Pembukaan pameran seni bertajuk “Fuck The World, I Want to Dream” dibuka pada Sabtu (26/8) di Rumah Lama Kopi. Pembukaan tersebut dibuka langsung oleh ibu dari seniman pameran seni tersebut, Aqil Prabowo. Aqil sendiri merupakan salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain itu, dalam pameran ini, Aqil pula berkolaborasi dengan mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, Wafinatra sebagai art manager. Tajuk “Fuck The World, I Want to Dream” itu tak lepas dari konsep yang digarap Aqil bersama sang kurator, Arga Aditya.
Pameran “Fuck The World, I Want to Dream”, menurut Aqil, adalah pameran sederhana yang menjadi batu loncatan sebagai seniman muda. “Loncat itu kalau jauh-jauh dan berkali-kali capek. Namun, kalau loncatnya bertahap, tapi terus-menerus, itu akan jauh lebih baik karena kata ibu saya, hidup itu maraton, bukan sprint,” tambah Aqil. Bagi Aqil, langkah-langkah itu tidak dilihat dari seberapa besar dan kecilnya loncatan, tetapi juga dari proses-proses kecil yang luar biasa.
Berikan Ruang Untuk Anakmu, Bebaskan Ia Menggapai Universe
Ibu Aqil, Liya adalah salah satu orang yang berdedikasi bagi kehidupan sang seniman, setidaknya begitulah yang dirasakan Aqil. “Sebagai seorang ibu, dunia saya seakan runtuh ketika mengetahui Aqil memiliki disleksia, sehingga saya bertekad untuk memberi ruang kepada Aqil,” ungkap Liya. Saat itu, dunia Liya seakan runtuh, ia mengaku bahwa dirinya tak sengaja bertemu dengan Warno, orang yang menurutnya turut andil dalam kehidupan Aqil dan keluarganya. Liya juga menjelaskan bahwasanya Warno berhasil mengajak Aqil untuk menjejak dan menggapai universe-nya.
Arga, juga mengatakan bagaimana seorang Aqil bercerita perihal ibu dan mengapa ia memilih ibunya untuk membuka pameran. “Sosok ibu memberi fondasi yang benar-benar kuat dalam karya artistik seorang Aqil dan itu tidak luput pula dari peran ayahnya,” tegas Arga.
Alih-alih membatasi Aqil, Liya yang biasa berada bersama Aqil berusaha untuk mampu memberi ruang kepada anaknya. “Biarkan alam membuat anakmu berkembang, universe memiliki cara agar seseorang menjadi matang,” ucap Liya. Menurutnya, tempat terbaik untuk berkembang adalah menjadi diri sendiri. Liya juga menjelaskan bahwa baginya, melepaskan adalah salah satu hal yang sulit. Namun, ia memberanikan diri untuk percaya bahwa takdir Tuhan adalah baik. “Setiap orang punya masa, setiap masa punya orang,” tambah Liya.
Senada dengan Liya, Warno berpendapat bahwa kreativitas anak haruslah dibentuk dan dibangun melalui cara-cara tertentu. “Yang dibutuhkan anak-anak adalah ruang untuk mereka berkarya,” tegas Warno. Pernyataan tersebut membuat Liya tidak dapat menghilangkan Warno sebagai pakde Aqil dalam kehidupannya.
Makna Filosofi pada Lukisan, Tak Hanya Sebatas Pameran
Wafi mengaku bahwa pameran ini berangkat dari kampus, kemudian banyak bercerita berbagai macam kisah dan salah satunya adalah seni rupa di Yogyakarta. “Menurutku, Aqil kalau di kampus bisa dibilang sebagai seniman ‘sembunyi’. Secara karir dan proses kekaryaan, menurutku Aqil sudah cukup untuk menjadi seniman yang emerging,” lanjut Wafi.
Aqil mengatakan bahwa persiapan pameran Fuck The World, I Want to Dream dimulai dengan konsep yang absurd. “Waktu awal proses bikin pameran ini, aku sama Mas Arga itu ibaratnya ngalor-ngidul-lah, paling 70% bikin konsep, selanjutnya ga kemana-mana sampai akhirnya jadi juga kami bikin instalasi ini.” terangnya.
Aqil dalam menggarap pameran ini mempertahankan prinsipnya, yakni dengan menganggap semua karya adalah seni. Baik skripsi, karya ilmiah, maupun paper karena baginya, semua itu terdapat premis dan sistematis. “Sebagai contoh pameran ini, pembukaan itu kalau di karya ilmiah adalah abstrak. Abstrak itu akan diarahkan ke arah tulisan kuratorial, itu introduction, baru menjabarkan setiap topiknya, yakni lukisan-lukisan ini,” jelas Aqil.
Melalui karyanya, Aqil mencoba menggambarkan konsepsi tidak terbatas. Batasan tercipta pada diri masing-masing seorang seniman, batasan melahirkan kreativitas. “Batasan dalam berkarya itu ya adalah ‘malu, tapi kalau kita malu, ya tidak akan jadi seni. Ibarat kata, dalam berkarya, kita harus menelanjangkan diri,” tegas Aqil.
Dalam berkarya, Aqil mencoba untuk melucuti diri. Instalasi tersebut ia ibaratkan sebagai sebuah skripsi dan dirinya yang melakukan riset. “Riset terhadap orang lain tidak akan seintim ketika kita riset diri kita sendiri,” tegas Aqil. Menurut Aqil, dalam sebuah karya, dapat berawal dari visual pola. “Berawal dari referensi yang menghasilkan garis, mampu menjadikannya sebagai sebuah karya. Semua karya ini didasari manifestasi rasa atas diriku terhadap pengalaman dan diari hingga akhirnya menjadi visual,” tambah Aqil.
Sebagai penutup, Aqil, selaku seniman mengatakan bahwa akan selalu ada pembawaan dari makna hidup yang perlu diapresiasi. Salah satunya yakni keberhasilan dengan berani untuk berbuat salah.
“Tidak apa-apa berbuat salah, itu adalah hakmu untuk belajar. Sekali lagi, berbuat salah adalah hakmu. Tanpa berbuat salah kamu tidak akan dapat belajar,” tutup Aqil.
Penulis: Angelina Tiara Puspitalova
Penyunting: Melvinda Eliana
Fotografer: Adimas Irawan