Sumber: pinterest.com

Saya telah sekian lama mengenal Tagore, tapi tak pernah sekalipun membaca hasil karyanya. Seperti seorang yang memendam rasa kepada seseorang sejak lama, namun tak pernah ada kesempatan untuk berjumpa pun mengungkapkan perasaan. Saya merindu pada karya Tagore sejak duduk di masa-masa awal bangku sekolah menengah atas. Kemudian, sekian waktu berselang, semesta mempertemukan saya dengan Tagore. Anjangsana saya dengannya berlangsung mulus. Tanpa ada rasa malu atau canggung.

Karya Tagore yang pertama saya baca adalah Batu-Batu Lapar. Batu-Batu Lapar adalah sekumpulan cerita pendek Tagore yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris pertama kali pada tahun 1895, dengan judul The Hungry Stones and Other Stories. Ada sebanyak tiga belas buah cerita pendek di dalamnya. Ketigabelas kisah ini sungguh kental akan nuansa India. Mulai dari latar dan budaya yang ditampilkan, pengkotak-kotakan kasta, dan pemujaan terhadap dewa-dewa sedari  pikiran, ucapan, tindakan, hingga kematian. Tagore memotret kejadian-kejadian yang kemudian dirangkainya dalam satu kolase kisah yang bahkan bisa sama sekali tidak berhubungan satu sama lain. Namun, benang merahnya terlihat jelas sehingga dapat ditarik dengan mudah, membuat saya dapat mengintip kondisi masyarakat India secara jujur dan lugu.

Ada sebuah cerita dalam buku ini yang membuat saya selalu mengenang pertemuan pertama saya dengan Tagore. Ia berjudul Penglihatan. Bercerita tentang kehidupan Kumo, seorang istri dalam kebutaan yang sesungguhnya ia dapatkan dari pengobatan-pengobatan gagal yang diberikan suaminya, Abinash. Walaupun begitu, ia tetap mengabdi dan memberikan kasih sayang penuh kepada sang suami.

Dalam kebutaannya, ia tak hanya menjadi pelayan bagi sang suami, namun juga bagi Tuhan. Waktu demi waktu berlalu, ia tetap berbahagia dalam keadaannya. Hingga akhirnya sang suami menjadi dokter sukses yang bekerja di sebuah desa. Karena pengaruh jabatan dan harta, Kumo tak melihat Abinash seperti dulu lagi. Ia melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada diri suaminya. Dari tidak mau melayani pasien yang miskin, hingga diam-diam ingin melakukan sesuatu yang dulu dengan sumpah tak akan ia lakukan seumur hidupnya: kawin lagi dengan perempuan lain. Namun sekali lagi, Kumo memang betul mengabdi pada suaminya. Ia selalu mencintainya, bagaimanapun perubahan yang terjadi dalam diri suaminya.

Mungkin bagi sebagian pembaca, cerita ini dapat menjadi biasa saja. Namun bagi saya, ini bukan sekedar cerita cinta picisan yang berangkat dari perasaan enggan untuk berpisah lantaran ikrar yang telah diucapkan. Ini lebih dari sekedar itu saja.

Ini satu hal yang saya dapatkan dari Penglihatan: wanita adalah makhluk biasa yang serba bisa.

Wanita adalah makhluk biasa, tapi tangguh dan kuat. Ia mampu bertahan dalam keadaan yang mungkin orang lain anggap tak mampu dilaluinya. Ia dapat melakukan hal apapun di atas kepentingannya, demi orang yang mereka cinta. Wanita menangis dan meronta di luar, tapi orang lain tidak boleh lupa, bahwa di saat yang sama, wanita juga berdiri tegak tanpa keraguan di dalam. Inilah yang saya lihat dari sosok Kumo, seorang wanita yang menikah di usia muda dan menjajal petaka sejak usia yang sama pula.

Tagore, dalam satu paragraf menuliskan keluhan yang terlayang dari Kumo. Ia harus berbohong kepada, hanya untuk menyenangkan kakaknya dan suaminya yang sama-sama berusaha untuk mengobati dirinya. Paragraf ini, bagi saya, sangat relevan dengan kehidupan seorang istri sekaligus ibu yang sesungguhnya penuh kasih sayang namun juga diliputi kelicikan. Secara tak langsung, saya jadi ingat ibu saya di rumah yang kerap membocorkan kebohongan kecil yang ia ucap demi menenangkan ayah saya. “Betapa perempuan harus berbohong! Kalau kami jadi ibu, kami akan berbohong untuk menenangkan anak-anak kami; dan kalau kami jadi istri, kami berbohong untuk menenangkan ayah anak-anak kami. Kami tidak pernah bebas dari kebutuhan ini.”

Kemudian, dalam hari-harinya yang gelap, Kumo berserah diri kepada Tuhan dan memanjatkan doa-doa kepada Yang Maha Kuasa. Ini yang baginya dapat membuatnya menjalani hari dengan kekuatan yang bertambah-tambah di saban harinya. Lumpuh di satu indera, membuatnya lebih peka akan sekitarnya melalui inderanya yang lain. Selain mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, ia pun bisa, tanpa melihat dengan mata, mengetahui gelagat Abinash yang ingin beristri lagi. Sumpah yang diucapkan Abinash sebelumnya, dan kata-kata yang meyakinkan Kumo bahwa hanya ia-lah dewi dalam kerajaan hati Abinash seolah menguap perlahan.

Tentu saja, Kumo tak mau membiarkan hal itu terjadi. Ia ingin menyelamatkan pria yang dikasihinya dari sumpahnya yang tak tertepati. Pada sebuah malam sebelum Abinash pergi ke dermaga, pecahlah tangis dan teriakan dari Kumo terhadapnya. Ia memekik, apakah yang membuat Abinash berkeinginan untuk memadunya? Apa hal yang kurang darinya hingga suaminya begitu bersikeras mencari jalan untuk kawin lagi. Inilah jawaban Abinash: “Aku tak bisa menjalani hidupku sehari-hari bersamamu. Aku menginginkan seorang perempuan—hanya perempuan biasa—yang bisa bebas kucaci maki dan kubujuk dan kucumbu dan kumarahi,”

Abinash, sama seperti kebanyakan lelaki pada umumnya, takut kepada perempuan yang kuat dan tangguh. Padahal, apa yang salah dengan itu? Toh, wanita juga manusia biasa yang juga punya kekuatan untuk berontak dan tegar menantang keadaan. Konstruksi-konstruksi sosial yang dibangun atas dasar patriarki membuat wanita memiliki cirinya sendiri: lemah dan tidak seharusnya menjadi lebih kuat daripada pria. Ini yang memuakkan saya. Tagore, di satu sisi memperlihatkan bahwa seorang wanita dapat menjadi pelayan yang baik bagi lelaki. Namun, di sisi lain juga menunjukkan bahwa wanita punya kekuatan yang bahkan ditakuti oleh pria.

Walaupun lebih dari seabad cerita ini ditulis, hal ini masih bisa ditemui di kehidupan saat ini. Tidakkah lelaki sadar bahwa manusia, apapun organ yang ada di selangkangannya, tetap bisa menangis ataupun berteriak marah? Tidakkah wanita juga manusia biasa yang juga bisa melakukan hal tersebut, bukan salah satunya saja? Wanita tidak pantas dijauhi karena kekuatannya, ataupun kelemahannya. Semua manusia tidak.

Wanita, pada akhirnya, hanyalah manusia biasa yang di suatu waktu menjadi serbabisa: bisa menjadi dua hal yang berbeda di satu waktu yang bersamaan. Ia dapat memuja dan memberontak pada orang yang sama, pada suatu hal yang sama. Inilah keunikan wanita yang saya tangkap dari kisah Tagore.

Di akhir cerita, Abinash meminta agar Kumo tak lagi menyebut dirinya sebagai Tuhan. Nampaknya ia malu dan sadar sendiri, Tuhan manakah yang dapat takut oleh makhluk biasa yang bernama wanita? (Okta/Endang)

LEAVE A REPLY