“Apapun yang dianggap tinggi dan suci harus dipertanyakan (skeptis-red).
Apapun yang dianggap rendah, berilah jauh lebih banyak perhatian,” tegas Soe Tjen Marching (Soe) selaku pembicara.
“Sastra dan Feminisme: Kenapa Hegemoni dan Diskriminasi Masih Perkasa?” menjadi topik diskusi yang digelar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, pada Rabu (23/04) dengan diselenggarakan secara hybrid (luring dan daring). Diskusi ini dihadiri oleh para dosen dari Undip dan mahasiswa umum dari berbagai kampus dan fakultas. Diskusi ini menyorot nasib para sastrawan perempuan Indonesia yang sering menjadi korban diskriminasi sehingga nasibnya terpinggirkan, khususnya pada masa Orde Baru. Hal tersebut, menurut Soe Tjen Marching (Soe), diakibatkan oleh adanya hegemoni dalam sistem masyarakat atau sistem sosial Indonesia.
Menurut Soe, diskriminasi terhadap para sastrawan perempuan sudah muncul sejak masa Orde Baru. Banyak sastrawan perempuan yang berhenti karena dipenjara. Soe mengambil contoh tentang perjuangan Siti Rukiah.Dia adalah sastrawan perempuan yang cukup serius dan produktif menerbitkan karya-karyanya dari tahun 1950 – 1965. Sepengetahuan Soe, Rukiah ditangkap dan dipenjara karena merupakan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dianggap mengancam otoritas Orde Baru. “Siti Rukiah ini dianggap sebagai sastrawan yang serius (menurut pemerintah Orde Baru-red),” ucap Soe, “Dan dia dipenjara, dipaksa berhenti,”
Soe juga melihat, pada masa Orde Baru, karakter perempuan yang kuat dan mandiri digambarkan memiliki dampak negatif bagi laki-laki. “Banyak sekali perempuan berkarir, perempuan yang tidak menikah, dan perempuan yang tidak mau punya anak, digambarkan negatif,” ujar pengarang novel Dari Alam Kubur tersebut. Menurut Soe, menikah dan memiliki anak adalah pilihan, bukan kewajiban. Ia berpendapat bahwa setiap manusia, termasuk wanita, berhak menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa tekanan sosial atau standar yang dipaksakan.
“Identitas perempuan dibentuk melalui pandangan eksternal, di mana keberhasilan sering kali diukur dari bagaimana mereka dipandang oleh pria.” ujar Soe. Indikator keberhasilan yang dimaksud Soe, adalah tentang perempuan yang harus mengawasi diri, menjaga penampilan, dan berperilaku sesuai apa yang diinginkan. Soe menekankan bahwa hal tersebut berdampak pada perempuan yang terbiasa memandang diri sendiri sebagai makhluk yang dipandang.
“Ucapan nanti kamu nggak laku, loh.” lanjut Soe, “Itu kan merupakan indikator objektifikasi perempuan.” Di sisi lain, laki-laki diberi kebebasan berekspresi meskipun perempuan justru dibatasi dan selalu diawasi. Hal ini, menurut Soe, membentuk relasi yang tidak hanya timpang antara laki-laki dan perempuan, tapi juga membuat perempuan mengalami jarak dengan dirinya sendiri.
Lebih lanjut, Soe menyorot bagaimana para sastrawan laki-laki yang mengaku sebagai sastrawan, banyak memaki-maki perempuan dengan alasan hegemoni—mengontrol pikiran oleh pihak yang dominan—terhadap perempuan. Soe mengambil contoh tentang bagaimana Taufik Ismail memaki-maki penulis perempuan. Berikut kutipan Taufiq kala berpidato.
“Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba-lomba mencabul-cabulkan karya, asik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dalam gerakan syahwat merdeka. Dari halaman-halaman buku mereka menyebar hawa lendir yang mirip alomah, bagai penak tikus terlantar tiga hari di selokan pasar desa. Melihat orang-orang menutup hidung dan jijik,” ujar Taufiq dengan gaya bacaan sastra di Akademia Jakarta pada 20 september 2006.
Kala Taufiq melontarkan ucapan sastra mengenai seks, Soe pun berpendapat, “Tanpa seks kita tidak akan lahir. Hanya perempuan lah yang bisa melahirkan.” Pidato Taufik Ismail menjadi sebuah stigma terhadap perempuan, khususnya kepada seksualitas perempuan menurut hemat Soe.
Soe, dalam interpretasinya terhadap karya sastra Taufiq Ismail, menegaskan bahwa stigma atas seksualitas perempuan memunculkan hegemoni yang kuat di masyarakat. “Ketika perempuan berusaha menunjukkan otonomi atas tubuh dan hasratnya,” ucap Soe, “Mereka kerap dihakimi atas dasar moral.”
Soe Tjen menjelaskan lebih lanjut bahwa hegemoni bersifat kompleks. Bahkan kelompok yang dianggap sebagai pihak yang terhegemoni atau menjadi korban, juga dapat mempraktikkan hegemoni. Soe Tjen menambahkan beberapa faktor yang menyebabkan hegemoni ini masih kerap terjadi, di antaranya: kelas yang dominan selalu berupaya mempertahankan dominasinya, mempengaruhi kelompok-kelompok lain agar berpihak pada mereka, serta merendahkan kelompok lain. “Perjuangan atas kesetaraan akan dianggap sebagai pemberontakan dan kerusuhan.” ujar Soe Tjen sebagai penutup diskusi.
Penulis: Veni Febriani dan Zidad Arditi Paturohman
Editor: Muhammad Iqbal
Ilustrator: Faris Ahmad Murtadha