Berembus kabar, lahan Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah diklaim gersang. Lantaran itu pula diduga menjadi dalih pemerintah untuk menambang kuari batu andesit di sana untuk digunakan membangun Bendungan Bener yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Wadas.
“Iya, dulu (2015) lurah yang lama mengklaim tanah Wadas itu gersang kepada pemerintah, sehingga layak untuk dikeruk mineralnya,” ucap Ngatinah (56 tahun) kesal, (17/11).
Sementara mayoritas warga Wadas hidup dari bertani dan berkebun. Sumber kehidupan sehari-hari warga Wadas berasal dari tanaman yang ditanam. Bahkan petani-petani Wadas pun terus beregenerasi hingga yang muda-muda.
Seperti generasi muda petani Wadas, Siswanto (30 tahun) juga tegas membantah pihak yang mengatakan bahwa tanah Wadas itu gersang sehingga layak ditambang. Menurutnya, pemerintah hanya menggunakan data yang tidak terbukti di lapangan.
“Kalau berani mereka klaim seperti itu, coba saja hasil bumi Wadas sendiri. Banyak kok, kopi, durian, kemukus, sampai tanaman yang gak kami tanam pun enak kalau dimakan,” kata Siswanto yang sempat merantau dan akhirnya pulang ke desa untuk bertani.
Bertanam turun-temurun
Menelusuri sepanjang jalan Padukuhan Karang hingga Randu Parang, tersebar kemukus kering yang menjadi salah satu komoditas andalan Desa Wadas. Kemukus (Piper cubeba L.) diyakini memiliki banyak kegunaan, antara lain untuk obat alternatif asma atau menjadi penguat rasa rempah pada hidangan.
“Bisa dijadikan jamu untuk pengobatan tradisional. Bumbu masakan yo bisa,” ucap Marsono (62 tahun) saat ditemui PIJAR, 16 November 2021.
Sebagai komoditas andalan, penghasilan dari memanen kemukus Wadas cukup tinggi. Harga kemukus basah berkisar Rp50.000 – Rp 65.000 per kilogram dan harga kemukus kering bisa mencapai Rp250.000 per kilogram. Bahkan harga kemukus dari Wadas sendiri lebih tinggi dari desa lain di Purworejo.
“Harganya bisa berbeda jauh. Beda Rp10.000 – Rp15.000 per kilonya, karena kemukus di sini itu kalau dijemur gak terlalu menyusut,” kata Marsono.
Selain kemukus, hasil bumi lain yang menjadi andalan adalah durian, kopi, rempah, empon (rimpang), dan kekayuan juga menjadi komoditas yang tumbuh bugar di tanah perbukitan itu.
“Di Wadas itu tanahnya subur, apa aja ditanam kok ya tumbuh bagus. Bahkan yang gak ditanam aja tumbuh kayak pohon aren,” lanjut Marsono.
Mbah Marsono tampak sigap memanggul rumput liar dan kayu bakar yang dikumpulkan di hutan dekat rumahnya di Dusun Randu Parang, Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
Meski sudah tua, Marsono masih rutin pergi ke ladang pagi hari untuk menyadap nira dan getah karet. Pulang memanggul rumput liar untuk pakan kambing-kambingnya dan seikat kayu bakar yang dikumpulkan di hutan dekat rumahnya. Apabila belum lelah, dia menyempatkan untuk memanen tanaman yang sedang berbuah, seperti vanili dan temulawak.
Selama ini, setengah kebutuhan pangan Marsono dipenuhi melalui hasil kebun. Ada nangka muda, daun ketela, dan batang talas yang dapat diolah menjadi hidangan sayur yang lezat. Berasnya didapatkan dari petak sawahnya di Padukuhan Krajan untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Untuk lauk, dia membeli dari tetangganya yang melakukan budidaya ikan atau membeli protein nabati seperti tahu dan tempe pada penjual sayur keliling.
Dia pun asyik bercerita mengenai awal mula warga Wadas bercocok tanam. Sudah sejak generasi pertama mereka melakukan pembabatan alas Wadas, menanam kemukus, durian, jati, dan rempah untuk sumber penghidupan mereka. Masa itu, warga mengosongkan lahan dengan cara membakar. Tiap warga mematok tanah mereka dengan batasan seberapa luas area yang mereka bakar untuk lahan bercocok tanam.
Mbah Gomitho dan Mbah Selo adalah generasi pertama yang membabat alas, mulai menanam durian dan kekayuan lainnya. Sekarang pepohonan durian yang ditanam masa itu lebat-lebat dan berbuah banyak.
“Satu pohon durian bisa Rp1,5 juta – Rp2 juta tergantung besar pohonnya,” papar Mbah Marsono yang masih memiliki ingatan yang tajam bagaimana leluhurnya membudidayakan tanah Wadas.
Kepemilikan tanah yang sudah ditanami sejak generasi Mbah Gomitho dan Mbah Selo tersebut secara turun-temurun dibagi-bagi pada keturunannya.
“Kalau menggunakan tradisi Jawa itu memakai perbandingan satu banding dua, kalau keturunan perempuan satu bidang, yang laki-laki dapat dua bidang dari total luasan lahan orang tuanya,” imbuh petani muda, Wahib.
Sejak generasi pertama, penduduk Wadas yang hampir seluruhnya petani itu menjalankan sistem pertanian tumpang sari alias tidak hanya satu jenis tumbuhan saja yang ditanam. Selain memberi suasana teduh, pohon-pohon besar seperti jati atau mahoni juga memberi ruang bagi tanaman lainnya seperti kopi untuk tumbuh di bawahnya. Di sela-selanya ditanam kemukus yang merambat pada batang pohon.
“Sejak dulu ya kami sudah sejahtera di tanah milik kami, kami sendiri yang mengelola. Hasilnya juga sudah lebih dari cukup, gak perlu kemudian pemerintah memberi iming-iming ganti rugi yang bisa memberikan pekerjaan pengganti kami sebagai petani,” kata Siswanto, (17/11).
Lahan subur sejak dulu
Di sisi lain padukuhan Randu Parang, tepatnya di alas Balong dekat Sungai Juweh, Ngatinah dan suaminya, Sulaiman (68 tahun) tengah berladang. Mereka berdua terlihat bahagia merawat lahan yang menjadi sumber pendapatan harian, bulanan, tahunan, bahkan jangka panjang. Mereka punya 16 bidang tanah yang dipenuhi tanaman, meliputi tanah peninggalan orang tua, tanah perseorangan, dan tanah yang mereka beli usai menikah.
“Ini kami beli tanahnya sesudah menikah. Tetapi saya dan istri masing-masing punya tanah yang turun-temurun dari orang tua,” kata Sulaiman.
Lebih lanjut, menurut Sulaiman di Wadas terdapat prinsip harta gono-gini, dimana sepasang suami istri akan menyisihkan tabungannya untuk membeli tanah baru untuk menambah harta dan penghasilan.
“Ya kami gak bisa mengandalkan peninggalan orang tua saja to,” imbuh Sulaiman.
Menyusuri lahan yang mereka garap, Ngatinah dengan semangat menceritakan apa saja yang mereka tanam di alas Balong tersebut. Di bawah rindangnya pohon jati A2 (diameter 20-29 centimeter) tumbuh tanaman umbi coplok (Amorphophallus muelleri) yang per kilogramnya bernilai Rp10.000. Setahun sekali dia memanen umbi coplok sekitar 500 kilogram – 1.000 kilogram coplok.
Selain coplok, penghasilan tahunan Ngatinah juga bergantung pada durian. Durian Wadas yang terkenal legit, manis, dan berdaging banyak itu ditanam Ngatinah di lahan peninggalan orang tuanya yang tercatat menjadi salah satu bidang yang terkena penambangan kuari. Padahal penghasilan Ngatinah dari komoditas durian dapat mencapai Rp15 juta per tahun.
“Itu baru tanaman tahunan, kalau yang bulanan itu macam pisang, kelapa, dan temulawak,” ucap Ngatinah sembari membersihkan rerumputan liar menggunakan arit.
Dia memanen pisang 15 hari sekali dan bisa menghasilkan Rp250.000 tiap panen. Hasil panen berupa kelapa bisa mencapai 250 biji kelapa seharga Rp5.000 per bijinya. Apabila dijual melalui pengepul dihargai Rp7.500 per biji.
Keseharian Ngatinah selain meladang juga membuat beki (nampan) dari bambu. Dia dapat menganyam beki sejumlah 30 dalam sehari yang dihargai Rp3.700 per beki.
“Ya di tanah saya ini setiap waktu pasti menghasilkan lah. Kalau jadi ditambang habis semua ini. Kami mau tinggal di mana? Kerja apa? Anak-cucu nanti bagaimana?” keluhnya.
Bu Ngatinah masih berharap supaya di masa mendatang, lahan yang beliau garap sekarang kemudian diteruskan oleh kedua anaknya yang sedang merantau. Dia meyakini, anak-anak muda yang sekarang merantau hanya melakukan persinggahan. Kelak mereka sepenuh hati mengurus tanah di desa pada masa tuanya.
“Kalau mereka di kota terus nanti kan gak punya tabungan. Kalau mengurus lahan di desa, mereka bekerja untuk diri mereka sendiri. Wong di sini menanam apa aja pasti menghasilkan,” ucap Bu Ngatinah.
Geliat kopi Wadas
Di lahan berluas empat hektar milik orang tuanya, Siswanto memfokuskan budidaya yang berbeda dibanding orang tuanya. Jika orang tua dulu cenderung memakai sistem konvensional dengan menanam dan menjual hasilnya melalui tengkulak tanpa diolah, maka Siswanto memilih menanam tanaman komoditas yang dapat diolah lagi supaya bisa dipasarkan langsung kepada konsumen.
“Selain mengolah lahan, saya juga sedang merintis bisnis berupa Kopi Wadas dan minuman herbal dari temulawak,” ungkapnya.
Dengan memilih komoditas yang dapat diolah lagi, para petani bisa mengisi kekosongan saat tanaman musiman sedang tidak berbuah, seperti durian. Apalagi saat harga komoditas yang dipanen tidak stabil.
“Saya melihat celah di situ, bagaimana sebuah komoditas masih bisa bernilai dengan cara diolah dahulu baru dipasarkan,” kata Siswanto.
Keseriusannya mengolah dan mengelola kopi dilakoni Siswanto sepulang dari merantau. Dia memperhatikan konsumsi kopi keseharian penduduk Wadas dan sekitarnya yang ternyata cukup tinggi. Dalam sehari, tiap orang butuh 15-20 gram atau dua kali menyeduh kopi. Hasilnya dikali 200 orang konsumen kopi di Wadas. Belum lagi warga konsumen kopi di seluruh Kecamatan Bener.
Dalam jangka satu tahun, hasil kopi di lahan seluas empat hektar tersebut sejumlah lima ton biji kopi per tahunnya.
“Saya baru mulai kopi Wadas per 30 Desember 2020 lalu. Untuk bubuk yang siap seduh, kami sudah menghasilkan lima kuintal per Mei 2021,” ujar Siswanto.
Selain karena alasan ekonomi, Siswanto memulai bisnis Kopi Wadas karena ia berupaya untuk mengenalkan hasil bumi Wadas ke khalayak umum. “Saya ingin membantah klaim-klaim yang tidak bertanggung jawab mengenai tanah Wadas yang gersang dan gak layak sebagai lahan pertanian melalui kopi Wadas ini,” ungkapnya dengan tegas.
Dengan adanya rencana penambangan kuari andesit di perbukitan Wadas, Siswanto cemas akan keberlangsungan ruang hidup warga Wadas. Juga nasib generasi setelahnya hingga generasi tua sebelumnya yang terancam kehilangan ruang hidup akibat dampak langsung maupun tidak langsung yang ditimbulkan rencana tambang.
Survei tak mendalam
Bagi petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Balai Penyuluhan Pertanian Desa Wadas, Hapsari Woro, rencana pertambangan tidak berdampak signifikan terhadap kegiatan pertanian warga. Alasannya, perbukitan di Wadas lebih banyak ditanami tanaman keras dan berpohon besar, seperti durian, jati, mahoni.
“Selama ini bukit yang bakal ditambang itu tanaman pokoknya bukan pertanian. Bukan lumbung pertanian,” kata Hapsari, (24/11).
Meskipun tanaman keras di perbukitan itu tumbuh subur dan sudah berulang kali dipanen warga, tapi Hapsari mengklaim perbukitan itu bukanlah lahan produktif dan subur. Mengingat tanaman di perbukitan itu bersifat musiman. Dipanen ketika masa panen buahnya tiba.
“Produktif dan subur itu, bagi kami apabila lahannya aktif ditanami dan ada hasilnya. Dan lahannya dipelihara intensif setiap minggu secara rutin,” imbuh Hapsari meskipun dia mengakui tanaman seperti kopi, empon-empon, dan durian merupakan komoditas potensial.
Kepala Divisi Advokasi Kawasan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta, Himawan Kurniadi membantah klaim itu mengingat fakta di lapangan menunjukkan tujuh padukuhan yang menjadi area rencana tambang, yaitu Kali Ancar 1, Kali Ancar 2, Kali Gendol, Karang, Winong, Krajan, dan Randu Parang, merupakan lahan produktif yang selama ini menghasilkan komoditas dengan nilai jual tinggi.
“Kalau mereka bilang gak subur, itu kan salah. Survei pemerintah tidak mendalam,” tegas Adi, sapaan akrabnya, (25/11).
Beragamnya tanaman yang ditanam dan dihasilkan di Wadas justru menunjukkan warga memiliki kemampuan untuk mengatur hasil pertanian mereka. Warga mengetahui cara memetakan komoditas jangka pendek, jangka menengah, bahkan jangka panjang untuk investasi.
Namun penetapan Izin Penetapan Lokasi (IPL) pada 5 Juni 2021 lalu mengancam keberlangsungan sumber penghidupan warga. Mengingat budidaya tanaman di Wadas bersifat multikultur.
“Kalau bukit-bukit itu ditambang, semua komoditas akan terdampak langsung maupun tak langsung,” jelas Adi.
Di sisi lain, Pemerintah Purworejo juga telah menetapkan Kecamatan Bener sebagai wilayah rawan bencana melalui Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Purworejo 2011-2030. Menurut Adi dengan adanya rencana tambang akan menambah kerentanan bencana. Terlebih 1988 silam Desa Wadas pernah mengalami bencana longsor besar yang terjadi hanya dalam kurun waktu semalam. Namun warga Wadas sudah mempunyai mitigasi sendiri menangani kerawanan lahan miring di sana dengan menanam tanaman keras.
“Jadi membuat semacam jalur air di perbukitan dan menanam tanaman-tanaman di lahan miring supaya airnya gak merembes,” kata Adi.
Jauh dari Randu Parang, sekumpulan pemuda berumur 20 tahunan sedang berjaga di pos 2 di Padukuhan Kali Ancar. Mereka terlihat siaga menjaga perbatasan antara Kali Ancar 1 dan 2 yang merupakan salah satu dari empat titik masuk Desa Wadas. Meski sebagian pernah merantau, mereka punya pernyataan senada, bahwa kehidupan di desa sendiri lebih menyejahterakan daripada di perantauan. Apalagi mereka mulai sadar, tanah Wadas memiliki potensi ekonomi yang tinggi.
“Tiap 10 meter tanah terdapat beragam jenis tanaman yang bisa dijual langsung maupun perlu diolah lagi. Bagi saya sudah jelas ya potensinya, gak usah ditanya lagi,” ujar Sifak (25 tahun).
Lantaran itu pula, dia tak rela penambangan kuari dilakukan di desanya karena akan mengganggu kehidupan sosial dan menghilangkan warisan leluhurnya. Di sana berdirilah rumahnya, juga penuh kenangan masa kecilnya. Dia tegas menolak sebesar apapun jumlah nominal ganti-rugi yang akan diberikan pihak pemrakarsa Bendungan Bener, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (BBW-SSO).
“Ibu (tanah kelahiran) kami kok mau dihargain sama uang, nggak mau lah,” tegas Sifak. ***
Reporter: Farid Al-Qadr
Penulis: Farid Al-Qadr
Editor: Haris Setiawan
Tulisan ini merupakan hasil workshop dan fellowship “Building Citizen Awarness on the Growing Agrarian Conflict in Yogyakarta and Its Adjacent Region” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dari 8 November sampai 19 Desember 2021.