Hendaknya kita sudahi saja semangat yang selama ini digadang-gadangkan dari slogan “membaca adalah melawan”. Lupakan mimpi indahmu untuk melawan jika tak tahu mesti ngapain selanjutnya!
Bangsa Indonesia dapat dikatakan belum bisa menunjukan identitas lewat budaya literasinya. Jangankan untuk membudayakan literasi, untuk melek literasi saja belum mampu. Masyarakat Indonesia masih cenderung mengartikan literasi sebagai buku sastra atau bacaan filsafat yang berat. Padahal, pengertian literasi sebetulnya berbeda dengan sastra.
Sastra adalah bahasa yang terdiri dari kata-kata atau pun tanda. Bisa dibahasakan melalui puisi, novel, atau bentuk catatan-catatan berupa tulisan lainnya. Sedangkan menurut Deklarasi Praha tahun 2003 yang dilaksanakan oleh UNESCO, literasi sudah berkembang lebih lanjut. Literasi tidak hanya diartikan sebagai kemampuan membaca, menulis atau melek aksara, melainkan termasuk di dalamnya kemampuan untuk mencari, memahami, mengevaluasi, dan mengelola informasi yang didapat agar dapat bertindak.
Literasi lebih besar cakupannya daripada sastra. Sastra adalah salah satu bagian literasi, namun bisa jadi literasi bukan hanya sastra. Literasi bisa didapatkan tanpa melalui sastra, namun dari pembacaan langsung terhadap situasi nyata.
Contoh paling kasar yang bisa ditawarkan adalah ketika seseorang sedang berada di jalan melihat tanda petunjuk (dalam bentuk bahasa visual). Jika seseorang langsung bisa bertindak sesuai dengan apa yang ingin dimaksudkan oleh tanda itu, maka seseorang itu sudah menerapkan “hidup yang literatif”. Tentu dalam konteks ini pasti melibatkan pengetahuan dasar tentang tanda itu serta pertimbangan situasional yang sedang atau yang akan terjadi.
Pengetahuan dasar sangat penting untuk dapat mengetahui dan memahami keadaan, apriori atau pun secara aposteriori. Pengetahuan dasar ini dapat semakin kuat atau berubah jika telah banyak berhadapan dengan kenyataan.
Petimbangan situasional akan timbul jika pengetahuan dasar sudah ada. Tak bisa seseorang mempertimbangkan suatu hal dengan benar jika tak ada pengetahuan yang mendasarinya. Pengetahuan dasar mempengaruhi proses dalam pertimbangan situasional. Pertimbangan akan matang jika dapat memperkirakan dampak yang terjadi. Di sini literasi dipandang penting karena literasi berpotensi untuk membantu memahami, melengkapi, bahkan menyadarkan keadaan individu dalam masyarakat.
Pemahaman dari definisi literasi ini menimbulkan problem dalam literasi sendiri. Literasi dituntut untuk dapat membentuk pendirian dalam bertindak bagi oknum yang terlibat dalam dunia literasi. Tuntutan ini bisa disebut sikap literasi. Namun, persoalannya adalah apakah sikap literasi akan terwujud?
Tuntutan literasi semacam ini sudah dialami sejak masa pencerahan di Prancis dahulu. Adalah François-Marie Arouet yang lebih dikenal dengan nama pena Voltaire, “juru bicara” pencerahan Prancis abad ke-18 dapat dijadikan bahan rujukan.
Penafsirannya terhadap ide-ide empirisme Inggris dan mengekspornya ke Perancis (saat ia sedang di Inggris) membuatnya berhasil menggulingkan rasionalisme Descartes yang sempat berkuasa hampir sepanjang abad 17. Tentu, Voltaire adalah aktor besar yang cerdas dalam gerakan pemberontakan pemikiran sepanjang sejarah Prancis .
Tidak seperti para filsuf atau literator kebanyakan, Voltaire menyebarkan gagasan-gagasannya tidak melalui teori-teori, tulisan apologi, apalagi analogi perumpamaan rumit, melainkan dalam gaya satiris penuh humor sehingga banyak yang menyebutnya filsuf yang doyan mengejek.
Sasaran ejekannya tidak lain adalah kekelaman abad ke-18 semasa itu, seperti dokrin negara-gereja, pertarungan pemikiran antara rasionalisme dengan empirisme, kejahatan perang, dan lain sebagainya. Tak terkecuali dalam ketiga novel besar yang ditulisnya; Zadig ou la Destinee (Zadig atau Suratan Takdir), L’Ingenu (Si Lugu), dan Candide ou l’Optimisme (Candide atau Optimisme).
Lebih khusus lagi, Voltaire secara ekplisit mengungkapkan sikap literasinya dalam ketiga novel besarnya. Dalam Zadig ia menolak sikap pasrah akan takdir yang konon diberikan Tuhan melalui tokoh Zadig yang terus berkelana, dalam L’Ingenu ia mengkritik masyarakat Prancis yang terkesan banyak omong namun tak ada usaha, sementara dalam Candide, Voltaire mengejek habis-habisan optimisme filsuf Gottfried Liebniz yang mencetuskan ide bahwa dunia ini adalah keadaan yang terbaik dari seluruh dunia yang mungkin ada melalui karikatur tokoh Dokter Pangloss.
Tidak dengan tanpa alasan mengapa Voltaire melakukan hal tersebut melalui karya-karya. Voltaire yang merupakan didikan sekolah Jesuit menjadi tahu baik-buruknya Jesuit saat itu yang mempropagandakan ajaran Katolik kepada masyarakat supaya ajaran itu “menang merebut perhatian”. Voltaire juga kesal dengan tokoh atau masyarakat yang hanya membual, omong kosong dan terkesan mengelu-elukan hal yang wajar. Ia menyebutnya “tableau dari ketololan manusia”
Jika Voltaire bisa menunjukkan sikap literasinya melalui proses pembacaan yang akhirnya mempengaruhi situasi zaman, khususnya Prancis dahulu, maka bagaimana nasib sikap literasi sekarang ? Apakah sikap literasi tersebut semakin tumbuh di zaman sekarang?
Pembaca di zaman sekarang tentu tidak ingin membuang waktu dan perhatiannya untuk suatu hal yang tidak lagi relavan bagi kehidupannya sekarang, termasuk membaca karya-karya lama. Apa untungnya membaca karya Voltaire (dari abad 18) di masa sekarang ketika sudah banyak berkembang berbagai wacana dan bentuk kebudayaan kontemporer yang lebih maju?
Pada kalangan tertentu (bahkan sebagian mahasiswa juga), masyarakat pembaca sudah terlalu malas untuk memahami konteks yang disampaikan. Persoalannya karena kegiatan pembacaan ini memerlukan cukup pengetahuan sosial budaya, pengalaman membaca dan kematangan mencerna untuk memahami.
Dengan semakin maraknya penerbit buku alternatif sekarang yang mengangkat dan menerbitkan kembali naskah karya lama, bukan tidak mungkin masyarakat akan menjadi masyarakat pembaca saja. Masyarakat hanya sekedar membaca untuk tahu, hanya untuk mendapatkan informasi saja, tanpa tahu sehabis membaca mau ngapain .
Jika hanya sekedar membaca, monyet pun bisa dibuat jago membaca. Solusinya adalah bagaimana membangun sikap masyarakat pembaca agar mampu menyikapi diri terhadap literasi yang terus “dihidangkan”.
Bagaimana karya literasi diterima, diaktualisasi atau diinteraksi oleh pembaca jika nilai yang dibawa dalam karya literasi tersebut dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman untuk menemukan identitas suatu masyarakat?
Di sini letak peran literasi yang seharusnya bisa membantu masyarakat menemukan identitasnya sebagai pembaca. Harus ada kemampuan untuk mencari, memahami, memaknai kembali, dan mengelola informasi yang didapat agar dapat memaknai diri sebagai pembaca. Selanjutnya, akan timbul sikap karena ia telah mengetahui “siapa aku?” , “mengapa aku melakukan hal ini?”
Ketika identitas itu sudah terungkap, sikap literasi akan tumbuh memberi peran aktualnya terhadap masalah-masalah keseharian. Masyarakat pembaca jadi tahu sehabis ini mesti ngapain.
Jika masyarakat pembaca masih tetap hanya membaca untuk sekedar tahu saja, kembali pertanyaan skeptis diajukan. Apa gunanya tumbuh minat membaca tanpa adanya sikap untuk menyikapinya?
Mending kerja londrian ketimbang membaca Voltaire atau menjadi literator! Tanpa perlu sibuk menafsirkan (karya) literasi dengan tetek bengek langkah hermeneutika, sudah dapat uang. Kongkret kamerad!
Salam literasi!
Salam juga untuk hipsternya! (Arie Kamajaya)