Tanggung Jawab Epistemik Kaum Intelektual, LSF Cogito Turun ke Jalan

0
700
(bpmfpijar/Raehan Mahardika)

Lingkar Studi Filsafat (LSF) Cogito dikenal sebagai ruang diskursus akademik kefilsafatan. Mereka biasa terlihat memegang kertas bertintakan kutipan-kutipan filsuf dan duduk melingkar di sekitaran Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, kali ini, mereka terlihat di Jalan Malioboro bersama massa aksi dari Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pada Kamis (15/9).

(instagram.com/lsfcogito)
(instagram.com/lsfcogito)

Albertus Arioseto, Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022/2023, mengatakan bahwa kaum intelektual perlu hadir guna menyokong justifikasi kebenaran atas gerakan politik praktikal (aksi massa) yang merespons ketidakberesan dalam struktur internal negara. Kali ini, ketidakberesan tersebut, menurut Amel, Tim Kajian ARB, adalah tidak adanya ruang partisipasi publik dalam kebijakan yang akhirnya mencekik rakyat. 

Selaras dengan Albertus, Hendri Agung Pratama, Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2020/2021, mengungkapkan bahwa kaum intelektual perlu turun ke jalan sebagai bentuk tanggung jawab epistemik mereka. Ia pun mengungkapkan bahwa keterlibatan kaum intelektual dalam gerakan politik bukan hal yang asing. Sebagai contoh, intelektual tahun 60-an dan 70-an, seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Noam Chomsky pun turun ke jalan untuk merespons pemerintahan yang opresif

“Kaum intelektual seharusnya tidak duduk di menara gading, mereka perlu turun ke jalan,” ungkap Hendri. 

Sepakat dengan Hendri, Medaneo Wahyu, Pemimpin Event Organizer LSF Cogito 2022/2023, menyatakan bahwa alasannya turun ke jalan adalah sebagai bentuk tanggung jawab epistemiknya. Menurutnya, ketika seseorang tahu terjadi sebuah ketidakadilan dan tahu bahwa ketidakadilan harus dilawan, seseorang harus bertanggung jawab terhadap pengetahuan tersebut.

Peran Kaum Intelektual

Kehadiran kaum intelektual, menurut Medaneo, menyimbolkan bahwa sebuah perlawanan tidak kosong. “Dalam sebuah gerakan rakyat,’’ jelasnya, “mereka mengisi basis ideologi dan substansi.”

Dengan intelektualisme tersebut, gerakan rakyat, menurut Hendri, menjadi lebih jelas dan rapi. Hal ini, menurutnya, tidak ada dalam praktik politik elektoral Indonesia. “Kontestasi elektoral partai-partai politik arus utama di Indonesia tidak didasarkan pada ideologi dan intelektualitas. Akibatnya, politik kenegaraan kita itu transaksional dan tidak substantif,” jelasnya. 

Rangga Kala Mahaswa, Dosen Fakultas Filsafat UGM dan Pemimpin Umum LSF Cogito 2016/2017, juga mengungkapkan bahwa gerakan rakyat hari ini mengalami kemunduran secara kualitas. Pasalnya, tidak dilandasi oleh basis ideologi dan teoritis yang jelas. 

Hal inilah yang menurut Rangga menjadi tanggung jawab kaum intelektual hari ini, yakni mengisi kekosongan basis ideologi dan teoretis tersebut. “Entah bagaimana caranya. Bisa dengan turun ke jalan, menulis kajian, ataupun mengadakan diskusi,” ungkapnya. 

Secara pragmatis, menurut Medaneo, kaum intelektual dibekali oleh pengetahuan tentang kebenaran dan keadilan. Oleh sebab itu, menurutnya, pengetahuan tersebut diberikan kepada masyarakat tempat dia tinggal. 

“Adalah bodoh ketika seseorang menyadari bahwa dirinya bagian dari kelompok tertindas, tetapi tidak melawan,” pungkas Medaneo.

Penulis                        : Michelle Gabriela Momole

Penyunting                 : Pramodana

LEAVE A REPLY