“Kenapa harus diulangi prosedur historis tersebut untuk menolak lupa?karena banyak dari kawan kita sekarang yang lupa menolak,” tutur Rocky Gerung.
Senin (28/10), Dolorosa Sinaga bersama muridnya Budi Santoso kembali menghadirkan gelaran diskusi dengan topik pembicaraan “Kaum Muda: Seni dan Aktivisme” di Jogja National Museum (JNM). Kegiatan tersebut merupakan rangkaian lanjutan dari pameran seni rupa sekaligus sebagai momentum peringatan hari sumpah pemuda. Diskusi ini dipandu oleh Reza Muharam sebagai moderator dengan menghadirkan narasumber, antara lain, Enin Supriyanto dan Melati Suryadarmo sebagai pegiat seni, serta Rocky Gerung sebagai aktivis. Saat membuka sesi diskusi, Reza Muharam mengungkapkan bahwa setelah sekian lama Indonesia merdeka kondisi negeri ini masih sama saja. “Banyak kawan-kawan mendapatkan sistem yang menindas dan perlu direfleksikan,” ungkapnya.
Seni dan Aktivisme
Enin Supriyanto menerangkan seni dan aktivisme melalui pledoinya yang berjudul “Menolak Menunduk, Menentang Budaya Represif,”. Melalui isi pledoinya tersebut ia menjelaskan bahwa pascareformasi hingga sekarang kolektif seni dan aktivisme telah mengalami perkembangan yang signifikan. “Cakupan wilayah geografisnya juga sudah sangat luar biasa, perkembangan tersebut tentu berkaitan dengan aktivisme,” imbuhnya.
Enin mengungkapkan bahwa model hubungan aktivisme dan seni saat ini tidak sama dengan yang ada pada tahun 90-an. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh cara seseorang menempatkan dirinya sebagai seniman atau aktivis. Bagi Enin, aktivisme yang berkembang dalam seni mengandaikan kesadaran seniman untuk bersinggungan dan mengangkat persoalan masyarakat. “Melalui kerja seni, seniman diharapkan dapat menyadarkan masyarakat dengan ruang jeda atau hierarki yang nampaknya selalu ada antara aku (seniman) berhadapan atau bersamaan dengan warga dan masyarakat,” ujarnya.
Selaras dengan Enin, Melati juga mengungkapkan bahwa seni yang berkaitan dengan aktivisme adalah bentuk dari kesadaran sejarah. “Dalam menyalurkan aktivisme melalui karya, kita harus paham sejarah panjang,” tutur Melati. Menurutnya, memahami sejarah bukan hanya sekedar paham wawasan dan wacana, melainkan juga mengembalikan diri dengan penuh kesadaran sejarah kultural, sosial, dan politik.
Memaknai Kembali Aktivisme
Berkaitan dengan sejarah, Rocky Gerung menegaskan sikap menolak lupa akan historisitas. Sikap ini baginya termasuk salah satu bagian dari aktivisme dan bentuk dari kesadaran akan sejarah. “Kenapa harus diulangi prosedur historis, karena banyak dari kawan-kawan sekarang yang lupa menolak,” seru Rocky. Oleh karena itu, Rocky menekankan pentingnya konsistensi dalam melakukan aktivisme.
Di sisi lain, Rizki Hakim, selaku peserta diskusi menanggapi diskusi tentang seberapa relevan aktivisme di masa sekarang. Ia menjelaskan bahwa untuk membangun aktivisme, penting untuk mengerti terlebih dahulu persoalan yang sedang dihadapi di masa kini. Aktivisme baginya tidak hanya soal gerak bangsa, soal perubahan masyarakat, atau soal anak muda. Pergerakan aktivisme, untuk Rizki, justru bicara soal ide dan gagasan. “Kita perlu memahami realitas sosial yang kita miliki, kita perlu untuk memahami karakter rezim yang kita hadapi,” pungkasnya.
Sama seperti Rizki, Desta, selaku peserta diskusi, perwakilan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), juga turut menyampaikan keresahannya tentang aktivisme. Ia mengatakan bahwa aktivisme merupakan persoalan memperjuangkan kehidupan agar tidak diinjak-injak oleh penguasa. “Tidak ada yang ingin berdekatan dengan politik dan terkena konsekuensinya, maka dari itu banyak yang lupa akan masa lalu bangsanya sendiri,” ujarnya.
Penulis : Ahmad Yinfa Cendikia, Farez Dearen Wardana Noor Seputra
Penyunting : Fanisa Ratna Dewi
Fotografer : Zulfa Ariani