Sebuah tarian mencerminkan budaya dan nilai-nilai yang dikandung oleh masyarakat tempat tarian itu dilahirkan. Setidaknya, inilah yang dapat disimpulkan dari Pentas Ambal Warsa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Jawa Gaya Yogyakarta Universitas Gajah Mada (Swagayugama) yang ke-49. Perhelatan yang digelar pada Sabtu, (06-05) di Balairung Gedung Pusat UGM ini mengambil tema “Sejatining Warna” yang melambangkan arti warna yang sejati dan murni yang dimiliki kesenian Jawa gaya Yogyakarta. Pentas kali ini menampilkan lima tarian dengan ragam yang berbeda-beda untuk menguatkan tema ini.
Tari Sari Kusuma adalah tari yang pertama ditampilkan Swagayugama dalam pentas kali ini. Tari Sari Kusuma merupakan dasar dalam ragam tari putri khas Yogyakarta Mataraman. Tujuh orang penari perempuan yang menarikannya bergerak dengan pelan dan lembut dari awal hingga akhir tarian. Tari ini memang menggambarkan proses seorang gadis yang sedang berlatih menari, dari pemula hingga kemampuannya berkembang menjadi kian baik. Dengan balutan pakaian bernuansa hitam dan emas, para penari berlenggok sesuai dengan alunan gamelan. Sempat beberapa kali mereka membagi diri menjadi dua barisan yang berhadapan, sempat pula mereka menari dalam formasi lingkaran. Tari Sari Kusuma memperlihatkan gerak gerik kaki dan tangan yang sangat teratur dan hati-hati, tak ada ketergesaan. Mungkin belajar menari memang seperti itu; pelan di awal karena belum mengerti banyak, tetap pelan di akhir karena berhati-hati dan waspada. Tarian ini pun diawali dan diakhiri oleh gerakan yang sama persis.
Area pertunjukan yang diterangi lampu putih dari pilar-pilar di Balairung kini menjadi cerah. Ini disebabkan oleh kehadiran para penari Retna Asri yang berkebaya merah jambu. Dengan iringan gamelan, mereka masuk ke area pertunjukan dengan posisi diagonal. Posisi ini juga cukup mendominasi blocking dari tarian ini. Perlahan-lahan, sembilan penari perempuan ini memainkan selendang kuning dengan motif batik di ujungnya. Pandangan mata mereka seolah selalu diarahkan ke jari-jari tangan yang dengan lentik berputar di depan tubuh mereka. Tari berdurasi sekitar tujuh menit ini menggambarkan putri yang beranjak dewasa. Setiap gerakannya yang hati-hati pun melambangkan gadis remaja yang mulai menatap jauh ke depan, mencari jati diri dengan penuh percaya diri.
Kedua tari ini sama-sama mengisahkan kehidupan seorang remaja perempuan di kalangan istana. Tari ini pun sekaligus menjadi rujukan bagaimana seorang gadis dalam Istana Yogyakarta bertindak; lemah lembut dan berhati-hati. Mengenai keterkaitan antara budaya para priyayi dengan tari Jawa, R.M. Soedarsono dalam Looking Out: Perspective on Dance and Criticism in Multicultural World (1995) menyatakan bahwa para priyayi Jawa percaya dengan mempelajari tari Jawa, kita juga bisa mempelajari etiket dan moral Jawa serta kisah-kisah dari para leluhur. Dengan cara ini, tari Jawa menjadi bagian dari pendidikan Jawa untuk anak-anak, terkhusus dalam kalangan aristokrat.
Tak heran, setelah sekian lama tari ini diciptakan dan seringkali dipentaskan, ia tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan seorang asal Jawa, khususnya Yogyakarta. Ketika para penari dalam Tari Retna Asri melihat ke bawah di sebagian besar gerakannya, gestur itu kemudian melambangkan unggah-ungguh seorang perempuan Jawa. Perempuan Jawa memang selalu diidentikkan dengan seorang ciptaan yang lemah lembut, sopan, dan juga anggun. Tari ini kemudian menjustifikasi identifikasi tersebut. Ketika tari ini disebarkan dengan cara dipentaskan di berbagai kesempatan, ide-ide tentang seperti apa perempuan Jawa itu dapat menyatu, dekat dengan masyarakat. Secara tidak langsung, masyarakat kemudian dididik lewat tarian ini.
Tari Kamajaya Kamaratih kemudian menjadi tari ketiga dalam pementasan ini. Tari ini mengisahkan romansa dari Negeri Kahyangan Cakra Kembang, antara sepasang dewa-dewi bernama Kamajaya dan Kamaratih. Kamajaya menuntun Kamaratih dari belakang ketika masuk ke dalam area pementasan. Tari yang berlangsung selama kurang lebih lima menit ini memperlihatkan bagaimana Kamajaya, sang suami, mengayomi Kamaratih sebagai istrinya. Bersama-sama, seperti pasangan yang tengah kasmaran, mereka saling bertatapan dan berangkulan. Dalam tari ini, Kamajaya dikisahkan sebagai seorang dewa yang berparas elok, berbudi luhur, berhati lembut, jujur, dan penuh kasih kepada istrinya. Sedangkan, Kamaratih berwajah ayu, dengan kemuliaan khas seorang perempuan.
Tari ini memperlihatkan adanya perbedaan laku gender antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, khususnya Jawa. Berbeda dengan perempuan, laki-laki diidentikkan dengan sifat yang kuat, berani, mengayomi, dan melindungi. Tari ini melambangkan apa yang ada di masyarakat, dan secara tidak langsung melanggengkan ide-ide tersebut. Sebab, kembali lagi, tari merupakan salah satu media pendidikan untuk belajar etika dan tata krama. Jika perbuatan seseorang melenceng dari laku-laku gender ini, maka ia dapat dicap “berbeda” dan tidak mematuhi tata krama yang sudah diwariskan sejak turun temurun.

Hal yang menarik tampak pada penampilan keempat dalam Pentas Ambal Warsa 49 Swagayugama. Ialah Tari Srimpi Muncar, yang memperlihatkan pertarungan antara dua dewi dari dua negara (kerajaan) yang berbeda, yang ceritanya diambil dari Serat Menak. Dewi-dewi ini bernama Dewi Retna Adaninggar dari Negeri Tartaripura (Cina) yang berpakaian merah jambu, serta Dewi Kelaswara dari Negeri Kela (Persia) yang menggunakan pakaian bernuansa hitam. Dengan alunan gamelan disertai hentakan drum dan tiupan terompet yang cukup menghentak, dua negeri yang diwakili oleh dua pasang dewi ini pun bertarung. Setelah duduk bersila dan menampilkan blocking yang memperlihatkan gerakan saling berkejaran satu sama lainnya, mereka beradu keris. Pertarungan ini pun dimenangkan oleh Dewi Kelaswara.
Ternyata, dua dewi ini bertarung sedemikian rupa selama kurang lebih dua puluh menit untuk satu tujuan: memperebutkan Tiyang Agung Menak Amir Hamzah. Mereka memperebutkan seorang dewa! Hal ini menjadi menarik karena pada tari sebelumnya peran perempuan seolah tunduk pada laki-laki, kini mereka dengan berani bertarung untuk mendapatkan seorang laki-laki. Mereka seolah-olah mematahkan anggapan yang selalu menempatkan perempuan untuk “dikejar” dan “dihampiri” oleh para lelaki. Meskipun begitu, tari ini juga menandakan bahwa peran perempuan tidak dapat sepenuhnya lepas dari keberadaan laki-laki. Satu hal lain yang membuat Tari Srimpi Muncar semakin menarik adalah gerak-gerik dalam pertarungan mereka yang tetap sesuai dengan unggah-ungguh perempuan Jawa. Walaupun pertarungan identik dengan arena milik laki-laki, mereka tidak mencoba untuk bersikap lebih maskulin. Empat penari ini bertarung secara halus, pelan tetapi pasti.
Pentas Ambal Warsa 49 Swagayugama pun diakhiri dengan penampilan tari Lawung Lurah, sebuah karya dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tarian ini menggambarkan para prajurit istana yang sedang berlatih perang dengan menggunakan senjata berupa tombak tumpul (lawung). Para penonton yang hadir pun terlihat lebih antusias dengan tarian ini. Pasalnya, selain perpaduan musik gaya Eropa dan Jawa yang menghentak, tari ini menampilkan penari laki-laki yang terlihat gagah dan tegas. Sangat berbeda dengan empat tari sebelumnya yang bertempo pelan dan cenderung membosankan bagi penonton yang tidak terbiasa menyaksikan tari Jawa.

Tarian Jawa gaya Yogyakarta memang sedari awal telah membedakan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Walaupun kini seruan emansipasi dan kesetaraan gender semakin banyak dan meluas, keberadaan tari-tarian ini serta nilai-nilai yang dibawanya tidak bisa begitu saja disalahkan. Pasalnya, tari-tarian ini mencerminkan kehidupan di masa ia dilahirkan; ia merupakan produk sejarah. Apa kita bisa mengubah sejarah dengan mudah agar menjadi relevan dengan keadaan masa kini? Sepertinya tidak.
Pada akhirnya, Pentas Ambal Warsa Swagayugama ke-49 dapat mengejawantahkan tema “Sejatining Warna” dengan menampilkan tarian yang memang memiliki warna yang sejati untuk dirinya sendiri. Kelima tarian ini dapat menggambarkan keadaan sosial dan budaya saat ia diciptakan, dengan cara yang berbeda-beda. Menikmati tari-tarian ini seolah membawa efek nostalgia, sekaligus perenungan bahwa sekat-sekat gender masih kuat melekat di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jawa. (Oktaria Asmarani)