Skenario Paripurna, Lumpuhkan KPK Cederai Demokrasi Indonesia

0
873

(bpmfpijar.com/ ilustrasi: parama) 

Beberapa waktu ke belakang, isu mengenai Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menjadi pembicaraan hangat di ruang publik. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil dan materiil Undang-Undang (UU) KPK, serta dampaknya terhadap pengalihan status kepegawaian di internal KPK, ditengarai menandai akhir perjalanan dari lembaga antirasuah itu. 

Untuk menelisik lebih detail mengenai isu tersebut, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menyelenggarakan diskusi yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube-nya dengan tajuk “Akhir Kisah Komisi Pemberantasan Korupsi”, Kamis (06/05). 

Dalam diskusi ini, turut menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya Prof. Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran; Zainal A. Mochtar, pegiat antikorupsi Pukat UGM dan Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM; Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); dan Kurnia Ramadhana; Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW). Keempat pembicara tersebut dimoderatori langsung oleh Yuris Rezha.

Mengawali diskusi, Asfinawati atau yang akrab disapa Asfin, mengungkapkan bahwa dengan keluarnya putusan MK merupakan puncak dari rentetan upaya pelemahan terhadap KPK. Menurutnya, pelemahan KPK saat ini merupakan sebuah rangkaian skenario yang mengeskalasi, mengikat satu sama lain, dan dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. 

Dalam pemaparannya, Asfin menggambarkan rentetan usaha pelemahan KPK tersebut, terkhusus menyoal ketegangan antara KPK dan Polri dengan istilah “Cicak vs Buaya”. Ringkasnya, kata Asfin, perseteruan Cicak vs Buaya Jilid I dan II bermula pada tahun 2009. Kala itu, Susno Duadji, Kepala Bareskrim Polri ditangkap hingga dikriminalisasi KPK atas beberapa skandal korupsi yang menjeratnya. 

Tak lama setelah itu, muncul beberapa upaya serangan balik ke KPK. Menurut Asfin, KPK beberapa kali dan hingga saat ini dikepung bahkan mendapat teror fisik maupun non-fisik. “Di sisi lain, KPK juga pernah menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, maka peristiwa ini bisa disebut Cicak vs Buaya Jilid III,” paparnya.

Lebih lanjut, Asfin mengungkap upaya pelemahan terhadap KPK selanjutnya yakni pada kontroversi komposisi panitia seleksi calon pimpinan KPK 2019-2023 yang bermasalah, karena berindikasi kuat dengan institusi kepolisian.

Selain itu, terpilihnya sejumlah nama-nama calon pimpinan yang diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi tak luput dari sorotan. Di mana pada September 2019 ada 56 anggota Komisi III sepakat menyerahkan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK.  

Sementara itu, Prof. Susi menyorot Putusan MK terkait Uji Formil dan Materil revisi Undang-Undang KPK yang dinilai bermasalah. Prof. Susi, yang juga merupakan saksi ahli hukum dalam proses revisi tersebut menekankan akan pentingnya prosedur sebagai jantung hukum. Dengan begitu, prosedur yang tertuang dalam argumentasi MK dapat dinilai adil atau tidaknya. 

Pada argumentasi MK halaman 360-370 mengenai demonstrasi, “ada tidaknya menentukan keabsahan formalitas pembentukan undang-undang”. Prof. Susi menjelaskan dalam pembentukan Undang-Undang KPK terdapat masalah terkait rational acceptability antara DPR dan rakyat. “DPR bersama dengan Presiden betul-betul hanya memperlihatkan aspek legitimacy, tidak mempertimbangkan aspek legal efficacy dan rational acceptability,” papar Prof. Susi.

Dengan keluarnya putusan MK mengenai Uji Formil ini, Prof. Susi khawatir sebab tidak ada lagi kebebasan yang dimiliki oleh rakyat. Lebih-lebih, Zainal mengamati akan ada dua lembaga yang mati secara bersamaan, bukan hanya KPK tetapi juga MK. “Kalau kita cermati, putusan MK itu selalu kikuk dan gagu kala berhadapan dengan kepentingan politik,” ujar Zainal.

Kurnia menilai, Presiden dan DPR merupakan aktor yang paling krusial dari skenario pelemahan KPK. Salah satunya, nampak dalam proses seleksi Capim KPK dan pengesahan revisi UU KPK. “Tidak ada partisipasi publik saat seleksi Capim KPK kepada DPR dan Presiden. Jelas prinsip demokrasi dilanggar,” ujar Kurnia.

Lagi-lagi, Presiden tidak mengindahkan prinsip demokrasi, seperti halnya dalam aksi demonstrasi revisi UU KPK yang merenggang lima nyawa. Bagi Kurnia, Presiden tidak memaknai hal itu sebagai sesuatu yang genting dan justru tetap mengesahkan revisi Undang-Undang KPK.

Sementara DPR, lanjut Kurnia, dalam beberapa catatan sejarahnya, berulang kali tidak menginginkan KPK menjadi suatu lembaga yang kuat. Seperti adanya isu DPR ingin membekukan anggaran KPK dan perdebatan pembangunan gedung KPK. “Bahkan dalam UU KPK banyak kebijakan baru yang dianggap aneh keliru dan justru merombak kelembagaan KPK,” pungkas Kurnia.

Rangkaian upaya pelemahan KPK ini, papar Asfin, sebetulnya menunjukkan indikasi bahwa demokrasi Indonesia itu sudah runtuh. “Pondasi demokrasi sudah runtuh karena tidak ada check and balances kekuatan penyeimbang,” jelasnya. 

Asfin menerangkan, skenario tersebut adalah sebuah tindakan obstruction of justice, bukan obstruction of justice terhadap satu kasus per kasus, tetapi sebuah skenario serangan balik koruptor agar Indonesia kembali menjadi pada masa orde baru yang penuh dengan korupsi.

(Chalfi/Haris)

LEAVE A REPLY