“Para elite tidak seharusnya memandang 135 korban jiwa dalam tragedi Kanjuruhan hanya sebagai angka statistik. Itu bukan jawaban yang diinginkan rakyat. Jangan salahkan anak muda jika mereka memilih bergerak, sebab ketidakadilan dan penindasan terjadi di mana-mana,” seru Wahyu, perwakilan dari Forum Cik Ditiro, dalam orasinya.
Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi damai di Titik Nol Kilometer Yogyakarta pada Kamis (2/10) sekitar pukul 14.30 WIB. Aksi ini bertujuan memperingati tragedi Kanjuruhan tahun 2022 yang menewaskan 135 orang, sekaligus menuntut pembebasan sejumlah aktivis yang ditangkap usai aksi demonstrasi pada 25-29 Agustus 2025 silam. “Tragedi Kanjuruhan dan penculikan aktivis adalah bukti nyata impunitas hukum, kita tak boleh diam,” tegas Wahyu. Ia juga menekankan bahwa aksi ini adalah bentuk perlawanan terhadap berlanjutnya impunitas.
Faiz, Salah satu peserta aksi, menyatakan bahwa kegiatan damai ini juga bertujuan untuk menyoroti kembali tindakan kriminalisasi terhadap warga sipil oleh aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian Negara Republik indonesia (Polri). “Tentunya aksi ini digelar sebagai respons terhadap tindakan semena-mena polisi yang bukannya mengayomi, justru malah menindas rakyat,” ujar Faiz. Ia menambahkan bahwa tragedi Kanjuruhan yang menewaskan sebanyak 135 orang, merupakan contoh nyata dari tindakan represif aparat dalam menggunakan kekuasaan mereka.
Faiz juga menyoroti peristiwa demonstrasi di depan Polda DIY beberapa pekan lalu, dalam peristiwa tersebut mengakibatkan empat orang terluka parah hingga harus menjalani amputasi akibat terkena petasan yang ditembakkan aparat. “Petasan yang mengenai massa aksi sudah pasti nonprosedural. Itu jelas-jelas tindakan salah,” tegasnya. Ia menambahkan, meskipun pihak kepolisian mengaku petasan tersebut merupakan barang sitaan, penggunaannya sebagai alat pengendalian massa aksi sama sekali tidak dibenarkan.
Aksi damai ini juga menyoroti penangkapan sejumlah aktivis pro demokrasi, yakni: Del Pedro, Muzaffar Salim, Syahdan Hussein, dan lainnya, yang dituduh sebagai provokator dalam demonstrasi 25–29 Agustus lalu. “Mereka bukan provokator, mereka hanya menyuarakan aspirasi masyarakat,” ujar Anton, salah satu mahasiswa UNY yang hadir saat aksi. Para aktivis tersebut dijerat Pasal 160, 170, 187, dan 55 KUHP yang mencakup tuduhan penghasutan, kekerasan, pembakaran, serta keterlibatan dalam tindak pidana.
Menanggapi hal ini, Faiz menyatakan bahwa sebagian besar aktivis di berbagai daerah dijerat dengan pasal yang sama. “Aktivis yang ditangkap hari ini, hampir selalu dikenai pasal penghasutan, meskipun kasusnya berbeda-beda,” ujarnya. Menurut Faiz, penangkapan para aktivis tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pejuang demokrasi yang justru mendorong terlaksananya perombakan kabinet dan reformasi Polri.
Di sisi lain, Dandi, peserta massa aksi yang lain, menyebut bahwa pasal-pasal yang menjerat para aktivis, dalam hal ini Pasal 160 KUHP yang berisi tentang penghasutan yang dinilai merupakan “pasal karet”. Ia menilai bahwa indikator seseorang merasa terhasut masih ambigu. “Apa indikator orang-orang merasa terprovokasi untuk melakukan tindakan kriminal? Bisa saja postingan sederhana justru membuat beberapa orang juga terprovokasi,” jelas Dandi.
Di samping itu, Dandi juga menyesalkan kurangnya keterbukaan informasi publik dari Polda DIY dan sejumlah fasilitas kesehatan terkait jumlah korban usai aksi demonstrasi yang berlangsung di Yogyakarta. “Hingga hari ini, kami masih kesulitan mendapatkan akses informasi dari Polda DIY maupun Rumah Sakit Sardjito mengenai berapa jumlah korban,” tambah Dandi. Baginya, informasi tersebut penting agar tim independen dan media dapat melakukan investigasi secara menyeluruh.
Di akhir aksi, massa menutup rangkaian kegiatan dengan mengirimkan surat kepada sejumlah institusi, seperti Komnas HAM, DPR RI, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Ombudsman RI, serta Sekretariat Kabinet (Setkab). Surat yang dikirim melalui kantor pos tersebut berisi tuntutan agar aparat kepolisian yang melakukan tindakan non-prosedural saat membubarkan massa, termasuk pelemparan petasan, segera ditindak. “Yang kami sampaikan melalui surat ini adalah adanya kesalahan prosedur dan tindakan berlebihan saat aparat membubarkan massa aksi demonstrasi,” ungkapnya.
Melalui aksi ini, massa berharap agar pemerintah dapat mengusut kembali tragedi Kanjuruhan dan membebaskan kawan-kawan aktivis pro-demokrasi yang ditangkap. “Ya, kami berharap agar kawan-kawan kami (para aktivis) yang ditahan dapat dibebaskan, serta tragedi Kanjuruhan bisa diusut kembali,”tutur Dandi. Tak lupa, ia juga menekankan pentingnya percepatan reformasi di tubuh Polri.
Penulis: Marko Galileo dan Muhammad Rizky Ramadhan (Magang)
Editor: Agito Yacobson Sitepu
Fotografer: Jogi Josafat Hutauruk (Magang)
Illustrasi: Nabila Syefa Lulu Shafa