“Itu sudah tidak etis, terlepas ini di panggung mereka dikontrak dan dibayar, itu tidak relevan, itu termasuk mindset mereka yang direpresentasikan dari statement itu,” terang Rachmad Hidayat, selaku dosen Filsafat UGM.
Minggu (24/11), panggung acara penutupan Pekan Olahraga dan Seni Universitas Gadjah Mada (Porsenigama) di Lapangan Pancasila, Universitas Gadjah Mada (UGM) diwarnai kontroversi. Hal ini dipicu oleh ucapan salah satu personil grup musik NDX AKA yang tampil pada acara tersebut sebagai guest star. “Alasannya ngerjain skripsi, padahal kenyataannya dia lagi check in di hotel sama friendly-nya. Jangan ya dek ya. Friendly apa murahan? Katanya cuma teman, tapi kok sampai masuk?” ujar Nanda, selaku personil NDX AKA dalam acara penutupan Porsenigama.
Dyah Ayu, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), sangat menyayangkan aksi tersebut dapat terjadi di lingkungan akademik. “Aku rasa mereka sudah sangat profesional kok, karena sudah tampil di acara-acara nasional juga, tapi kenapa mereka tidak bisa membedakan lingkungan akademik dan lingkungan mereka sendiri,” keluh Dyah. Ia mengungkapkan diksi “masuk” yang diutarakan NDX AKA sudah pasti berkonotasi negatif dan sangat fatal jika terjadi di lingkungan akademik. Ia juga menambahkan bahwa candaan seksisme di lingkungan non-akademik saja tidak pantas untuk diutarakan.
Senada dengan Dyah, Cinta Najwa atau kerap disapa Cici, selaku Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Srikandi UGM, juga mengecam tindakan tersebut tidak pantas untuk dijadikan candaan. “Candaan tersebut tidak hanya merendahkan martabat perempuan, tetapi juga memperkuat stereotip negatif gender dengan mengatakan ceweknya ‘check-in’ dan ‘murahan’,” ucap Cici. Ia juga menambahkan, bahwa ramainya penolakan terhadap candaan seksisme ini menunjukkan keadaan orang-orang yang sudah mulai terbuka dan mengatakan ini merupakan tindakan yang salah.
Terlebih lagi, ramainya komentar terhadap ucapan NDX AKA di UGM, Cici anggap merupakan sebuah kemajuan. “Untungnya hal ini diperdebatkan di UGM, jika tidak, orang-orang di tempat lain masih akan menganggap hal ini sebagai suatu kenormalan atas dasar ini adalah karya seni dan ini adalah kebebasan ekspresi,” jelas Cici. Ia juga berpendapat, jika sekalipun dikatakan sebagai kebebasan berekspresi, ucapan tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan.
Lagi-lagi Salah Perempuan
“Ini menunjukkan mindset masyarakat kita, bahwa perempuan dibebani tanggung jawab dengan problem moral,” terang Rachmad.
Rachmad, menilai ucapan NDX AKA mencerminkan pandangan patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang selalu bersalah dalam permasalahan relasi gender. “Jadi kalau ada isu perselingkuhan, kekerasan seksual, keluarga berantakan, perempuan selalu disalahkan. Bahkan kita sendiri memiliki istilah ‘pelakor’,” ujar Rachmad. Ia juga mengungkap ucapan NDX AKA seakan memberikan beban moral dalam hal romantisme, sehingga menyudutkan perilaku perempuan yang suka mengumbar paras kecantikan. Namun, menurutnya nilai-nilai moral yang tersebar di masyarakat seakan di bawah kontrol laki-laki itu sendiri.
Mengamini Rachmad, Dyah juga mengungkapkan bahwa candaan tersebut merupakan tudingan dari apa yang ada di dalam pemikiran laki-laki. “Di lagu-lagu NDX, sebenarnya juga menceritakan bagaimana kisah hubungan yang tersakiti, lalu ceweknya datang ke cowoknya pas butuh doang,” ucap Dyah. Menurutnya cara pikir semacam itu hanya merupakan konstruksi patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai tempat peristirahatan sementara untuk perempuan. Kerangka pemikiran yang membuat seolah-olah perempuan salah dalam tiap-tiap dinamika hubungan asmara ini, bagi Dyah, tak lain merupakan buah pemikiran patriarkis yang terus dilanggengkan.
Panitia yang Tidak Inisiatif
“Sebenarnya setelah ada ucapan itu, mereka (panitia) punya pilihan untuk memberhentikan sebentar dan ngebrief guest starnya, tetapi kenapa di trabas aja?” heran Dyah.
Dyah mempertanyakan inisiatif panitia Porsenigama yang tidak tanggap terhadap tindakan yang dilakukan NDX AKA. Ia juga melontarkan kritikan terhadap panitia Porsenigama atas pemilihan NDX AKA sebagai guest star. “Selain menyesuaikan budget, panitia juga juga seharusnya selektif memilih guest star yang sesuai dengan nilai-nilai kampus,” tegasnya. Cici juga menambahkan, bahwa panitia Porsenigama seakan tidak memberikan briefing terkait hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di UGM sebelum acara dimulai.
Dyah juga menyarankan agar panitia Porsenigama kedepannya mempertimbangkan masukan dari sponsor utama dalam pemilihan guest star. “Walaupun begitu, panitia memiliki kuasa yang besar ya. Seharusnya sebelum itu mereka harus membuat MoU dan brief apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh guest star terkait unsur SARA, seksisme, dan pelecehan verbal,” jelas Dyah. Rachmad juga memberikan tanggapan serupa akan kejadian ini. Ia menganggap kejadian ini sebuah refleksi kepada panitia kedepannya untuk lebih selektif dan tidak memasukkan unsur perempuan atau pun tubuhnya ke dalam bentuk candaan, sehingga akan menumbuhkan relasi yang saling menghormati.
Terakhir, Dyah, mengharapkan kedepannya untuk keseluruhan kepanitiaan di UGM, harus mulai sadar terhadap isu-isu seksisme. “Aku rasa teman-teman panitia harus sadar kedepannya, mereka memiliki kuasa yang besar untuk memotong rantai penyebaran isu-isu seksisme dan pelecehan verbal nantinya,” harap Dyah. Ia juga menambahkan bahwa panitia Porsenigama harus mulai sadar dengan cara menanggulangi isu kekerasan seksual, bukan hanya dimasukkan ke dalam kebijakan peraturan saja, tanpa adanya pengawasan lebih lanjut. Selaras dengan Dyah, Rachmad juga mengungkapkan kesadaran akan hal-hal etis semacam ini haruslah mulai ditumbuhkan, jika tidak, kejadian yang sama akan terus-menerus berulang.
Penulis: Fadillah Akbar, Fini Kezia
Editor: Aghli Maula Hasby
Ilustrator: Ridho Alam Firdaus