigma dan hambatan karier bagi perempuan, dan masalah layanan kesehatan reproduksi bagi korban kekerasan seksual.
  3. Seruan perlawanan dan solidaritas perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.

Perempuan bukan beban Tuhan yang harus pasrah tanpa perlawanan, sekali seumur hidup penguasa harus dipaksa untuk tahu jika seluruh perempuan    berhenti, maka dunia akan berhenti.” penggalan puisi Iroy, selaku perwakilan dari Social Movement Institute (SMI) 

Aksi Kamisan Yogyakarta pada Kamis (6/3) berbeda dari biasanya. Kamisan kali ini sekaligus dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional. Massa aksi memulai aksi sekitar pukul 16.27 WIB dengan berdiri dan membentangkan spanduk orasi di sepanjang Pelataran Tugu Yogyakarta. Iroy menyatakan bahwa aksi ini merupakan teguran keras terhadap keputusan pemerintah yang tidak berpihak pada perempuan. “kebijakan-kebijakan itu dibuat tanpa adanya kajian (perempuan) dan itu berdampak langsung kepada perempuan,” ucap Iroy. 

Lucy Wijayanti, salah satu dosen Universitas Sanata Dharma (USD) yang turut hadir, mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah. Ia menilai pemerintah tidak serius dalam menangani keadilan bagi kaum perempuan. “Para pemimpin yang sebagian besar laki-laki, memiliki literasi yang rendah tentang kesetaraan perempuan. Keputusan mereka  tidak memberikan keuntungan bagi kaum perempuan,” keluh Wijayanti. Senada dengan Wijayanti, Iroy berpendapat bahwa para pemimpin baru akan bertindak menghargai perempuan jika sudah ada korban nyata (perempuan) dari kebijakan yang mereka buat.

Pendidikan, dunia kerja, dan kesehatan bagi perempuan

“Bahkan jika Cut Nyak Dien yang mengangkat senjata untuk melawan para penjajah, tetapi faktanya, masih banyak perempuan diluar sana yang masih tidak merdeka, masih banyak perempuan diluar sana yang teredam suaranya hanya karena dia perempuan!”, seru Udin dalam orasinya.

Wijayanti berpendapat bahwa dunia pendidikan kini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya bagi perempuan. Namun, dalam dunia pekerjaan, ia berpendapat bahwa adanya ketimpangan sosial bagi kaum perempuan dalam meniti karier. Lebih lanjut, menurutnya juga ada sebuah stigma kepada perempuan yang juga dinilai merendahkan kaum perempuan. “Ketika perempuan berada pada di posisi tertentu, kemudian perbincangan di lingkungan sekitar sudah berbeda hingga ada sebagian perempuan yang juga ikut-ikutan ‘Oh, dia bisa naik karena begini begitu’”, tambah Wijayanti.

(bpmfpijar.com/Galang)

Selain itu, dalam bidang kesehatan, Sesa, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), mengkritik Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 2 tahun 2025 tentang penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi. Ia menilai peraturan tersebut tidak berpihak pada korban kekerasan seksual dan justru menghambat akses mereka terhadap layanan kesehatan.

 “Permenkes ini memperpanjang  penderitaan korban kekerasan seksual dalam mengakses layanan. Prosedur yang diatur secara spesifik mengenai pelayanan aborsi, tidak berperspektif korban dan dapat menghambat proses pemulihan, pendampingan, serta menghalangi korban mengakses hak atas kesehatan.” resah Sesa.

 Sesa juga membacakan lima poin tuntutannya dalam Aksi Kamisan Jogja kali ini, yakni:

  1. Buka dialog Layanan Aborsi bagi korban kekerasan seksual.
  2. Revisi Permenkes Nomor 2 tahun 2025 agar memuat aturan layanan aborsi yang berperspektif korban dan sesuai dengan realita di lapangan.
  3. Hapus syarat penyidikan dan persyaratan lain yang menghambat akses korban terhadap layanan aborsi.
  4. Mendorong penyediaan layanan aborsi yang aman bagi korban di berbagai fasilitas kesehatan tingkat primer.
  5. Melakukan koordinasi dan sosialisasi kepada pihak terkait untuk memastikan tingkat sensitivitas gender dan memastikan layanan kesehatan yang berpihak bagi korban kekerasan seksual.

Melalui Aksi Kamisan Jogja kali ini, Wijayanti berharap setiap keputusan pemerintah dapat mempertimbangkan dampaknya kepada perempuan. Ia menegaskan akan terus berjuang agar perempuan mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. “Agar perempuan tidak menjadi korban lagi,” harap Wijayanti. Dalam penutupan orasinya, Iroy mengajak seluruh perempuan untuk tidak berhenti melawan penindasan, meskipun menghadapi kesulitan dan kondisi yang memprihatinkan. 

 

 

 

Penulis : Fini Kezia, Mallica Kezia
Penyunting : Fadillah Akbar
Fotografer : Hadrian Galang
Ilustrator : Judith Egalita

LEAVE A REPLY