Politik adalah konflik kepentingan yang disamarkan sebagai perang prinsip, mengelola urusan publik untuk keuntungan mereka sendiri. -Ambrose Pierce.
Riuh rendah mengiringi pergantian nakhoda kapal besar Universitas Gadjah Mada (UGM). Semua elemen seakan ingin terlibat dalam proses ini. Masa depan kampus yang dijuluki kerakyatan tersebut akan ditentukan dalam proses pemilihan rektor periode 2022-2027.
Lantas, bagaimana dengan mahasiswa Fakultas Filsafat dalam menyikapi hal tersebut?
Minggu (15/5), pukul 19.30 WIB melalui aplikasi Zoom Meeting, mahasiswa Fakultas Filsafat yang difasilitasi oleh Panitia Pengawalan Rektor Fakultas Filsafat mengadakan Musyawarah Mahasiswa Tingkat Fakultas guna membulatkan suara dalam pemilihan rektor periode 2022-2027. Suara yang dihasilkan pada musyawarah ini kemudian akan dibawa dalam forum “Musyawarah Mahasiswa Tingkat Universitas”, pada Rabu (17/5).
Dalam musyawarah ini, Tedy Aprilianto, perwakilan dari angkatan 2021, menilai bahwa ketiga calon rektor yang lolos seleksi oleh Senat Akademik tidak menunjukan keberpihakan terhadap kepentingan mahasiswa. “Semua calon rektor tidak serius menjawab pertanyaan terkait Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) dalam penjaringan aspirasi,” ujar Tedy.
Lebih lanjut, Tedy juga menyayangkan bahwa pelibatan mahasiswa dalam pemilihan rektor hanya diberi porsi sebesar 4 persen yang diwakili oleh Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM). Menurut Tedy, porsi ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan persentase suara dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) sebagai MWA Unsur Pemerintah dengan hak suara sebesar 35 persen.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ayom Mratita Purbandani, perwakilan dari angkatan 2019. Ia berpendapat bahwa suara yang dipegang oleh Mendikbud-Ristek terhitung terlalu besar untuk ukuran pihak eksternal universitas. Pasalnya, menurut Ayom, mereka yang akan terdampak oleh kebijakan rektor bukan pihak eksternal, melainkan mereka yang berada dalam lingkup internal universitas. Oleh karena itu, tidak ideal jika sebuah institusi pemerintah (baca: pihak eksternal) terlalu mengintervensi pemilihan rektor. “Elemen yang bergelut langsung dan terdampak dari kebijakan rektorlah yang seharusnya mendapat porsi lebih besar, tetapi ini justru kebalikannya,” terang Ayom.
Menurut Ayom, pada akhirnya kontestasi pemilihan rektor hanya sarat akan kepentingan politik praktis.
Sikap Politis Mahasiswa Filsafat : Abstain!
Secara historis, sikap abstain atau golput merupakan gerakan sosial-politik sebagai bentuk protes atas realitas politik yang memuakkan. Hal tersebut didasari oleh akumulasi kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap setiap calon yang berkontestasi.
Ayom menegaskan bahwa sikap abstain dari mahasiswa Fakultas Filsafat adalah sikap yang politis, sebab tidak menunjukan keberpihakan sendiri sudah merupakan suatu bentuk keberpihakan. “Dari ketiga calon rektor, memilih untuk tidak memilih di antara ketiganya merupakan sikap yang politis,” ujar Ayom.
Dalam hal ini, mahasiswa Fakultas Filsafat memiliki landasan untuk berada pada posisi abstain. Sebagaimana disampaikan pada musyawarah, Ayom menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan distingtif terkait visi, misi, dan program kerja yang disampaikan oleh ketiga calon rektor. “Jika merujuk pada program kerja yang diusung oleh ketiga calon rektor, ketiga calon rektor hanya menekankan kepada reformasi birokrasi, yang mana hal tersebut pasti terjadi seiring perubahan zaman,” jelas Ayom.
Lebih lanjut, Surya Iman, mahasiswa Fakultas Filsafat angkatan 2019 juga mengatakan bahwa yang disampaikan oleh ketiga calon rektor hanya sebatas jargon umum. “Program kerja dan motivasi yang disampaikan ketiga calon rektor sifatnya hanya retorika belaka,” tegas Surya. Surya menekankan bahwa tidak ada pembaharuan dan perbedaan pada program kerja yang ditawarkan serta visi misi di antara ketiga calon dengan rektor-rektor sebelumnya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk memilih salah satu di antara ketiganya, terlebih ketika tidak ada satupun di antara mereka yang menunjukan keberpihakan terhadap kepentingan mahasiswa.
Sebagai sorotan penting dalam musyawarah, Panitia Pemilihan Rektor Tingkat Fakultas Filsafat menilai bahwa ketiga calon rektor memang tidak menunjukkan keberpihakannya terhadap kepentingan mahasiswa. Hal ini didasari oleh ketidakseriusan ketiga calon rektor dalam menanggapi permasalahan SPMA, tidak adanya langkah konkret dalam mengatasi dan menangani kekerasan seksual yang tidak terbatas pada kerangka legal formal, serta tidak adanya program kerja yang memberikan perspektif keadilan dan inklusivitas gender.
Menurut Ayom, keberpihakan terhadap kepentingan mahasiswa merupakan indikator penting untuk menentukan rektor pada kalangan mahasiswa. “Posisi mahasiswa dan rektor terlampau jauh. Oleh karena itu, keberpihakan terhadap mahasiswa menjadi hal penting sebagai jaminan tersampaikannya aspirasi mahasiswa,” pungkas Ayom.
Pernyataan Sikap
- Kami, mahasiswa Fakultas Filsafat, tidak melihat adanya perbedaan distingtif terkait visi, misi, dan program kerja yang disampaikan oleh ketiga calon rektor. Jika merujuk pada program kerja yang diusung oleh ketiga calon rektor, kami menilai bahwa ketiga calon rektor hanya menekankan kepada reformasi birokrasi yang mana hal tersebut pasti akan terjadi seiring perubahan zaman. Alih-alih melihat adanya perbedaan maupun pembaharuan dari program kerja yang diusung oleh ketiga calon rektor, justru kami melihat bahwa yang disampaikan ketiga calon rektor hanya sebatas jargon umum yang berusaha untuk menarik simpatisan semata, tanpa benar-benar ada satu soal pun yang bersifat pembaharuan dan penyesuaian terhadap kepentingan mahasiswa, terutama mahasiswa Fakultas Filsafat;
- Kami, mahasiswa Fakultas Filsafat, menilai bahwa ketiga calon rektor tidak menunjukan keberpihakan terhadap kepentingan mahasiswa. Hal ini didasari oleh ketidakseriusan ketiga calon rektor dalam menanggapi permasalahan SPMA, tidak adanya langkah konkret dalam mengatasi dan menangani kekerasan seksual yang tidak terbatas pada kerangka legal formal, serta tidak adanya program kerja yang memberikan perspektif keadilan dan inklusivitas gender;
- Kami, mahasiswa Fakultas Filsafat, menilai bahwa proses pemilihan rektor ini eksklusif, elitis, sarat akan kepentingan politik praktis, serta tidak banyak memberi ruang bagi mahasiswa. Hal ini tercermin dari tupoksi suara mahasiswa yang diwakili oleh MWA UM hanya dengan persentase 4% yang mana suara tersebut terlalu kecil untuk dapat mempengaruhi keputusan. Padahal, rektor terpilih akan berpengaruh pada kebijakan yang ada di kampus, terutama urusan kemahasiswaan. Namun, alih-alih memberi ruang bagi mahasiswa sebagai entitas terbanyak secara kuantitas untuk menentukan rektor, justru kami sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat menilai bahwa sistem pemilihan rektor ini tidak menguntungkan bagi mahasiswa dan tidak menjamin tersampaikannya aspirasi-aspirasi mahasiswa;
Pukul 22.30 WIB, Panitia Pengawalan Rektor Tingkat Fakultas Filsafat membulatkan suara mahasiswa Fakultas Filsafat dengan mekanisme yang telah disepakati. Adapun hasil dari pembulatan suara tersebut adalah Badan Kegiatan Mahasiswa (BKM) atau Komunitas dengan persentase suara 50 persen menyatakan abstain dan elemen angkatan dengan persentase suara 50 persen juga menyatakan abstain. Dari situ telah disepakati bahwa mahasiswa Fakultas Filsafat menyatakan abstain pada pemilihan rektor UGM periode 2022-2027.
Akhir kata, mengutip akar rumput Filsafat, “Gitar ku petik, Bass ku betot. Situ yang mau naik, kok sini yang repot?”.
Penulis : Michelle Gabriela Momole
Penyunting : Dian Agustini