Ruang Kebebasan Ekspresi Kian Keruh, Seni Perlawanan Jadi Sasaran

0
244
(bpmfpijar.com/Osmond)

Fenomena pelarangan pengibaran bendera One Piece yang memicu perdebatan publik menjadi latar belakang diselenggarakannya diskusi oleh The Conversation Indonesia (TCID) yang bertajuk “Simbol, Sensor, dan Suara Rakyat: Apakah Demokrasi Takut pada Imajinasi?” pada Jumat (22/8). Diskusi ini diadakan sebagai respons terhadap kian tergerusnya kesehatan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Forum ini menghadirkan Wawan Kurniawan, Peneliti Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia, dan aktivis seni Pitra Hutomo. 

Mulanya, diskusi yang dilaksanakan secara daring tersebut berangkat dari keresahan publik atas sikap pemerintah yang dinilai berlebihan dalam merespons kritik yang dibungkus lewat seni, seperti fenomena bendera One Piece Jolly Roger beberapa pekan lalu. “Kenapa sih akhir-akhir ini pemerintah kelihatan takut banget dengan seni perlawanan yang sengaja diproduksi masyarakat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah?” buka Aditya selaku moderator. 

Menanggapi hal ini, Wawan selaku pengisi diskusi menyebut bahwa masyarakat sebenarnya dapat membaca pola pikir pemerintah melalui respons mereka yang dinilai lebay terhadap seni perlawanan yang diproduksi oleh masyarakat. “Pemerintah secara gamblang menunjukkan kepanikan dan ketakutan terhadap fenomena belakangan ini (pengibaran bendera One Piece),” ujar Wawan. 

Lebih lanjut, Wawan menilai bahwa sikap yang berlebihan tersebut mencerminkan kekhawatiran akan terguncangnya stabilitas negara. “Yang mereka takutkan sebenarnya adalah ketidakstabilan yang mungkin bakal ditimbulkan. Sudah pasti, ini menjadi alarm bagi kemunduran demokrasi di negara kita” tambahnya.

Selain itu, Wawan juga menyebut bahwa reaksi berlebihan yang ditunjukkan pemerintah berakar dari keinginan untuk menutupi kondisi yang sebenarnya terjadi. “Ada sesuatu yang ingin mereka jaga bahwa seolah-olah negara di bawah kekuasaan mereka itu baik-baik saja. Namun di sisi lain, dengan keterbukaan informasi saat ini, masyarakat juga menyadari bahwa apa yang disampaikan pemerintah tidak sepenuhnya valid,” jelas Wawan.

Wawan juga menyoroti kekuatan pemerintah dalam membentuk narasi yang mampu melemahkan perlawanan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa pemerintah selalu berusaha menjaga persepsi publik, yang sering kali dibentuk bukan berdasarkan kebenaran, melainkan melalui informasi yang diulang-ulang. “Pemerintah itu selalu ingin menjaga persepsi publik. Contohnya, Presiden Prabowo (dalam pidatonya) yang kerap melontarkan jumlah angka, data, dan statistik bahwa pengangguran di Indonesia turun, ekonomi kita meningkat, dan lain-lain seolah-olah negara kita itu sedang baik-baik saja, padahal nggak,” ungkapnya. 

Di sisi lain, Pitra Hutomo, sebagai pengisi diskusi yang lain, menyoroti bahwa penyempitan ruang ekspresi lewat seni merupakan cara termudah untuk melihat kesehatan politik di Indonesia saat ini. “Bahwa ketika berbicara dengan cara artistik saja tidak boleh, tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi demokrasi kita,” tutur Pitra. 

Lebih lanjut, Pitra menambahkan bahwa cara untuk tetap menyalurkan kritik secara kreatif adalah dengan memperkaya pemahaman serta menambah perbendaharaan sesuai dengan medium kreativitas masing-masing. “Pun, kita harus mampu untuk memperdalam khasanah dan tujuan mengkritik lewat seni tersebut,” tambahnya. 

Tak lupa, Pitra menyampaikan harapannya agar seluruh elemen masyarakat dapat bersatu dalam menghadapi tindakan represi dari aparat. Ia menilai bahwa prasyarat untuk menyuarakan kritik secara kreatif namun tetap aman kini sudah tidak lagi berlaku. “Ya, prasyarat aman di negara kita sudah gugur sejak kita memilih pemimpin tertinggi dari latar belakang institusi yang identik dengan kekerasan. Jadi, standar keamanan sekarang sudah relatif,” ungkapnya.

Di tengah gonjang-ganjing kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini, Wawan menilai betapa pentingnya bagi masyarakat untuk tetap bergandengan tangan dalam mengawal agar demokrasi kembali pada ruhnya. “Kita butuh kekuatan solidaritas dan empati untuk melestarikan perlawanan, meski kerap dibalas dengan kecaman,” tutur Wawan.

 

 

Penulis: Agito Yacobson Sitepu dan Farez Dearen Wardana Noor Seputra
Editor: Muhammad Iqbal
Ilustrator: Muhammad Hafiz Osmond

LEAVE A REPLY