“Manunggaling Cipta, Gumregahing Jiwa”. Tajuk yang bermakna “bersatunya pikiran membuat jiwa bergetar” tersebut seolah menjanjikan pertunjukan yang menggugah indera.
Malam itu, Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak dipenuhi teriakan penuh semangat dari mereka yang berlari untuk memperebutkan sebuah bola atau kegiatan yang beratmosfer kompetitif lainnya. Tempat tersebut berhasil disulap menjadi sebuah ruang pertunjukan. Terpasang rapi di tengah gelanggang, sebuah panggung dengan dekorasi ala perkampungan Jawa, tata lampu dan gelaran tikar untuk para penonton duduk menyaksikan sebuah rangkaian seni pertunjukan.
Dalam rangka menunjukkan kecintaan mendalam terhadap kesenian Jawa bergaya Surakarta, Gladhi Madya Unit Kegiatan Jawa Gaya Surakarta (UKJGS) kali ini diselenggarakan pada Sabtu, 13 Mei 2017 di Gelanggang Mahasiswa UGM. Gladhi Madya UKJGS merupakan acara tahunan yang secara khusus diselenggarakan untuk mempertunjukkan tiga macam fokus kesenian. Melalui proses latihan yang intens selama enam bulan lamanya, para anggota berlatih untuk bisa menampilkan seni karawitan, seni tari dan pendalangan khas Surakarta.
Selepas maghrib, tim karawitan dengan dua orang sinden sudah terlebih dahulu duduk di atas panggung, memainkan beberapa lagu untuk menyambut penonton yang mulai berdatangan. Terhitung empat lagu dimainkan hingga ruangan dipenuhi oleh mereka yang memang sengaja datang untuk menikmati pertunjukan.
Dua orang penari berpakaian putih kemudian masuk dengan membawa empat tangkai dupa. Wanginya seketika memenuhi ruangan. Kedatangan mereka pun mencuri perhatian penonton. Hal tersebut berlanjut ketika seluruh penampil yang lain ikut masuk memenuhi ruangan. Para penari menunjukkan sedikit banyak lenggok tubuhnya sebelum berbaris di belakang, diikuti dengan semua tim karawitan yang berjajar di depan hingga akhirnya mars UKJGS dinyanyikan.
Kemudian Gladhi Madya secara resmi dibuka oleh pembawa acara dan rangkain acara pertunjukan dimulai. Diawali dengan penampilan pertama oleh Tim Karawitan 4 yang memainkan Manyar Sewu atau tembang burung 1000. Dilanjutkan dengan tembang Lancetan Sebet dari tim yang berbeda, Tim Karawitan 3. Kemudian pembawa acara kembali dan mempersilakan tokoh-tokoh penting dari UKJGS untuk memberikan sambutannya masing-masing. Fajar Timur Jaelani, mahasiswa Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik ’14 yang berlaku sebagai Ketua UKJGS memberikan sambutan pertama. Fajar menekankan bahwa Gladhi Madya merupakan sebuah prestasi yang memiliki proses begitu panjang, hasil dari kerja keras maksimal seluruh anggota Unit Kegiatan Jawa Gaya Surakarta. “Selamat menikmati hasil perjuangan setengah tahun teman-teman ini,” ujarnya.
Pesta rakyat yang mencerminkan semangat warga desa untuk bersatu merupakan tema besar dari acara Gladhi Madya UKJGS tahun ini. Mengacu pada tema tersebut, tarian serta karawitan yang dipertunjukkan memiliki nuansa yang jauh dari kesan ekslusif. Ketimbang tari-tari yang biasa disajikan untuk para raja dan ratu kekratonan, kelima tarian yang dipertunjukkan yaitu Gambyong, Golek Manis, Dombanini, Eka Prawira dan Ciblon memiliki tema yang lebih “merakyat”. Nilai-nilai keseharian dibawakan dalam setiap lekuk dari para penari.
Seperti misalnya tari Golek Manis yang menjadi pembuka dari rangkaian pertunjukan tari Gladhi Madya. Kata ‘golek’ berarti mencari, sehingga dari awal dimulai hingga selesainya tarian, tari Golek Manis menceritakan tentang proses pencarian jati diri seorang gadis. Gerakan yang ditampilkan cenderung lincah dan centil, dengan pembawaan yang sangat feminim. Dalam tarian ini, detil-detil pada bagian tubuh yang paling sederhana seperti gerak-gerik jemari dan bola mata penari juga memiliki kontribusi tersendiri dalam penyampaian cerita dari tari Golek Manis.
Selesai penampilan tari Golek Manis, lima orang penari berbeda naik ke atas panggung dan menampilkan tari Ciblon, tarian khas dari UKJGS. Tarian tersebut merupakan karya orisinal dari para anggota UKJGS yang tentunya menjadi sebuah sumbangan terhadap dunia kesenian Jawa-Surakarta. Tari Ciblon bercerita tentang anak-anak yang sedang bermain air di sungai. Ciblon merupakan sebuah suara yang muncul dari tangan yang menepuk-nepuk air. Tarian ini bercerita tentang riangnya anak-anak setelah bermain di sawah dan pergi ke sungai untuk membersihkan diri. Gerakannya sederhana namun sangat lincah, menampilkan langkah-langkah gesit dari para penari selayaknya anak-anak pada umumnya.
Dalam tari Ciblon terdapat sebuah adegan yang menjadi khas sekaligus pembeda dari keempat tari lainnya yang masih terhitung lebih tradisional dari segi waktu diciptakannya. Seluruh penampil yang berjumlah lima orang secara bersama-sama menari dalam balutan kain biru besar setelah sebelumnya mereka memainkan peran masing-masing dalam rangkaian tari tersebut, selayaknya mereka benar-benar bermain di sungai. Adegan tersebut memberikan kesan megah yang berhasil memukau para penonton.
Dari lima tarian yang dipersembahkan, adalah tari Eka Prawira yang dibawakan oleh empat orang laki-laki sebagai abdi keraton yang menyajikan nuansa yang benar-benar berbeda. Tari ini menampilkan kegagahan dan kesigapan melalui gerakan yang sigap dan tegas. Tameng dan pedang menjadi atribut yang memberi peran penting dalam penggambaran nilai-nilai kekesatriaan dalam tarian ini.
Selain pertunjukan tari dan karawitan, lakon wayang kulit dari salah satu anggota tim pendalangan menjadi penyeling yang juga sekaligus pelengkap dari rangkaian acara. Kisah yang dibawakan masih berada dalam payung tema yang sama. Dengan menggunakan bahasa Jawa sehari-hari, pertunjukkan wayang berhasil mengundang tawa bagi mereka yang tentunya mengerti bahasa Jawa.
Berbagai macam cerita dan suasana dari masing-masing tari yang sudah ditampilkan sebelumnya kembali dimunculkan dalam penampilan sendratari di penghujung acara. Sendratari ini melibatkan hampir seluruh penampil yang telah muncul di segmen-segmen sebelumnya. Dengan membawakan alur cerita yang progresif, penampilan ini seolah-olah mengajak penonton untuk kembali mengingat tema yang dibawakan dalam rangkaian pertunjukkan Gladhi Madya. Hal tersebut disampaikan oleh Danu Afriansyah, salah seorang penampil dari sendratari yang juga ikut tampil dalam tari Dombanini. Menurutnya, sendratari yang ditampilkan bercerita tentang tersadarnya orang-orang dari doktrin-doktrin miring kesenian lokal, yang sering dianggap sebagai sebuah hiburan belaka yang ketinggalan zaman dan bahkan dipandang sebagai suatu hal yang haram. “Akan tetapi melalui cerita tersebut kemudian mereka menjadi sadar bahwa kesenian lokal juga dapat dijadikan sebuah tuntunan,” ujar Danu.
Secara keseluruhan, Gladhi Madya UKJGS 2017 merupakan sebuah kesuksesan tersendiri. Para penonton terlihat menikmati setiap penampilan yang berhasil menghibur mereka hingga tengah malam. Lenggak-lenggok para penari, denting yang tercipta dari berbagai macam pukulan, serta bayangan yang muncul melalui kehendak dalang yang disajikan di atas panggung menciptakan sebuah kesatuan yang syahdu.
Kesyahduan acara berhasil menggerakkan rasa senang dan puas bagi penontonnya. Remangnya lampu gelanggang semakin mengakrabkan mereka yang duduk bersila di atas tikar selama empat jam berlangsungnya pertunjukkan, sambil sesekali menyicipi kudapan gratis suguhan panitia. Kesuksesan acara ini menjadikan pesan “Manunggaling Cipta, Gumregahing Jiwa” tidak sekadar kutipan bijak pelengkap pada poster acara. (Shilfina Putri/Arie)