Sumber: shutterstock

Sudah lama Fakultas Filsafat UGM mengusung Pancasila sebagai kajian utama pembelajaran. Hal ini terlihat jelas dari visi dan misi yang dicanangkan. Sebagai ideologi negara, ada banyak sekali kaum intelektual Indonesia yang mencoba untuk merangkum gagasan yang tercantum dalam Pancasila. Alhasil, perbedaan yang signifikan pun hadir dari tafsiran tersebut. Dari sekian banyak tafsir atas Pancasila, Fakultas Filsafat telah tegas memilih. Pilihannya disangkutkan pada tafsir yang dihasilkan oleh founding father Fakultas Filsafat, yakni Notonagoro.

Pilihan tersebut bukan didasarkan pada intuisi acak yang tanpa alasan. Penerapan pemikiran Notonagoro dalam visi dan misi Fakultas Filsafat UGM tidak berangkat dari tong kosong. Pasalnya, Notonagoro diyakini, setidaknya oleh civitas Fakultas Filsafat, sebagai pemikir yang otentik dan objektif dalam mengkaji Pancasila. Objektif karena Notonagoro mengkaji Pancasila dengan cara menceraikan nilai-nilai yang terkandung dari setiap sila Pancasila guna mencari falsafah dibaliknya. Otentik, karena Notonagoro ialah orang pertama yang menggunakan cara tersebut.

Namun, Notonagoro bukan satu-satunya pemikir Indonesia yang mencoba memahami nilai-nilai yang dikandung oleh rahim Pancasila. Banyak sederet pemikir lain seperti Driyarkara, Sudiman Kartohadiprojo, dan Abdul Kadir Besardan Pranarka, yang berusaha menafsirkan Pancasila dengan cara berbeda. Meski faktanya Pancasila dilirik dari berbagai sudut pandang, hal ini tidak mengubah Fakultas Filsafat untuk tetap setia menggunakan kerangka pikir Notonagoro.

Pendirian Fakultas Filsafat dalam mempertahankan hasil penalaran Notonagoro memang tidak keliru, sejauh gagasan yang ada di dalamnya terbuka bagi perdebatan. Namun, pada kenyataannya, gagasan Filsafat Pancasila Notonagoro ini minim didialektikakan. Gagasan Notonagoro dianggap kebenaran yang sudah tidak dapat digugurkan lagi. Alhasil, kita tidak pernah mampu mengoreksinya karena gagasan tersebut sudah ditetapkan selayaknya kitab mati. Peninjauan ulang dan evaluasi atas keabsahan gagasan Notonagoro sukar untuk ditemukan di ruang kuliah. Hal ini dilihat dari bagaimana cara gagasan tersebut disampaikan oleh pengajar.

Dalam sistem studi yang memakai basis kerangka Aristotelian, yakni adanya objek material yang ditinjau dan objek formal yang meninjau, gagasan Notonagoro atas Pancasila tidak pernah dipakai sebagai obyek material atau obyek kajian oleh beberapa staf pengajar tertentu. Gagasan itu tidak pernah ditujukan untuk dibedah, melainkan selalu dipakai untuk membedah. Kacamata Notonagoro seakan telah mejadi pisau jitu yang tak perlu lagi diasah.

Namun kita tahu, mendapuk gagasan satu tokoh saja tidak cukup untuk menggali nilai-nilai Pancasila. Sebab, bagaimanapun, Pancasila lahir dari rahim perdebatan, dari benih pemikiran yang beragam. Bahkan, dengan mengamini butir-butir nilai Pancasila tanpa diimbangi tafsir historis, yakni dengan mengaitkannya kepada figur-figur yang melahirkan Pancasila, pemahamannya kurang komprehensif. Kasarnya, jika ingin mengkaji filsafat Pancasila, dibarengi dengan merujuk pada Sukarno, Supomo, Moh. Yamin, dan sederet figur lain yang pada masa itu turut memperkaya rumusan atas Pancasila.

Seperti halnya ketika seseorang ingin kuliah Marxisme, maka hal yang sudah pasti dirujuk pertama kali ialah teks-teks Karl Marx secara langsung, bukan teks Platon. Meskipun pada tahap selanjutnya, orang tersebut tetap harus memperkaya perspektifnya dari tokoh-tokoh Marxis lain, bahkan hingga Postmarxis sekali pun atau malah mundur sedikit ke belakang dengan mempelajari dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach. Bentuk perkuliahan yang merunutkan pemikiran secara historis seperti demikian tentu lebih masuk akal dan tidak selingkuh terlalu jauh dari gagasan awalnya. Bagaimanapun, sebuah ideologi pasti memiliki sejarah pemikiran.

Pembacaan dengan cara di atas pun menjadi relevan jika mengikuti pemikiran seorang filsuf ilmu, Imre Lakatos, yang memandang keberadaan suatu teori sebagai suatu struktur. Teori sebagai struktur dapat diartikan bahwa suatu konsep tidak pernah hadir dari ruang kosong. Suatu konsep selalu memiliki sejarahnya dan selalu bergantung pada teori-teori lain. Tak satu pun teori yang berdiri sendiri, semua teori selalu memiliki jaringan teoritisnya. Selain itu, teori sebagai struktur juga dapat dilihat dari keniscayaan suatu teori dalam mendahului observasi. Misalnya, seseorang yang akan menciptakan konsep “hitam” tentu akan membatasi referensinya pada konsep yang “kehitaman” saja. Hal ini didasarkan pada pemahaman Lakatos bahwa sebuah makna dari suatu konsep tidak berangkat dari pengalaman observasi, melainkan dari rantai pemaknaan yang sudah ada sebelumnya.

Salah satu implikasi etis dari pemahaman teori sebagi struktur adalah kemustahilan akan pengetahuan yang baik mengenai suatu konsep tanpa diiringi oleh konsep lain yang melatarinya. Terkait dengan ini, bentuk perkuliahan yang hanya mengacu pada satu tokoh saja jelas adalah sebuah kekeliruan. Dengan demikian, pembacaan historis atas Pancasila di ruang kuliah masih sangat perlu digali. Penggalian tersebut dilakukan untuk menemukan jaringan ideologi dari para perumus Pancasila. Penelusuran historis yang dimaksud tidak berhenti hanya pada saat gagasan itu dibuat, dalam arti peristiwa, tetapi, lebih jauh lagi, historisitas mengacu kepada struktur pemikiran tokoh yang melahirkan benih gagasan tersebut.

Sebagai contoh, mari tengok salah satu figur perumus Pancasila, Soekarno. Pada aspek ini, untuk mengkaji Pancasila tidak hanya berhenti pada peristiwa perumusan Pancasila belaka, tetapi pada struktur pengetahuan Soekarno yang melatarbelakangi gagasan Pancasila-nya. Sangat penting kiranya untuk melakukan penelusuran pemikiran Soekarno, termasuk menemukan adanya gagasan lain yang mempengaruhi pemikiran Soekarno.

Dengan memperlakukan Pancasila sebagia konsep yang terstrukturasi, maka kemungkinan untuk memperoleh nilai yang objektif semakin mungkin. Tanpa pelacakan tersebut, kultur akademik yang dibangun menjadi jaringan kultur yang justru mengesampingkan gagasan asali Pancasila, bukannya menguraikan secara objektif. Cara seperti itu sama saja ngawur, dan tidak ada untungnya. Merujuk hanya satu tokoh dalam menggali Filsafat Pancasila sama halnya dengan mengandaikan keberadaan suatu pohon tanpa akar.

Asumsi demikian juga mengindikasikan lemahnya sikap ilmiah di kalangan civitas Fakultas Filsafat. Kurangnya perdebatan dalam menyaring suatu gagasan menjadi salah satu contoh sikap tersebut. Cara kerjanya lebih mirip dengan ulama yang sedang menyampaikan dakwah, dibandingkan menyalurkan pengetahuan dan menciptakan kultur ilmiah. Sehingga, tendensi kampus Fakultas Filsafat bukan untuk mengembangkan Filsafat Pancasila, tetapi menjaga pemikiran Notonagoro. Kampus filsafat nampaknya tidak merestui jika para mahasiswanya menjadi penafsir ulang Pancasila; mereka lebih nyaman jika mahasiswanya menjadi pengikut dari tafsiran yang sudah ada. Alhasil, apa yang disebut mata kuliah Filsafat Pancasila lebih cocok disebut sebagai mata kuliah Filsafat Notonagoro. (Ridwan/Jofie)

LEAVE A REPLY