Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Advokasi Mahasiswa (Formad) menggelar aksi protes di Gedung Teaching Industry Learning Center (TILC) Sekolah Vokasi UGM pada Rabu (30/07) sekitar pukul 10.00 WIB. Andi Batara Gemilang, Koordinator Formad UGM, menyatakan bahwa aksi protes ini merupakan bentuk solidaritas terhadap mahasiswa baru 2025. “Aksi ini merupakan bentuk solidaritas atas banyaknya penolakan ajuan banding Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa baru 2025 di Sekolah Vokasi,” tegas Andi.
Melalui rilis media Formad, Sekolah Vokasi UGM menjadi satu-satunya fakultas atau sekolah di UGM yang mengalami permasalahan terkait UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) mahasiswa baru. Formad menemukan bahwa pengaduan banding UKT mahasiswa baru 2025 di Sekolah Vokasi tidak melibatkan unsur mahasiswa, berbeda dengan fakultas dan sekolah lain di UGM. “Awalnya kita cari tahu, dan ya mereka (mahasiswa) bilang ga dilibatkan”, ungkap Andi. Selain itu, Formad UGM juga menerima banyak aduan mengenai penolakan ajuan banding UKT di Sekolah Vokasi. Hal ini menjadi pemicu utama aksi protes yang menuntut transparansi dan keadilan dalam penetapan UKT
Polemik Besaran UKT dan IPI
Dalam rilis media Formad, terdapat satu kasus yang mendapat perhatian besar, yakni salah satu mahasiswa baru jalur Computer Based Test (CBT) Mandiri dengan status yatim piatu. Meskipun hanya memiliki kakak kandung yang berpenghasilan 1 juta per bulan, mahasiswa baru tersebut justru dikenakan UKT sebesar 5,7 juta per bulan. “Jadi dia UKT awalnya 5,7 juta, itu subsidi 50% lah, tapi kalau dilihat sebagai anak yatim piatu, kemudian kakaknya sebagai penjaga toko, gajinya cuma 1 juta, rumah pun tidak ada, dia (justru) mendapatkan UKT 5,7,” terang Andi.
Kondisi serupa dialami oleh mahasiswa baru lain yang menerima UKT golongan pendidikan unggul. Ironisnya, ayahnya seorang petani dan sudah tidak lagi bekerja karena sakit. Sementara ibu sebagai PNS yang penghasilannya digunakan untuk menghidupi satu keluarga besar. Lebih dari itu, UKT golongan pendidikan unggul tersebut masih ditambah IPI yang membengkak menurut pengakuan maba tersebut.
Tanggapan Pihak Dekanat Sekolah Vokasi UGM
“Pendidikan kan yo wong butuh [dibutuhkan-red], (lantas) kami butuh pembiayaan juga, iya to?” terang Yogo.
Benediktus Tulung Prayogo atau akrab disapa Yogo selaku Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia (wadek dua) memberikan klarifikasi terkait ketidakseimbangan antara UKT dan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) di Sekolah Vokasi. Menurut Yogo, UKT tertinggi yang diterima mahasiswa Sekolah Vokasi UGM masih jauh dari BKT. “Sekitar 26 juta itu (BKT) paling tinggi, ya karena emang ini itu mahal, sekali hidupkan eksavator (misalnya), ya butuh solar banyak,” Jelas Yogo.
Di sisi lain, Leo selaku Wakil Dekan bidang Akademik dan Kemahasiswaan yang membawahi pelayanan akademik mengaku tidak tahu-menahu tentang penentuan UKT maba 2025. “Saya tidak tahu kenapa banding ditolak, bahkan untuk proses penentuan kan itu di bidang keuangan,” tuturnya. Menurutnya, untuk urusan data memang menggunakan sumber daya akademik, tetapi untuk urusan eksekusi keputusan besaran UKT misalnya, berada di tangan wadek dua.
Walaupun sistem pembayaran UKT akan ditutup pukul 15.00 WIB, Leo tidak bisa melakukan apa-apa. Menurutnya cara yang bisa dilakukan adalah dengan menyampaikan kritik ke UGM. “Saya dengan obyektif, tidak bisa berkata-kata, karena memang sistemnya seperti itu, saya kira bisa disampaikan kritik ke UGM sendiri,” tuturnya.
Langkah Formad
Formad sempat berasumsi jika terdapat kuota banding di Sekolah Vokasi UGM, asumsi ini didasari atas aduan maba terkait token aju banding yang tak kunjung mereka dapatkan. “Permasalahannya yang timbul adalah ada mahasiswa yang tidak mendapatkan token untuk mengajukan banding, seolah-olah ya asumsi kita terkait token ini adalah pengkuotaan itu,” terang Andi. Menurutnya setelah Formad melakukan cek data, dari 500 orang yang melakukan banding, hanya 350 orang yang mendapatkan token. “Jadi 150 orang lainnya ya tidak mendapatkan token,” imbuhnya.
Andi mengungkapkan, bahwa dalam penentuan UKT, pihak dekanat seolah-olah “menguji” kejujuran mahasiswa dalam pengisian data ekonomi. “Jadi seolah-olah dia cuma ngetes,” terangnya. Indikasi ini muncul dari kasus seorang mahasiswa baru yang tercatat memiliki penghasilan orang tua Rp. 0. Namun, setelah ditetapkan mendapatkan subsidi UKT sebesar 50%, mahasiswa tersebut langsung melunasi pembayaran dalam waktu kurang dari satu jam.
Formad berharap supaya kedepan mahasiswa baru lebih jujur dalam memberikan data-data dan wajib melapor ketika ada kendala. Kemudian untuk pihak dekanat sekolah vokasi, mereka harus berbenah dengan memberikan transparansi kepada publik, mengevaluasi sistem UKT, dan harus membuka keterlibatan mahasiswa supaya lebih inklusif. “Mereka harus berbenah dalam penentuan UKT, pengecekan token, dan semuanya itu. Selain itu mereka harus menetapkan UKT yang sesuai dengan keadaan ekonomi seseorang,” pungkasnya.
Penulis : Ahmad Yinfa Cendikia
Reporter : Muhammad Iqbal
Editor : Fadillah Akbar
Ilustrator : Nabila Syefa Lulu Shafa