Sumber: www.qcodemag.it -- AUSTRALIA, Sydney: Demonstrators hold up 'Ju suis Charlie' placards at Sydney's Martin Place on January 8, 2015, during a vigil held to show support for the victims of the attack on the office of satirical magazine Charlie Hebdo in Paris. Many of the demonstrators wore white to pay their respects to the twelve people who died when armed gunmen stormed the magazine's headquarters on January 7. The vigil in Martin Place and a similar event in Melbourne's Federation Square are part of a global outpouring of grief in response to the shooting. (AAP Image/NEWZULU/PETER BOYLE)

Je suis Charlie!” teriak segala jenis manusia yang berkeliaran di media sosial pada Januari 2015 lalu, ketika layar terang mereka mengabarkan secara real-time bahwa kantor redaksi koran satir Charlie Hebdo di Paris baru saja diserang oleh dua pria bersenjata—teroris Muslim—yang membunuh 12 jiwa dan melukai sebelas jiwa.

“Saya adalah Charlie!” Demikian mereka menyerukan dukungan kepada Charlie Hebdo dan mengutuk para teroris yang tindakannya jelas didasarkan oleh edisi terbaru Charlie Hebdo yang, untuk kesekian kalinya, menampilkan kartun Nabi Muhammad dengan gaya mencemooh. Atas nama kebebasan berpendapat, ribuan orang berkumpul dan melakukan berbagai aksi, mengagung-agungkan para kartunis yang tewas sebagai martir. Voltaire mendadak kembali menjadi selebriti berabad-abad setelah kematiannya; kalimatnya, “I do not agree with what you have to say, but I’ll defend to the death your right to say it,” ditulis di mana-mana.

Bagian “what you have to say dari kalimat Voltaire tersebut jelas bukan sekedar basa-basi. Konten kartun Charlie Hebdo tersebut memang “bermasalah” dan sudah pasti kontroversial—banyak pihak yang menentang pilihan mereka untuk menjadi begitu kasar. Hal itu jelas, karena pada dasarnya Charlie Hebdo merupakan koran satir yang memang hidup untuk mempermasalahkan apapun dan siapapun: dari paus hingga rabbi, presiden hingga feminis.

Mari kita coba andaikan bahwa tindakan “bermasalah” Charlie Hebdo dapat dibenarkan karena label satir yang menempel di belakang nama mereka. Adakah satir yang tidak menyenggol pihak tertentu? Itu bukan satir namanya. Satir yang santun bisa dikatakan oxymoron. Dan Charlie Hebdo bersikukuh mempertahankan tradisi satir Prancis yang dikenal keras menantang segalanya.

Ketika konten Charlie Hebdo sebagai bentuk satir dianggap wajar di negara yang mengizinkannya secara hukum dan dimaklumi oleh mayoritas penduduknya, kini yang patut dipertanyakan adalah bagaimana satir itu sendiri dapat dijustifikasi atau disalahkan sebagai bentuk kebebasan berpendapat secara lebih universal. Karena kenyataannya selama ini satir memang banyak bermasalah akibat karakternya yang ofensif.

Titik rawan dari satir adalah tendensinya untuk menjadikan objeknya sebagai lelucon. Dengan perannya dalam kehidupan sebagai penyerang, satir banyak menyulut kemarahan pihak yang diserang atau malah memprovokasi khayalak untuk ikut menyerang karena satir harus berdiri di atas topangan rapuhnya isu suku, agama, ras dan antar-golongan untuk mencapai destinasi sang kreator, apapun itu. Sama seperti bentuk usaha mempengaruhi opini publik lainnya, seorang satiris mau tidak mau harus memilih antara bermain dingin atau panas—kalau dingin tidak efektif, kalau panas berbahaya.

Humor, meskipun tidak ekuivalen dengan satir, sering dianggap sebagai poin dari satir. Clifford Edmund Bosworth dalam bukunya The Medieval Islamic Underworld: The Banu Sasan in Arabic Society and Literature mengungkapkan bahwa seorang penulis Arab, Al-Jahiz, mengenalkan satir kepada dunia sastra Arab di abad kesembilan dengan dasar premis bahwa bagaimanapun seriusnya suatu topik, seseorang dapat mencapai efek yang lebih besar jika ia menambahkan beberapa anekdot menghibur atau mencetuskan pengamatan-pengamatan jenaka atau paradoksal.

Satiris pada umumnya—dan sewajarnya—memiliki opini yang cukup kuat untuk membuat mereka berani menantang mereka yang dileluconkan. Tentu saja kita berbicara tentang otoritas, objek utama satiris. Sejarah peran satir dalam dunia politik suatu peradaban dapat ditelusuri sampai kepada zaman Mesir Kuno, meski satiris awal paling terkenal mungkin adalah Aristophanes yang menggunakan semacam satir (pada masa itu belum ada padanan kata seperti yang kita pahami sekarang ini) untuk mengkritik Cleon.

Kemudian satir dibahas secara kritis untuk pertama kali oleh Quintilian pada zaman Romawi dan sejarah tersebut berlanjut melewati religiusnya abad pertengahan, masa pencerahan yang ditandai oleh Jonathan Swift dan Daniel Defoe, abad 19 dengan Charles Dickens dan Mark Twain, dan pada akhirnya mulai betul-betul berjaya—dengan kata lain, tingkat sensor yang makin seiring dengan berkembangnya obsesi terhadap demokrasi—pada abad 20 sampai sekarang, dengan ragam media yang semakin banyak dan isu yang semakin kompleks. Satir ada di tengah masyarakat monarki dan totalitarian sekalipun—hanya tingkat pengendalian dari otoritas yang berbeda.

Satir dapat menjadi berbahaya karena aksesibilitasnya terhadap masyarakat yang lebih luas. Kartun apalagi, mengingat bentuknya yang begitu mudah diterima oleh otak manusia dan dengan begitu lebih cepat mempengaruhi perspektif. Semua orang, sengaja atau tidak sengaja, akan langsung melihat sampul Charlie Hebdo ketika ketika melewati suatu kios yang memajang koran tersebut dan akan segera membentuk opini tentangnya, tetapi hanya sepersekian dari mereka yang akan betul-betul membaca isi koran tersebut dan mungkin memahami argumen lebih dalam dari maksud sampul itu. Citra kilatlah yang membekas di masyarakat, citra yang akan mengundang perdebatan.

Mengingat bentuknya itu, tujuan kartunis bukanlah untuk meyakinkan audiens dengan argumen yang logis dan dapat diterima, tetapi seperti alarm nyaring menyebalkan di pagi hari. Kartunis ingin mencoba mengingatkan dan mengejutkan—kemudian audiens yang memutuskan apakah mereka akan bangun dan menghadapi kenyataan kehidupan atau tetap meringkuk di tempat tidur.

Karena itu, kartun satir memiliki pengaruh khusus untuk menawarkan deskripsi mengenai suatu isu, tentangan langsung, ataupun memberi perspektif alternatif mengenai isu tersebut dengan lebih menarik serta mudah dan cepat diterima. Dengan ini, kartun satir memiliki tempatnya sendiri di tengah rimba demokrasi sebagai alat pertimbangan dalam menentukan sikap bagi masyarakat yang lebih luas. Ditambah dengan kenikmatan yang diperoleh sang kreator ketika mengekspresikan dirinya dengan menyerang orang, kartun satir tidak akan mati.

Tradisi satir Prancis yang terkenal kasar—ingat kartun Raja Louis Philippe yang berkepala buah pir karya Charles Philipon—merupakan apa yang diwarisi dan dalam arti tertentu diperjuangkan oleh Charlie Hebdo.

Dalam sebuah artikel dalam Aljazeera.com, Arthur Goldhammer, seorang penerjemah polymathic mengatakan, “ada sebuah tradisi di Paris mengenai humor yang tidak mengenal respek kepada apapun dan siapapun. Bahkan ada Bahasa Prancis untuk itu: gouaille. Pikirkan tentang gambar tidak senonoh Marie Antoinette dan anggota keluarga kerajaan, pendeta melakukan hubungan seks dengan biarawati, setan kentut di depan wajah paus dan karikatur Daumier yang menggambarkan Raja Louis Philippe. Ini adalah bentuk populis anarkis dari ketidaksenonohan yang bertujuan untuk melawan apapun yang dianggap sakral atau kuat. Tradisi ini juga menentang otoritas secara umum, hierarki dan praduga bahwa suatu individu atau kelompok memiliki kebenaran secara eksklusif.”

Maka kembali lagi: satir, terutama jika melihat tradisi Prancis itu, memang sudah kodratnya untuk menjadi tidak santun. Aneh jika penentang Charlie Hebdo menggunakan argumen, “Tidak perlu ofensif seperti itu jika ingin mengkritik.” Secara kasar, hakikat satiris adalah untuk menjadi ofensif dan hal itu tidak terelakkan. Dan menjadi ofensif hampir identik dengan memancing konflik, apalagi jika sudah berkaitan dengan kebebasan berekspresi.

Seperti “kebebasan-kebebasan” lainnya, apapun niat baik subjek di balik kebebasan itu, kebebasan berekspresi atau berpendapat jelas tidak benar-benar bebas. Selalu ada batasan dalam kebebasan. Kontradiktif? Mungkin. Namun hal itu adalah kenyataan mutlak.

David van Mill dalam paper-nya yang berjudul Freedom of Speech dari Stanford Encyclopedia of Philosophy menggunakan prinsip kerugian John Stuart Mill dan prinsip penghinaan Joel Feinberg dalam mengulas topik kebebasan berpendapat.

Mill, tentu saja, adalah ujung tombak kaum liberalis dan pahlawan dalam pembelaan kebebasan berpendapat. Dalam bab kedua On Liberty, Mill menyatakan bahwa “jika argumen dari bab ini valid, maka harus ada kebebasan penuh dalam menyatakan pendapat dan berdiskusi. Doktrin apapun, tak peduli betapa tak bermoral doktrin itu, harus diperhitungkan sebagai keyakinan etis.”

Namun dengan pembelaan terhadap kebebasan berpendapat yang begitu kuat seperti itu pun, Mill tetap membuat satu pengecualian sangat sederhana. Ia menyatakan bahwa “satu-satunya tujuan bahwa kekuasaan dapat dilaksanakan atas satu anggota kelompok peradaban tanpa kehendaknya sendiri adalah untuk mencegah celakanya orang lain.”

Ini seperti melempar batu ke danau yang tenang. Setelah apapun yang Mill katakan untuk membela kebebasan, termasuk dan terutama kebebasan individu, keluarlah kata harm atau celaka yang kemudian membuat riak dalam keyakinan tentang makna kebebasan. Makna celaka kini dapat ditafsirkan sesuka hati, dipelintir demi kepentingan masing-masing. Entah mengapa Mill tidak menjelaskan secara spesifik apa yang ia maksud dengan celaka, padahal kata itu adalah bagian sangat krusial dari pemikirannya. Kita hanya bisa mengira bahwa dengan pembelaan yang begitu panjang atas kebebasan berpendapat, celaka yang dimaksud Mill benar-benar terbatas pada celaka yang langsung dan jelas, tidak lebih.

Namun secara praktis, dapat disimpulkan bahwa Mill berbicara dalam konteks fungsi otoritas, yang dalam hal kebebasan berpendapat adalah untuk mengukur batasan-batasannya dan kemudian menentukan hukum untuk itu. Kartun Charlie Hebdo jelas-jelas adalah blasphemy, setidaknya bagi mayoritas umat Muslim, tetapi kenyataannya tindakan mereka dilindungi oleh hukum. Dalam sebuah kasus tahun 2007 yang mirip, Charlie Hebdo bebas dari semua tuntutan dari Masjid Agung Paris, Liga Dunia Muslim dan Persatuan Organisasi Islam Prancis (UOIF) setelah menerbitkan kartun Nabi Muhammad—lagi. Jadi, berdasarkan prinsip Mill, dengan otoritas yang memutuskan bahwa tidak ada yang celaka oleh kartun Charlie Hebdo, maka Charlie Hebdo berada dalam batas yang telah ditentukan otoritas.

Dalam kasus Charlie Hebdo tahun 2015, kebetulan, bentuk celakanya begitu jelas, sehingga tidak perlu ada perdebatan celaka-seperti-apa-yang-dimaksud: 12 orang mati.  Bagaimanapun yang celaka bukanlah mereka yang diserang oleh kartun satir sebagaimana kita akan melihatnya ketika sedang mencoba meneliti “harm caused by freedom of expression,” melainkan penyerangnya sendiri—semacam bumerang.

Di sini makna celaka itu secara khusus dapat dipertanyakan: jadi sebenarnya korbannya di sini umat Muslim yang disinggung atau kartunis itu sendiri?

Akan aneh ketika kita menyebut para kartunis sebagai korban dari kartun satir mereka sendiri jika berbicara dalam konteks ini karena mereka melakukannya secara sadar bahwa mereka sedang menantang salah satu golongan terbesar di dunia yang begitu rentan terhadap penghinaan. Mereka berani karena memiliki sesuatu yang diperjuangkan: perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai totalitarianisme Islam (mereka sendiri menolak disebut Islamofobia yang mereka sebut sebagai “konsep kacau yang mengelirukan antara kritik terhadap Islam sebagai agama dan stigmatisasi mereka yang mempercayainya”). Sang editor yang juga menjadi korban dalam peristiwa penembakan, Stephane “Charb” Charbonnier, pernah mengatakan, “Lebih baik aku mati berdiri daripada hidup berlutut.” Ia sadar betul apa yang ia lakukan. Malah, ia telah mengantisipasi akhir hidupnya sendiri.

Jadi, mereka bukanlah korban dari kartun satir. Kalaupun disebut korban, berarti kita harus melihat dari sisi kriminal yang dilakukan para teroris: mereka adalah korban dari tindakan barbar fundamentalis.

Jika kita anggap korbannya adalah umat Muslim, baru kita bertanya lagi: bagaimana umat Muslim itu dicelakakan dengan sebuah kartun, secara riil? Dalam kasus yang sedang dipermasalahkan ini, yang celaka secara nyata adalah kartunis, bukan umat Muslim.

Untuk membahas yang berkaitan dengan Charlie Hebdo, baru dapat digunakan apa yang disebut prinsip ofensif oleh Joel Feinberg. Feinberg berpendapat bahwa prinsip celaka saja tidak cukup. Dalam beberapa hal kita dapat menggunakan prinsip ofensif. Ide dasarnya adalah bahwa standar yang dipasang oleh prinsip celaka terlalu tinggi dan kita dapat melarang beberapa bentuk ekspresi karena mereka sangat ofensif. Menghina seseorang tidak seserius mencelakakannya.

Berkaitan dengan prinsip ini, Charlie Hebdo dapat dikatakan melanggar jauh. Mayoritas umat Islam mempercayai bahwa visualisasi Nabi Muhammad adalah haram, dan tidak perlu menjadi pertanyaan lagi apakah Nabi Muhammad boleh diolok-olok atau tidak. Mereka yang bukan Muslim tidak ada urusan dengan hukum Islam, tetapi hal itu tidak menyelamatkan mereka dari label penghinaan terhadap Islam.

Menurut David van Mill, bagaimanapun, “prinsip tersebut sulit untuk diterapkan karena banyak orang yang menganggap penghinaan sebagai hasil dari watak terlalu sensitif, atau lebih buruk, karena kefanatikan dan prasangka yang tidak dapat dijustifikasi. Kesulitan lainnya adalah bahwa beberapa orang dapat sangat tersinggung oleh pernyataan yang dipandang oleh orang lain lumayan menghibur.”

Semua pertimbangan ini, seperti problem lainnya, pada akhirnya membawa kita ke sebuah persimpangan yang menyesakkan—kebebasan berpendapat adalah pedang bermata banyak. Mungkin pada masa ini opini populer adalah bahwa kebebasan berpendapat adalah sesuatu yang harus didahulukan, atas nama diskursus bebas sebagai unsur dari demokrasi. Tetapi perlu dicatat: bahkan dalam situasi demokratis pun, kebebasan berpendapat tidak selamanya bersifat mendukung.

Kasus Charlie Hebdo adalah contoh termudah. Secara sederhana, ada tiga jenis publik dari cara mereka menerima kartun Charlie Hebdo yang kasar: mereka yang mencemooh karena memandang Charlie Hebdo melakukan blasphemy, mereka yang biasa saja dan menganggapnya sebagai humor semata, dan mereka yang merasa “terbangunkan” oleh kartun itu dan menyetujui pendapat kartunis yang tafsirannya mungkin bermacam-macam. Bentuk reaksi dari golongan terakhir ini pun beragam: apakah kemudian membuka diskursus yang lebih luas secara rasional mengenai Islam, ataukah hanya bersifat provokasi mentah yang berujung pada Islamofobia? Ini secara jelas menggambarkan sifat kebebasan berpendapat, atau dalam konteks ini secara khusus penyerangan terhadap golongan tertentu, dalam demokrasi. Kebebasan berpendapat dapat membuka diskursus yang lebih luas untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan otoritas, tetapi kebebasan berpendapat berkemungkinan untuk membunuh toleransi yang juga merupakan tiang penting demokrasi.

Saya rasa tidak perlu lagi membicarakan apakah tindakan terorisme dapat dijustifikasi atau tidak. Tetapi apakah para kartunis Charlie Hebdo pantas jika dielu-elukan sebagai martir kebebasan berpendapat? Ini adalah pertanyaan besar yang hanya bisa dijawab oleh jawaban dari pertanyaan lain lagi: lebih penting memperjuangkan A atau B, dalam masyarakat yang kini serba relatif? (Ajeng)

LEAVE A REPLY