Konferensi Pers LBH Yogyakarta Singkap Maladministrasi UGM terhadap Dosen Noer Kasanah

0
168
(bpmfpijar.com/Mega)

Pada Selasa (11/11), Noer Kasanah, dosen Departemen Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengadakan Konferensi Pers tandingan terhadap klarifikasi UGM terkait proses kenaikan pangkat Noer. Dalam Konferensi Pers, Noer menyampaikan bahwa UGM melakukan maladministrasi dan pengabaian Hak Asasi Manusia dalam proses kenaikan pangkatnya 

Dikutip dari pers rilis, pada tahun 2023 Noer mengajukan permohonan kenaikan pangkat dari Lektor menjadi Guru Besar kepada Ketua Departemen Perikanan. Rakha Ramadhan, perwakilan LBH, menyatakan bahwa keputusan Noer tak terlepas dari regulasi kampus yang memperbolehkan dosen-dosen yang sudah memenuhi kriteria untuk mengajukan usulan. “Niat Bu Noer pada saat itu hanya karena merasa sudah cukup memenuhi syarat untuk menjadi Guru Besar,” jelasnya. 

Namun, Ketua Departemen Perikanan memberikan surat keberatan atas permohonan Noer kepada Dekan Fakultas Pertanian dengan alasan akademik dan non akademik. Noer menjelaskan bahwa ia meminta penjelasan atas dasar keberatan akademik dan non akademik tersebut tetapi kampus tak kunjung memberikan penjelasan sampai masa pengusulan habis. “Ketika memang Departemen merasa keberatan lantas disampaikan saja apa dasar keberatannya, layaknya seorang mahasiswa yang mendapatkan nilai tidak baik datang ke dosennya dan bertanya Pak, Bu kenapa nilai saya tidak lulus?” tambah Rakha.

Buntut dari hal tersebut, Rakha menjelaskan langkah Noer saat melakukan upaya sidang sengketa informasi, “Bu Noer sampai harus melakukan upaya sidang ajudikasi non-litigasi, di komisi informasi hanya untuk meminta nilainya saja.” Mengacu dari hasil sidang sengketa, Rakha menambahkan bahwa PTUN Jakarta menyatakan Noer berhak memperoleh transparansi hasil rapat Departemen Perikanan (03/2023). Namun, Noer menilai hasil rapat tetap tidak transparan dan tidak menjelaskan unsur akademik dan non akademik. 

Menurut keterangan Noer, ia dipanggil oleh Dewan Kehormatan UGM untuk menjalani sidang etik dan dimintai keterangan, sebelum akhirnya dijatuhi sanksi berkaitan dengan persoalan etika melalui Sidang Kehormatan Universitas dan Surat Keputusan Rektor Nomor 1554/UN.1P/KPT/DSDM/2024 tentang Penjatuhan Sanksi Etik. Dalam rilis pers tertulis, sidang etik tidak berjalan imbang karena tidak diberi kesempatan adil untuk menyampaikan jawaban, serta pemeriksaan yang nonprosedural karena tanpa penjelasan mengenai kesalahan, tanpa berita acara, tanpa pemberitahuan putusan. “Surat bahwa saya akan diperiksa etiknya, di sini disebutkan bahwa tidak ada penjelasan kesalahan saya apa,” tegas Noer.

Noer menambahkan bahwa Ia juga diberikan surat pembebasan tugas dari rektor yang berlaku per Februari, tapi ditandatangani oleh rektor bulan Maret, dan baru diserahkan kepada Noer bulan Juli. Katanya, “Jadi kan itu juga cacat busur ke administrasi, ya, tapi tetap dijalankan, sampai sekarang saya masih menjalani hukuman, tidak diberi Tridharma.”

Dalam prosesnya, Noer menggandeng Ombudsman Republik Indonesia (ORI-DIY) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). ORI-DIY menyampaikan bahwa ditemukan maladministrasi penyimpangan prosedural dalam proses penilaian usulan kenaikan jabatan dan pelaksanaan pemeriksaan etik terhadap Noer Kasanah. Seperti yang tertulis dalam buku acara, “Noer Kasanah juga melapor ke Komnas HAM yang setelah melakukan pemeriksaan ke masing-masing pihak dan telat terbit rekomendasi Nomor 627/PM.OO/R/VIII/2025 tanggal 12 Agustus 2025 menyatakan telah terjadi pengabaian hak terhadap atas perlakuan yang adil dan hak atas pekerjaan dan pengembangan diri.”

Rakha menilai UGM gagal menerapkan prinsip keadilan dan keberimbangan. “Kita melihat ragam praktik yang tidak adil karena tidak ada prinsip keberimbangan,” ujar Rakha. Sementara itu, Dhia, selaku ketua SPK menyatakan berdiri bersama Noer dan menegaskan jika memang terdapat pelanggaran etik, seharusnya prosesnya dibuka secara jelas. SPK menilai adanya praktik eksploitasi dan diskriminasi yang tidak sesuai dengan hak-hak pekerja. Ia juga menyebut hingga kini Noer hanya diberi label melalui pelabelan tersebut merupakan cara untuk menutup kebenaran di lingkungan kampus. 

Rakha juga berpendapat bahwa kasus ini memperlihatkan kerentanan dosen sebagai pekerja kampus yang berhadapan dengan relasi kuasa tidak setara. Noer kehilangan dua kali kesempatan kenaikan jabatan pada masa peralihan 2023, serta kekosongan Laporan Kinerja Dosen/Beban Kinerja Dosen selama empat semester dan Sasaran Kinerja Pegawai selama dua tahun, membuatnya tidak lagi memenuhi syarat untuk pengusulan berikutnya. 

Senada dengan LBH Yogyakarta, Seto, mantan mahasiswa dan manajer laboratorium Noer, berpendapat bahwa proses ini tidak objektif “Padahal kalau mau objektif, mestinya pihak Bu Noer dan mahasiswa yang bekerja di lab-nya juga didengar,” ujar Seto.

Menurut Dhia, ketua SPK, kasus ini menunjukkan lemahnya mekanisme penyelesaian internal kampus. “Situasi-situasi seperti ini bukan saja merugikan satu orang, tapi sakitnya satu pekerja kampus adalah sakitnya semua pekerja kampus”. LBH Yogyakarta menutup konferensi pers dengan menyerukan agar UGM membuka ruang dialog yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan akomodatif untuk memulihkan hak-hak Noer Kasanah dan memperbaiki tata kelola sumber daya manusia di lingkungan kampus.

 

 

 

 

Penulis : Mirelle Valeska, Jogi Josafat (Magang)
Artistik : Mega Theresia (Magang)
Editor : Jati Nurbayan Sidiq

LEAVE A REPLY