Rabu (1/5), Social Movement Institute (SMI) menggelar diskusi yang bertajuk “Orang Muda, Pada Akhirnya Kita adalah Buruh dan Harus Berserikat” dalam rangka Hari Buruh Internasional. Diskusi ini dihadiri oleh Sindikasi Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Serikat Pekerja Fisipol Universitas Gadjah Mada (SPF UGM), dan Buruh Ojol yang bertempat di Sekretariat SMI. “Diskusi malam ini bertujuan untuk memahami perkembangan buruh dan perjuangannya menuju masa depan yang lebih baik,” buka Melki, selaku moderator diskusi.
Sebagai pembukaan, Rezaldi, perwakilan SPF UGM memulai pernyataannya terkait kondisi buruh di dunia akademik. Menurutnya, gaji pokok yang didapatkan para dosen dalam memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi tidaklah mencukupi kebutuhan, sehingga alternatif yang diambil adalah mengambil proyek di luar kampus. “Jika mengandalkan dari kampus itu tidak cukup, ini sudah direncanakan oleh kami,” tambahnya.
Ia juga mengungkapkan masih adanya permasalahan tata kelola pendidikan yang berimbas pada beratnya beban administratif para dosen. Beban tersebut menghambat dosen dalam proses kenaikan jabatan fungsional. “Dosen sudah menjalankan Tri Dharma, tapi masih dibebani hal administrasi, dosen bukannya jadi peneliti melainkan mesin beroperasi bagi beberapa dosen,” tegasnya.
Rezaldi dan rekan-rekannya di Fisipol juga membentuk jaringan aspirasi untuk mengatasi permasalahan ini. Jaringan tersebut merespon keluhan dosen dan tenaga kependidikan terkait beban kerja berlebihan, ketiadaan BPJS bagi pekerja kontrak, dan minimnya peluang pengembangan diri. “Adanya serikat ini untuk memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan dosen dan tendik sesuai dengan Undang-Undang dan konstitusi,” harap Rezaldi.
Masalah buruh tak hanya terjadi dalam dunia akademik. Natasha, perwakilan Serikat Yogyakarta, mengungkapkan kondisi memprihatinkan buruh di industri kreatif. Eksploitasi dan fleksibilitas kerja yang mengungkung pekerja kreatif menyebabkan kontrak kerja dan upah yang tidak jelas. “Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan pola pikir, pengetahuan, dan kesadaran ketenagakerjaan,” terusnya.
Ia juga menambahkan, eksploitasi dan fleksibilitas kerja di dunia industri kreatif menjadi permasalahan serius. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang belum mencakup industri kreatif. “Eksploitasi dan fleksibilitas menjadi permasalahan yang harus dibenahi kembali dengan dasar kontrak yang tidak jelas dan menyandang fleksibilitas sebagai satu ranah kerja informal,” ungkap Natasha.
Ia pun melanjutkan pembahasan terkait bentuk eksploitasi yang dialami pekerja industri kreatif. Eksploitasi ini terbentuk pada terbatasnya kontrak dan upah kerja yang fleksibel, pekerja kreatif seringkali dipandang sebagai sukarelawan dalam industri kesenian. Ia pun memahami pentingnya pengalaman bagi anak muda, namun sering diabaikan pemberi kerja. “Pemberi kerja berkewajiban untuk mengakomodasi mobilitas pekerja,” tegasnya.
Terakhir, ia mengungkapkan bahwa permasalahan eksploitasi dan fleksibilitas kerja di industri kreatif dapat memicu rendahnya kesadaran kolektif dan serikat. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian dengan sistem kerja dan bahkan memicu apatisme pada generasi muda. “Kondisi ini dapat mengakibatkan tidak adanya jaminan bagi pekerja lepas yang dianggap dapat bekerja secara efisien di mana saja,” jelasnya.
Lebih lanjut, Quthub, perwakilan LBH Yogyakarta, menambahkan bahwa keberadaan buruh kreatif sebagai pekerja informal merupakan permasalahan besar lainnya. Ia menanyakan solusi mendesak yang dapat dilakukan untuk permasalahan ini. “Mengingat buruh informal memiliki keterbatasan dalam menuntut haknya berdasarkan hukum ketenagakerjaan,” tegasnya. Ia menilai LBH adalah pihak yang tepat untuk menangani permasalahan ini.
Akhir sesi, Quthub menjelaskan meski kontrak kerja di industri kreatif disepakati bersama, namun relasi kuasa turut mempengaruhi prosesnya. Ia menyoroti bahwa perusahaan masih menganggap buruh sebagai barang, meskipun Undang-Undang menyatakan bahwa buruh orang yang bekerja dan berhak mendapatkan upah. “Integritas kontrak perusahaan perlu menjadi pertimbangan penting bagi pekerja muda sebelum terlibat di dunia industri kreatif.” pungkasnya.
Penulis: Arya Hakiim, Keren Marselin
Editor: Aghli Maula
Ilustrator: Dani Ardian