(bpmfpijar.com/ilustrasi: farid)
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020, Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta kembali menempati peringkat terendah di tahun 2021. Bahkan, peringkat tersebut terjadi selama enam tahun berturut-turut. Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat Jogja merupakan kota pariwisata yang cukup ternama di Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pimpinan Kota Yogyakarta menyelenggarakan diskusi daring, pada Minggu (26/03). Diskusi ini menghadirkan Awan Santoso, akademisi yang berfokus di bidang ekonomi kerakyatan dan Patra Jatmiko, perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY sektor Niaga, Bank, Jasa, dan Asuransi. Jalannya diskusi dipandu oleh Royyan M. Nur, ketua Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi Universitas Sunan Kalijaga.
Melalui Awan, FPPI mempermasalahkan keputusan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengenai UMP yang mengabaikan Komponen Hidup Layak (KHL). Padahal KHL menjadi tolak ukur dalam membuat kebijakan. Regulasi mengenai penetapan UMP dinilai kurang berpihak kepada buruh bahkan cenderung menekan dan merugikan. Bisa dikatakan mekanisme penentuan upah yang dikeluarkan tidak bisa mencukupi kesejahteraan para pekerja buruh.
Awan menjelaskan bahwa perusahaan mempertimbangkan dua aspek dalam menetapkan upah, yakni upah minimum yang ditetapkan pemerintah dan mekanisme pasar. Sedangkan, mekanisme pasar ini cenderung menyudutkan buruh karena buruh mempunyai daya tawar yang rendah. “Seyogianya upah yang berlaku menyesuaikan kedua aspek tadi, bukan menyesuaikan dengan kemampuan perusahaan untuk memberi upah sesuai tingkat kontribusi buruh pada kegiatan produksi,” terangnya.
Untuk penetapan upah tahun ini, KSPSI merekomendasikan peningkatan upah 4 persen dalam upaya meningkatkan daya beli masyarakat di tengah pandemi. Tetapi gubernur hanya menetapkan 3,54 persen untuk kenaikan upah di DIY. “Peningkatan tersebut kurang signifikan bila ingin mengangkat posisi Yogyakarta dari posisi bawah sebagai provinsi dengan upah terendah,” ujar pria yang akrab disapa Miko itu.
Jika mengukur keberhasilan perjuangan serikat buruh dalam mengangkat taraf hidup pekerja di Yogyakarta, tentu masih panjang perjalananya. Akan tetapi perjuangan yang sudah dilakukan oleh serikat buruh cukup membuahkan hasil, terlihat dari peningkatan upah selama dua tahun terakhir, meskipun belum bisa dikatakan cukup berhasil untuk menaikkan taraf hidup pekerja di Yogyakarta. “Persoalannya adalah bukan mampu atau tidak mampu, tetapi lebih kepada mau atau tidak memberikan upah yang layak bagi pekerja,” tegas Miko.
“Alasan upah rendah karena mekanisme pasar yang disertai intervensi pemerintah, dan intervensinya hanya pada upah minimum. Dan alasan pemerintah menetapkan upah minimum yang rendah yaitu karena tarik menarik antara kekuatan berbagai pihak,” ujar Awan menambahkan.
Menanggapi kondisi tersebut serikat pekerja DIY, sebagaimana dikatakan Miko, akan melakukan beberapa strategi untuk merespon kebijakan pemerintah. Yakni dengan mengirimkan pernyataan sikap secara politik bahwa serikat pekerja tidak akan mengamini begitu saja regulasi yang dibuat pemerintah.
Sebab, kata Miko, upah yang dibuat tidak mencerminkan kebutuhan hidup layak bagi pekerja buruh yang ada di DIY. Dalam beberapa minggu ke depan, serikat pekerja juga akan mengadakan siaran pers terkait respon organisasi terhadap keputusan gubernur tentang UMP DIY tahun 2021.
(Roni/Isabella)