Membedah Peran Massa Aksi Demonstrasi Melalui Perspektif Etika Publik

0
281
(bpmfpijar.com/Osmond)

“Jika sekitar 50–60 persen masyarakat merasa bahwa Indonesia hanya milik segelintir elite, maka jangan heran apabila mereka mencari orientasi ideologi di luar Pancasila,” tutur Franz Magnis Suseno, salah satu pemateri dalam diskusi “Membaca Demo dalam Perspektif Etika Publik”.

Kericuhan dalam demonstrasi yang terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia menjadi latar belakang Ubermensch Project mengadakan diskusi publik bertajuk “Massa, Moralitas, dan Media: Membaca Demo dalam Perspektif Etika Publik” pada Rabu (10/9). Diskusi ini diadakan sebagai respons terhadap fenomena demonstrasi yang belakangan ini kerap diwarnai kekerasan dan menyebabkan korban jiwa. Diskusi publik ini menghadirkan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J., dan Dosen Senior SOAS University of London, Dr. Soe Tjen Marching.

Diskusi diawali dengan mengenang kembali aksi demonstrasi yang belakangan berujung ricuh. Kericuhan ini dipicu oleh insiden yang menimpa seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan. Ia meninggal dunia setelah ditabrak oleh kendaraan taktis (rantis) Brimob pada Kamis malam (28/8). “Aksi demonstrasi yang dimulai pada 25 Agustus 2025 awalnya berlangsung damai. Namun, setelah kabar kematian Affan Kurniawan mencuat di media, kemarahan publik pun memuncak dan memicu kemelut di sejumlah kota besar,” buka Anicha, selaku moderator diskusi.

Menanggapi hal tersebut, Soe Tjen menyatakan bahwa demonstrasi yang terjadi merupakan akumulasi dari kemarahan publik yang terlanjur memuncak. Hal ini terutama disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap para pejabat pemerintahan yang dinilai sering membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung menindas. “Bagaimana demonstrasi tidak meluap? Kita udah sering melihat pejabat saling bersekongkol, tidak transparan kepada rakyat, sukanya menindas, malah kita yang berdemo dituduh sudah disuruh oleh antek asing,” ujar Soe Tjen.

Lebih lanjut, Soe Tjen juga menyoroti pemberitaan yang menyebutkan bahwa dalam setiap demonstrasi kerap terdapat provokator yang sengaja disusupkan ke tengah massa untuk memicu kericuhan. “Coba baca berita Tempo yang terbaru, ternyata dalang yang suka memprovokasi juga datang dari TNI” serunya. Menurutnya, hal ini sudah keterlaluan dan dampaknya bisa langsung berimbas kepada massa aksi yang benar-benar murni menyampaikan aspirasi.

Soe Tjen Marching juga mengingatkan masyarakat Indonesia untuk terus mengawal proses tuntutan yang sedang berlangsung. Ia menegaskan, kritik terhadap para wakil rakyat, khususnya DPR, tidak boleh berhenti. “Mereka (anggota DPR) itu pelayan kita, memang seharusnya kita kritik semisal kerja mereka nggak becus” ucap Soe Tjen. Baginya, pejabat di negeri ini sudah berulang kali melanggar etika publik dengan mengedepankan kepentingan dirinya sendiri.

Di sisi lain, Franz Magnis Suseno menyoroti tindakan represif yang dilakukan aparat terhadap peserta aksi demonstrasi. Ia berpendapat bahwa korban jiwa yang berjatuhan akibat demonstrasi tidak bisa digantikan oleh apa pun. “Melihat represifitas yang dilakukan aparat, sepertinya persepsi masyarakat terhadap polisi sudah bukan lagi sebagai pelindung masyarakat, tetapi penindas. Ini sangat menyedihkan,” ungkap Franz Magnis.

Franz Magnis juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dan nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, jika sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” tidak dapat diaktualisasikan, kemarahan masyarakat dapat diibaratkan seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.“Keadilan sosial itu kunci. Kalau itu tidak berhasil tercapai, kita akan berada dalam masalah besar. Kita membutuhkan pemerintahan yang bisa menjamin betul hak-hak kita sebagai warga negara,” tutupnya.

 

 

Penulis : Agito Yacobson Sitepu dan Zidad Arditi
Editor : Fadillah Akbar
Illustrator : Muhammad Hafiz Osmond

 

 

LEAVE A REPLY