UGM Tak Lepas dari Keringat Tendik, Komunitas Sejagad Mengupayakan Keadilan

0
190
bpmfpijar.com/Nais

Momen bersejarah terjadi bagi para pekerja Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai respon kondisi kerja yang ada di UGM. Serikat Pekerja Universitas Gadjah Mada (SEJAGAD) resmi dideklarasikan melalui kongres yang digelar di Museum UGM,  pada  hari Jumat (25/4). Serikat yang tercatat sebagai serikat pekerja pertama di lingkungan universitas di Indonesia ini menghimpun 171 anggota pada hari deklarasinya. 

Muchtar Habibi, selaku panitia kongres sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) mengatakan bahwa terbentuknya Serikat Pekerja di Universitas Gadjah Mada ini berawal dari kondisi tenaga kerja kampus yang mendapatkan perilaku kurang layak dari pihak kampus. Ia juga mengungkapkan bahwa serikat ini dibentuk untuk memperjuangkan para tenaga pendidik (tendik) agar bisa bersuara dan bisa didengar dalam keterlibatan pengelolaan kampus yang lebih partisipatif, akuntabel, dan transparan. “Dengan mendorong serikat pekerja yang ada di Bulaksumur ini diharapkan kawan-kawan juga bisa mendorong di berbagai kampus seluruh indonesia.” ujar Habibi. 

Sepemikiran dengan Habibi, Nugroho Hadi selaku Staf Perpustakaan dan Arsip Pusat UGM, mewakili suara keresahan para tenaga pekerja kampus bahwa mereka merasakan adanya rasa keterpinggiran. “Mereka (tendik) ditekan serendah-rendahnya oleh pihak kampus terkait kesejahteraan mereka,” ujar Nugroho. Rasa keterpinggiran ini pantas terjadi menurutnya. Nugroho membeberkan karena UGM merupakan yang terendah dalam pemberian kompensasi kesejahteraan dibandingkan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum lainnya. 

Selain itu, Menurut Nugroho, hak-hak para tendik UGM belum sepenuhnya terpenuhi, terutama dalam aspek kesejahteraan yang menjadi persoalan fundamental. Nugroho menyampaikan bahwa tendik merasa berada di posisi yang termarjinalkan dalam struktur institusi pendidikan. Terlebih, imbuh Nugroho, peran mereka sangat vital untuk mendukung keberhasilan akademik. “Dari segi nasib, perjuangan, hak untuk bersuara, hingga akses terhadap kesejahteraan, tendik jadi sangat terpinggirkan karena sistem tidak berpihak kepada mereka,” ujarnya. Nugroho menegaskan, sejak UGM menjadi PTN BH, penghapusan tunjangan kinerja dan rendahnya nilai Instrumen Berbasis Kinerja (IBK) membuat tendik tertekan dan kehilangan daya tawar terhadap rektor

Nugroho melanjutkan, semenjak UGM menjadi PTN BH, justru membuat perjuangan hak kesejahteraan tendik semakin sulit. Ia mengatakan bahwa sebagai tendik, nama besar UGM terasa tidak sebanding dengan apa yang dirasakan selama ini . “Nama UGM terlalu besar yang menyebabkan persepsi PTN BH yang lain menganggap tendik UGM sejahtera dan terjamin, padahal yang kita rasakan tidak,” tandasnya. 

Menyoal upah tendik, Nugroho merasakan ketidakadilan. Kesejahteraan, menurutnya lebih banyak diberikan kepada pejabat struktural seperti kepala biro, sementara tendik yang jumlahnya lebih banyak justru belum merasakan hal serupa. “Seperti kepala kantor pascasarjana dan kepala TU Fakultas Ekonomika dan Bisnis yang mendapat tujuh sampai dua belas kali lipat dari gaji mereka, tapi itu kan untuk pejabatnya,” ungkap Nugroho. Meskipun demikian, Nugroho menegaskan bahwa pihaknya tidak menuntut upah tinggi. Ia hanya berharap kesejahteraan setidaknya sebanding dengan PTN BH lainnya.   

 

 

 

Penulis: Farez Dearen Wardana Noor Seputra dan Deni Rizqi Pradeta
Editor: Muhammad Teuku Thamrin
Ilustrator: Nais Nur Rafiah

LEAVE A REPLY