Sastra dan Perlawanan dalam Kenangan Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer

0
98
(bpmfpijar.com/Judith)

“Negara mana memiliki pengarang yang sudah lewat seratus tahun dan masyarakatnya masih ramai-ramai mengapresiasi (selain Indonesia)? Saya kira tidak ada.” Tutur Max Lane.

Kamis (6/3), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan webinar terbuka bertajuk “Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer: Dari Sastra ke Sejarah, Dari Kemanusiaan ke Perlawanan” melalui aplikasi Zoom. Tujuan webinar ini adalah untuk memperingati seratus tahun karya-karya seorang legenda Pramoedya Ananta Toer dengan memahami makna yang ada dibalik karya-karyanya. Webinar ini dipimpin oleh Harfiyah Widiwati sebagai pewara dengan empat pembicara yang ahli dalam bidang budaya dan sejarah antara lain Hilmar Farid, Sumit Mandal, Koh Young Hun, dan Max Lane.

Hilmar menengok pada sejarah bangsa Indonesia saat Orde Baru ketika buku-buku dilarang terbit. Hilmar mengatakan bahwa proses distribusi karya Pramoedya berjudul ‘Bumi Manusia’ pada bulan Agustus 1980 mengalami banyak halangan, “Tidak melalui proses yang normal dan konvensional,” ujarnya. Ia menceritakan betapa sensor sangat mengikat supaya tidak sembarang buku dapat terbit. Mengamini Hilmar, Prof. Koh menyatakan bahwa setelah sepuluh bulan buku ‘Bumi Manusia’ terbit (1981), Kejaksaan Agung RI baru melarang peredarannya dengan alasan adanya unsur subversif (tindakan yang bertujuan untuk merusak, menggulingkan, atau mengubah tatanan politik atau sosial yang ada) dan pertentangan kelas. Padahal saat terbit, buku tersebut mendapat respon baik dari Tien Soeharto dan Adam Malik yang mana adalah tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia di Orde Baru. Koh mengatakan bahwa ini adalah penyebab dari ketidakhati-hatian tulisan media yang menafsirkan karya-karya Pramoedya sehingga malah menjatuhkannya.

Menarik ya, bahwa semua karya Pramoedya (Pram) dilarang, tapi pelarangan ini membuat karyanya menjadi simbol kebenaran yang dikekang oleh pemerintah,” tutur Hilmar. Ia menyampaikan bahwa Pramoedya tidak berhenti berkarya hanya karena represi. Pram, menurut penglihatan Hilmar, selalu melawan represi, yaitu dengan menyampaikan pesan dari mulut ke mulut yang pada akhirnya berhasil untuk terus menanamkan gagasannya kepada orang lain. “Sejak awal penciptaannya yang kemudian menjadi ‘Karya Pulau Buru’ ini sebetulnya perlawanan,” ujar Hilmar. 

Bagi Hilmar, perlawanan menjadi hal yang sentral dalam karya Pram. Menurutnya, akar pikiran dari keberadaan Indonesia sendiri adalah perlawanan. Hilmar menegaskan bahwa tesis utama yang diajukan Pram tentang orang Indonesia adalah orang yang ‘anti-penjajahan’. Lebih lanjut, Hilmar mengatakan bahwa tesis Pram selaras dengan kalimat pertama pembukaan UUD 1945. Walaupun demikian, Pram memiliki pesan yang ingin disampaikan lewat karyanya bahwa kemerdekaan bukan hanya hak bangsa saja tapi juga hak individu.

Dalam sudut pandang yang berbeda, Sumit memandang Pram sebagai nasionalis yang melihat sejarah dengan sudut pandang berbeda dari tokoh-tokoh Indonesia lain. “Pramoedya menerima semua elemen budaya dan sosial sebagai bagian dari Indonesia merdeka,” tutur Sumit. Menurut Sumit dan Hilmar, Pram berhasil melacak masalah-masalah internal yang umumnya tidak disadari orang lain seperti diskriminasi etnis, represi pemerintah, dan pengambilan keputusan pemerintah yang tidak bijak setelah kemerdekaan Indonesia. Menurut mereka, Pram berupaya untuk mendefinisikan kemerdekaan yang sesungguhnya. “Tetralogi Pulau Buru (seri karya sastra Pram yang terdiri dari empat karya bukunya) menjadi suatu forbidden truth (kebenaran yang tidak boleh diketahui),” tutur Hilmar. Menurut Hilmar, ‘Tetralogi Pulau Buru’ menjadi forbidden truth karena karya-karya Pram berusaha mengungkapkan kemerdekaan sejati yang menjadi satu bentuk perlawanan terhadap pemerintah.

Mengutip dari Sumit, Pram mulai melakukan penelitian sejarah pada pertengahan 1950-an dan menerbitkan karya sejarah pertamanya pada tahun 1960, yaitu ‘Hoakiau di Indonesia’. Koh menceritakan bagaimana penerbitan buku tersebut menjadi malapetaka untuk Pram. “Jadi gara-gara buku ini (Hoakiau di Indonesia) Pramoedya dipenjarakan selama 10 bulan,” kata Koh. Lebih lanjut, Koh menjelaskan bahwa melalui buku ‘Hoakiau di Indonesia’, Pram ingin menyuarakan suara masyarakat Tionghoa yang tertindas, tindakannya ini membuatnya ‘dijegal’ pemerintah dengan memenjarakannya tanpa surat penangkapan yang jelas.

Pada akhir sesi, Koh melemparkan pertanyaan retoris, “Jika masyarakat Indonesia tidak suka membaca karya bangsanya sendiri, lantas siapa yang akan membaca dan melanjutkan karya-karya sastra Indonesia?” Masih mengutip dari Koh, modal pertama Pram dalam perjuangannya adalah keberanian, karena keberanian menjadi poin awal perubahan. 

 

 

 

Penulis     : Anggun Ravisti, Felicia Carlene Abygail A.
Editor       : Muhammad Iqbal
Ilustrator : Judith Egalita

LEAVE A REPLY