Upaya Mengangkat Isu Buruh Perempuan di Tengah Iklim Oligarki

0
899

(bpmfpijar.com/farid al-qodr)

Kasus diskriminasi terhadap buruh perempuan masih marak terjadi di Indonesia, tetapi isu ini seakan kurang tersorot oleh publik. Penguasaan media-media arus utama oleh sistem oligarki menjadi salah satu faktor utama pembungkaman isu-isu buruh perempuan. Terlebih lagi pada masa pandemi COVID-19 seperti saat ini, berita tentang ketidakadilan terhadap buruh perempuan nyaris sunyi senyap.

Kondisi inilah yang mendorong diselenggarakannya talkshow oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Sabtu (25/09). Talkshow yang diselenggarakan secara daring ini mengangkat tema “Peran Jurnalis dalam Mengangkat Persoalan Buruh Perempuan”, PPMN juga menyiarkan acara ini melalui kanal YouTube Project Multatuli.

Talkshow ini menghadirkan tiga pembicara di antaranya Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli; Fauziah Rivanda, anggota Divisi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta; serta Pengacara dan Perwakilan Serikat Buruh, Sarinah.

Mengawali sesi bincang, Sarinah memaparkan materi terkait situasi perburuhan di Indonesia yang tidak menguntungkan bagi para buruh. Situasi ini, kata Sarinah, semakin diperparah dengan hadirnya COVID-19 yang turut serta membawa persoalan-persoalan baru.

“Diskriminasi dalam upah tunjangan, status, jabatan dan hasilnya adalah kecenderungannya yang seperti ini, para buruh perempuan kebanyakan masuk ke dalam sektor-sektor pekerja yang dipinggirkan atau rentan seperti industri garmen,” ucap Sarinah.

Menurut Sairinah, para buruh turut merasakan dampaknya, tak terkecuali buruh perempuan yang semakin dirugikan akibat adanya diskriminasi gender di tengah-tengah negara dengan budaya patriarki yang masih kental. “Ini menjadi semakin susah karena negara kita adalah negara yang patriarkis dan sangat menindas kelas pekerja termasuk buruh perempuan,” ujarnya.

Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2021, terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan. Di antaranya berupa kekerasan seksual di lingkungan kerja, pengabaian hak-hak reproduksi, kurang didukungnya serikat buruh, beban ganda yang ditanggung, ditambah dengan persoalan-persoalan baru yang muncul di masa pandemi seperti penurunan upah kerja.

Padahal, biaya hidup di masa pandemi bertambah untuk menunjang kesehatan. Belum lagi jika menilik data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang menunjukkan peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga di tahun 2021.  Sarinah mengungkapkan, “kondisi-kondisi tersebut turut memberi ancaman terhadap kesehatan mental para buruh perempuan.”

Fauziah melanjutkan perbincangan dengan memaparkan materi mengenai gerakan feminisme. Menurut Fauziah, feminisme telah muncul diantara “isme-isme” lain yang berkembang, seperti kapitalisme, liberalisme, sosialisme ataupun dogmatisme. “Sehingga feminisme ini akan selalu terperangkap di tengah kepentingan isme-isme itu sendiri,” tuturnya.

Stigma negatif mengenai media yang tidak berpihak kepada korban berakibat pada tersingkirnya kaum buruh perempuan dari fokus media yang diberitakan. Oleh keranya, Fauziah menyorot pentingnya peran media dan jurnalis untuk meliput serta menyuarakan kepentingan buruh perempuan dengan memahami metodologi feminisme.

“Peliputan isu feminisme perlu mengedepankan sudut pandang perempuan sebagai sosok yang berperan dan berjuang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, serta meningkatkan kualitas hidup perempuan dengan menghilangkan diskriminasi sehingga terciptanya sistem egaliter,” ujar Fauziah.

Melansir dari riset Merlyna Lim, perusahaan-perusahaan media arus utama di Indonesia dikuasai oleh pengusaha dan oligarki. Evi Mariani menjelaskan, meskipun pemilik media tidak campur tangan langsung ke redaksi, tetapi akan tetap ada campur tangan secara struktural melalui Pemimpin Redaksi hingga sampai ke jurnalis. “Sehingga, memang dalam satu strukturnya sendiri sudah memang tidak menguntungkan bagi buruh perempuan,” tutur Evi.

Mantan jurnalis The Jakarta Post itu, juga sempat menyinggung mengenai kepekaan jurnalis dalam melihat kepentingan buruh perempuan. Kepekaan ini, menurut Evi, perlu dikedepankan oleh para jurnalis guna mencegah adanya normalisasi pembungkaman suara buruh dan serikat pekerja yang seharusnya tidak boleh terjadi. Evi juga menyarankan agar jurnalis berkolaborasi bersama media-media yang dimiliki buruh untuk mengangkat perihal isu-isu buruh.

Persoalan mengenai isu buruh klaster pabrik yang kurang diberitakan turut memantik diskusi pada sesi tanya-jawab. Menurut Evi, isu ini dapat dirasa jauh dari para jurnalis yang kehidupannya cenderung lebih dekat dengan dunia perkantoran.

Evi juga menambahkan, seobjektif apapun seorang jurnalis pasti memiliki “bias”, yang mana bias tersebut harus dilatih agar seorang jurnalis dapat bersikap imbang dengan artian dapat melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda. “Yang bahaya adalah ketika dengan biasku (jurnalis) aku mengukur semua dan terus menentukan secara sepihak mana yang penting dan mana yang tidak,” imbuhnya.

Dalam tanggapannya, Sarinah mengatakan bahwa di sisi lain, mentalitas buruh dalam mendiamkan suatu peristiwa yang terjadi di tengah-tengah mereka juga menjadi faktor penyebab kurang terangkatnya isu buruh klaster pabrik ini. Akan tetapi, ia juga tidak menolak pandangan tentang adanya bias pada jurnalis kelas menengah. “Klaster pabrik ada juga yang diberitakan, cuma tidak begitu mendalam,” jelasnya.

Penulis: Farida Nur Khasanah, Noor Safira, Cahya Saputra (Magang)
Editor: Isabella

LEAVE A REPLY