Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang mewakili seluruh aspirasi mahasiswa UGM, mengadakan aksi Okupasi Balairung sebagai bentuk unjuk rasa atas permasalahan yang terjadi di UGM akhir-akhir ini. Aksi ini bertujuan supaya Ova Emilia, selaku Rektor UGM, melakukan audiensi dengan mahasiswa. Selain itu, aksi ini juga bertujuan untuk merebut kembali ruang akademik, ruang publik, dan ruang aman mahasiswa yang akhir-akhir ini hilang. Pada Kamis (15/05) di halaman Balairung, sekitar pukul 15.30 WIB, massa aksi mahasiswa mulai memadati halaman Balairung UGM.

Mempertahankan Tujuan
Hari pertama okupasi, sekitar pukul 14.30 WIB, sebagian aliansi mahasiswa mengadakan iring-iringan dari GOR Pancasila menuju Halaman Balairung UGM. Mahasiswa yang berangkat dengan membawa perlengkapan tenda, sempat dicegah oleh petugas Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L). Namun, akhirnya pada pukul 16.05, tenda mahasiswa mulai masuk melalui gerbang Balairung UGM di Jalan Persatuan dengan paksa.
Upaya mahasiswa menggotong tenda, sempat terjadi kisruh tarik-menarik antara mahasiswa dengan PK4L, khususnya ketika sampai di halaman depan Balairung. “Kami dihalangi dan didorong, tetapi kami bersatu,” ucap Gusti (nama samaran). Ketegangan antara Aliansi Mahasiswa dengan Petugas P4KL berujung pada satu mahasiswa terluka di bagian lengan kanan meskipun tenda-tenda berhasil mendesak masuk. Diiringi deras hujan, pada pukul 17.30 WIB, empat tenda berhasil didirikan.

Dilansir dalam kanal Instagram @aliansimahasiswaugm, tuntutan dibagikan setelah hari kelima okupasi. Terdapat sembilan poin tuntutan yang diberi, diantara poin-poin yang disampaikan mahasiswa adalah meminta transparansi anggaran rektorat terkait kebijakan akademik dan/atau non-akademik. Selain itu, mahasiswa juga berupaya memastikan bahwa pungutan biaya di UGM bukan berasal dari kebijakan realokasi anggaran pendidikan pemerintah pusat.
Setelah bertahan tujuh hari di halaman Balairung, akhirnya, Ova Emilia menemui massa aksi Okupasi Balairung (21/05). Sekitar pukul 15.15 mahasiswa UGM berdatangan untuk menantikan kedatangannya. Pukul 15.58, Ova Emilia dan jajaran rektorat tiba di halaman depan Balairung UGM. Perwakilan mahasiswa pertama membuka forum diskusi dengan menyampaikan sembilan poin tuntutan yang dibawa Aliansi Mahasiswa UGM. “Kami meminta Bu Ova untuk menyatakan mosi tidak percaya kepada lembaga negara yaitu, eksekutif, legislatif dan yudikatif,” tegas salah satu perwakilan Aliansi.

Menajamkan Telinga Kepekaan
Selain dari sembilan poin tuntutan, mereka juga menilai bahwa Kuliah Kerja Nyata (KKN) terdapat bentuk eksploitasi dan mereka menuntut untuk rektorat mengkaji ulang terkait terkait KKN. Di dalam Pembekalan Khusus KKN UGM 2025, disebutkan bahwa setiap unit KKN diwajibkan untuk membuat akun di media Good News From Indonesia (GNFI). Salah satu pembicara menjelaskan, setiap unit KKN diwajibkan merilis artikel di laman GNFI setiap minggu selama tujuh minggu pelaksanaan KKN. Ia menilai bahwa kebijakan ini bentuk dari eksploitasi untuk mendapat tenaga kerja (penulis artikel) dengan gratis. “Bahkan, tidak diberi upah sepeserpun,“ tegas salah satu mahasiswa.
Setelah menerima tuntutan, Ova Emilia menyatakan bahwa sembilan poin tuntutan bukan sepenuhnya merupakan kewenangan UGM. Ova menilai bahwa tuntutan mosi tidak percaya juga bukanlah hal yang tepat. Ova menilai bahwa posisi institusi pendidikan bukanlah untuk menyatakan mosi. “Saya kira, UGM sebagai institusi pendidikan tidak memiliki kewenangan menyatakan mosi, jadi langkah itu belum sepenuhnya tepat,” ujarnya. Ia menilai bahwa institusi pendidikan tidak terlibat dalam hal politis.
Menanggapi pernyataan Ova Emilia, Marie (nama samaran) menanggapi terkait diamnya kampus (rektorat) yang menunjukan rektorat hanya tunduk dengan keinginan pemerintah. Menurutnya, melalui pernyataan mosi tidak percaya, merupakan bentuk dari dukungan kampus untuk mendukung pemerintahan yang jujur, adil, dan lain-lain. “Mosi tidak percaya adalah stance politik dan diam itu bentuk pelanggengan status quo,” pungkas Marie.
Sekitar pukul 17.30 (21/05), Ova Emilia dan jajarannya meninggalkan forum diskusi dengan dikawal petugas Kantor Keamanan Keselamatan Kerja Kedaruratan dan Lingkungan (K5L). Marie menilai bahwa tuntutan yang diharapkan tidak terealisasi. Sebab, UGM tidak mampu merilis pernyataan mosi tidak percaya. “Kami menyatakan bahwa kampus tidak dapat memenuhi hak-hak mahasiswanya,” lantang Anjani (nama samaran).
Setelah forum diskusi yang berlangsung intens selama lebih dari dua jam, Ova Emilia dan jajaran rektorat meninggalkan forum diskusi. Mahasiswa yang merasa tidak puas berusaha memaksa agar diskusi terus dilanjutkan sehingga situasi menjadi tegang. Beberapa mahasiswa mengejar mobil Ova Emilia setelah kepergiannya. Sunu, salah satu mahasiswa yang terlibat, menjelaskan bahwa aksi tersebut merupakan sikap organik mahasiswa atas jawaban dari Ova Emilia dan rektorat.
Penulis: Jati Nurbayan Shidiq, Zidad Arditi
Editor: Muhammad Iqbal
Ilustrator : Ariel Johan Sulistyo