“Sumbangan Sukarela Pembangunan Institusi (SSPI) ini menjadi perdebatan karena alurnya yang tidak jelas dan tidak transparan,” ucap Tugus Trisna Triandana Putra, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Keputusan UGM memberlakukan SSPI kepada mahasiswa baru angkatan 2022 jalur Ujian Mandiri telah menimbulkan berbagai kecurigaan dari kalangan mahasiswa UGM. Menurut Tugus, sampai hari ini belum ada kebijakan langsung yang menjelaskan aliran penggunaan dana SSPI. Hal tersebut ia disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Propaganda dan Aksi Kreatif (Proaktif) UGM secara luring di Nitukusala, Yogyakarta, pada Kamis, (17/11).
Dalam diskusi tersebut, Pandu Wisesa Wisnubroto, Koordinator Forum Advokasi UGM 2021, juga menambahkan bahwa kecurigaan mahasiswa UGM bermula dari masalah teknis pemberlakuan SSPI tahun ini. Menurut Pandu, beberapa mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri mengalami kendala ketika memilih nominal nol rupiah dalam formulir Pendaftaran Ulang. “Banyak terjadi error di sistem UGM ketika mahasiswa baru memilih nominal nol rupiah. Akhirnya, beberapa mahasiswa harus memilih nominal tertentu,” jelas Pandu.
Kemudian, Pandu mengatakan bahwa kebijakan SSPI ini patut dicurigai. Sebab, menurut Pandu, secara formal Surat Keputusan (SK) dari SSPI ini tidak mencantumkan mekanisme penggunaan dana pendapatan SSPI. “Dalam SK, tidak dicantumkan untuk apa dan bagaimana pendapatan SSPI itu digunakan oleh UGM. Oleh karena itu, kebijakan ini patut dicurigai,” ungkap Pandu.

Menanggapi kebijakan SSPI ini, Joko Susilo atau akrab disapa Josu, Knowledge Manager Nalar Institute, mengungkapkan bahwa narasi yang dibawa oleh kebijakan SSPI ini sama dengan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA). Menurut Josu, saat ini kebijakan SSPI masih bersifat opsional, tetapi patut diwaspadai karena kedepannya dapat bersifat wajib, seperti SPMA. “SSPI ini hanya permainan singkatan saja,” ucap Josu.
Lebih lanjut, Pandu dan Josu sepakat untuk mempertanyakan ulang urgensi diberlakukannya SSPI. Menurut Pandu, Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diberlakukan hari ini seharusnya sudah mencakup semua pembiayaan kuliah. “Selain UKT, kampus juga memiliki sumber pendanaan lain, seperti dana pendidikan dan subsidi pemerintah,” jelas Pandu.
Namun, dalam praktiknya, menurut Pandu, beberapa fakultas masih memungut biaya tambahan, seperti biaya praktikum. Padahal, menurut Pandu, biaya tersebut seharusnya sudah termasuk ke dalam biaya UKT. “Seharusnya kita hanya membayar sekali untuk menikmati seluruh fasilitas kampus,” keluh Pandu.
Kemudian, pembiayaan yang tumpang tindih ini menjadi pertanyaan lebih lanjut. Menurut Josu, kondisi tersebut adalah dampak dari diberlakukannya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) di UGM. “Implikasi dari diberlakukannya PTN-BH adalah pemangkasan subsidi negara untuk perguruan tinggi,” terang Josu.
Akibatnya, menurut Josu, UGM harus mencari sumber pendanaan lain untuk menjalankan operasional kampus. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan untuk menarik biaya tambahan dari mahasiswa. “Dengan model seperti ini, beban operasional kuliah akhirnya dibebankan kepada mahasiswa,” ujar Josu.
Lebih lanjut, Josu menerangkan bahwa narasi otonomi kampus yang dibawa oleh PTN-BH ini bias. Sebab, menurut Josu, porsi pemerintah untuk mengontrol aktivitas birokrasi kampus cukup besar. “Contohnya, dalam pemilihan rektor saja, menteri memiliki persentase suara 35 persen,” ucap Josu.
Pada akhirnya, narasi otonomi kampus yang dibawa oleh PTN-BN tidak sesuai realita. PTN-BH, menurut Josu, hanya sebagai pembenaran atas penarikan biaya pendidikan dari mahasiswa ketika negara lepas tangan. “PTN-BH ini banci! Kampus mau profit, tetapi tidak jelas,” pungkas Josu.
Reporter : Noor Safira Zalfa, Angelina Tiara Puspitalova
Penulis : Noor Safira Zalfa, Angelina Tiara Puspitalova
Penyunting : Roni
Ilustrator : Momo
Fotografer : Angelina Tiara Puspitalova