Menyoal RUU KUHAP yang Nir Partisipasi Publik, SMI Gelar Debat Terbuka

0
171
(bpmfpijar.com/Ariel)

“RUU KUHAP adalah cermin bagaimana negara memperlakukan warganya di hadapan sistem peradilan. RUU ini menjadi petunjuk, apakah negara kita benar-benar merdeka atau justru menindas rakyatnya sendiri,” buka Eko Prasetyo, Pendiri Social Movement Institute (SMI).

Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej, dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar, dipertemukan dalam debat terbuka yang diselenggarakan oleh Social Movement Institute (SMI) di Masjid Baitul Qohhar, Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII), di Jalan Cik Di Tiro No. 1, Terban, Kota Yogyakarta pada Sabtu (9/8). Forum ini digelar sebagai respons pernyataan Eddy yang sebelumnya menyatakan kesiapannya untuk berdebat 7×24 jam terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). 

Mulanya, Eddy membuka dengan menegaskan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran mengenai ketentuan restorative justice dalam rancangan karena aturannya merujuk pada peraturan jaksa agung. Menurutnya, restorative justice berbeda dengan penghentian perkara. “Restorative justice itu tidak sama dengan penghentian perkara karena dalam restorative justice, orang itu (pelaku) harus memenuhi unsur. Lalu berdasarkan persetujuan korban, itu (perkara) diselesaikan di luar pengadilan,” jelasnya. 

Di sisi lain, Haris menyoroti pentingnya ruang partisipasi publik dan batasan tegas mengenai perkara yang bisa menggunakan restorative justice. Ia menegaskan bahwa pengungkapan kebenaran harus tetap diutamakan sejak tahap penyelidikan demi menjamin keadilan bagi korban. “Dia harus berdasarkan kebenaran, ada truth yang diungkap sedari tahap penyelidikan karena di tahap ini pun, dia (proses penyelidikan) sudah makan duit negara,” ungkapnya.   

Menanggapi sorotan Haris, Eddy setuju bahwa pengungkapan kebenaran dan pembatasan jenis perkara penting dalam proses restorative justice. “Tetapi betul bahwa harus ada pengungkapan suatu kebenaran, supaya ketika ia (pelaku) melakukan tindak pidana lagi, ia tidak bisa direstorasi karena sudah lebih dari satu kali. Jadi jelas, ada pembatasan-pembatasan terhadap pemberlakuan suatu perkara untuk dilakukan restorasi,” terangnya. Ia juga menambahkan bahwa restorative justice hanya dapat diterapkan jika mendapat persetujuan korban, bukan merupakan  pengulangan tindak pidana, serta tidak berlaku untuk kasus korupsi dan kekerasan seksual.

Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Pembahasan RUU KUHAP

Menanggapi pertanyaan bagaimana pemerintah dapat menjamin transparansi dan partisipasi publik, Eddy menyatakan kesediaannya untuk hadir dalam setiap diskusi terkait RUU KUHAP. Ia menegaskan pemerintah menghargai keterlibatan publik melalui forum-forum diskusi. “Salah satu bentuk meaningful participation yang pemerintah sangat hargai adalah ketika saya, sebagai bagian dari pemerintah, siap menghadiri setiap undangan publik untuk membahas RKUHAP ini,” ucapnya.  

Lebih lanjut, Eddy menegaskan bahwa pembentukan regulasi atau undang-undang harus mendapat penerimaan dari masyarakat dan berlaku secara sosiologis. Ia memastikan  pembahasan RUU KUHAP masih terus akan berlanjut, sebelum disahkan dalam rapat paripurna DPR. “Selama belum diketok dalam paripurna, maka naskah tersebut masih berstatus subject to discuss. Dasco bilang ke saya bahwa kita akan menggelar kembali diskusi publik atau rapat dengar pendapat umum (RDPU),” ungkapnya.

Di sisi lain, Haris berharap agar proses dinamis dari status subject to discuss dalam pembahasan RUU KUHAP dapat didokumentasikan dengan jelas. Melalui Eddy, ia menyarankan agar pemerintah menyusun agenda yang memuat tahapan pembahasan, pembicara, forum, serta bentuk tekstualisasinya. “Saya berharap ada satu struktur keterbukaan informasi yang direkam secara jelas dan dilaporkan secara resmi,” tegas Haris. 

Seruan Keadilan dalam Proses Penegakan Hukum

Sebelum diskusi berakhir, panitia memberikan kesempatan bagi korban sistem peradilan di Indonesia untuk bersuara dalam forum. Seorang warga Banyumas bernama Purwoko, bersuara tentang kasus yang menimpa keponakannya, Oki,yang meninggal dunia setelah diduga disiksa oleh aparat Polsek Baturaden. “Ia dituduh melakukan pencurian, tetapi tidak ada satu pun barang bukti yang menunjukkan bahwa ia melakukannya. Saat kejadian, keponakan saya berada sekitar enam kilometer dari TKP,” tuturnya.

Purwoko pun menjelaskan bahwa penangkapan keponakannya tanpa disertai surat penangkapan. Namun, dikarenakan keponakannya melewati lokasi tersebut satu jam setelahnya, warga banyak yang menuding bahwa keponakannya merupakan pelakunya. “Tuduhan itu kemudian digunakan oleh Polsek Baturaden untuk menangkapnya,” bebernya. Lebih lanjut, ia menjelaskan berdasarkan keterangan teman-teman Oki yang turut ditahan, mereka disiksa hingga pukul tiga subuh untuk dipaksa mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. 

Di akhir sesi, para korban sistem peradilan,menyampaikan harapannya kepada Eddy. Mereka mendesak pemerintah agar membuka ruang bagi korban untuk memberikan kesaksian secara langsung dalam pembahasan regulasi. “Katanya tadi meaningful participation, berani nggak ngundang kami para korban? Walaupun kami bukan ahli hukum, kami juga paham kalau di setiap proses peradilan banyak kejanggalan-kejanggalan,” ujar seorang ibu korban bernama Andayani.

 

 

 

Penulis : Agito Yacobson Sitepu
Editor : Fadillah Akbar
Ilustrator: Ariel Johan

LEAVE A REPLY