Siang itu suhu udara mencapai -30 saat lelaki dengan setelan serba hitam mengangkat kertas bertuliskan ‘Dimas’ di pintu keluar Bandara Belgrade Nikola Tesla.
“Dobar Dan,” ujarnya.
Entah karena suhu yang amat dingin atau karena kelewat bahagia, aku hanya diam beberapa saat sampai dia memberikan pelukan dan memberi tahu namanya.
“Saya Miroslav dan ini Nevana,” katanya sambil menunjuk seorang perempuan yang keliatan seperti vokalis band metal. Aku hanya tersenyum dan tak tahu harus berkata apa, namun kali ini aku tahu mengapa aku diam saja, tidak lain dan tidak bukan karena kedinginan.
Jauh berbeda dengan udara yang terlewat dingin saat itu, justru kudapati orang-orangnya begitu hangat. Mereka membantu membawa koperku hingga ke halte bus. Kesan ramah yang kudapatkan kepada orang-orang Belgrade ini justru merenggang begitu kami sampai di bus. Banyak pasang mata yang menatapku dengan heran, atau malah ketus. Memang hari itu pakaianku agak berbeda dengan yang lainnya. Biar aku beri gambaran, hari itu cuaca begitu dingin ketika mereka lengkap dengan jaket tebal dan sarung tangannya. Yang aku kenakan justru kemeja putih lengan panjang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam seperti anak magang di SPBU Jakal, memang pada awalnya aku mengira dinginnya hanya sebelas-duabelas dengan Cangkringan, nyatanya begitu jauh berbeda. Kacau.
Hotel tempat aku tinggal letaknya di selatan kota, kurang lebih 20 menit dari bandara. Begitu sampai di sana aku disambut langsung oleh sang pemilik hotel. Vladimir Namanya. Sedikit banyak mengingatkanku pada Vladimir Putin atau Vladimir Lenin, hanya saja Vladimir yang ini adalah pemilik hotel, bukan Presiden Rusia atau Pemimpin Partai Bolshevik. Walaupun Vladimir, si pemilik hotel, gagal menebak asal negaraku, aku cukup kecewa sebetulnya dan justru bertanya-tanya sendiri: Apa aku tidak cukup Indonesia untuk dikenali, begitu? Vladimir sempat meminta maaf karena mengira aku dari Vietnam karena parasku, katanya, seperti orang-orang di film Rambo, menarik rasa-rasanya membayangkan diriku turut menyelematkan tahanan perang dari NVA dan Sekutu Soviet.
Menyusuri Belgrade seorang diri bermodal brosur yang berisi rekomendasi tempat-tempat penting di Belgrade dari Vladimir menjadi pilihan yang terbaik yang bisa dilakukan. Dengan brosur. Bayangkan betapa tidak milenialnya hal tersebut.
Berpedoman brosur yang diberikan Vladimir, St. Sava Temple menjadi tempat penting yang kukunjungi paling awal. Letaknya tak jauh dari penginapan, kurang lebih 10 menit dengan berjalan kaki ke arah utara. Sebuah gereja Ortodoks, salah satu yang terbesar di dunia. Di pintu masuk, tempat kidung-kidung dilantunkan, akan membawa ketenangan untuk siapapun yang berada di sana. Berbagai pernak-pernik dijual di sana, mulai dari salib kalung hingga kitab. Mengingat ini adalah tempat peribadatan, kebanyakan yang dijajakan adalah yang berhubungan dengan keagamaan. Memasuki bagian dalam, aku menemukan penunjuk arah yang menuntunku ke bawah tanah. Di sana, lukisan-lukisan untuk mengenang Santo Sava dipertunjukkan, dan barang-barang peninggalan nya dijejer rapi terlihat sangat melegakan. Kombinasi antara lantai berwarna emas dan marmer yang ditambah lantunan kidung membuat otot-otot kakiku menjadi lemas begitu menyaksikannya. Sulit menjelaskan dalam kata-kata bagaimana keindahannya. Namun, singkatnya aku hampir menangis. Aku mengakhiri segala bentuk keharuan ke tempat ini dengan menyulut sebatang rokok di pelatarannya. Di sampingku, seorang pria sedang terdengar marah kepada anaknya menggunakan bahasa Spanyol. Detik berikutnya, ia terlihat kebingungan merogohi sakunya dengan rokok bertengger di mulutnya.
“Lighter?” katanya sambil memperagakan menyalakan korek dengan tangannya. Kusodorkan sebuah korek yang ujungnya masih panas karena baru kugunakan.
“Gracias,” ucapnya. Beruntungnya, aku mengingat bagaimana Tuco Salamanca mengucapkan sama-sama dalam bahasa Spanyol dalam serial Breaking Bad sehingga aku tidak akan berakhir terlihat konyol.
“De nada,” ujarku. Mengasumsikan aku bisa berbahasa Spanyol, pria ini mengajakku mengobrol dengan bahasa Spanyol yang terdengar begitu cepat dan tak bisa kutangkap satupun maknanya. Merasa bahwa hal ini akan berakhir konyol apabila dilanjutkan, aku memutuskan untuk pergi, “Adios hermano”.
Tempat penting lainnya yang ditampilkan di Brosur adalah Republic Square. Patung pangeran Mihailo dan kudanya menjadi penampakkan pertama yang tertangkap oleh mataku. Di sini, burung-burung menari bersama jagung dan orang-orang lalu lalang tak karuan; ada yang sibuk memotret, ada yang bercanda dengan kolega ditemani wine hangat, ada juga yang duduk memelas di lantai dingin mengharap recehan jatuh di mangkuknya. Sementara aku hanya duduk sendirian sembari mengisap Djarum Super terakhirku, hingga seorang pria datang bertanya.
“What do you think about this place?” Tanyanya. Aku hanya menunjukkan ibu jariku sambil tersenyum.
“Di sini tempat semua orang berkumpul dan ada satu hal yang spesial di sini,” katanya.
“Di sini mereka menghabiskan uang tetapi mereka anggap itu suatu kenangan,” lanjutnya. Aku hanya mengangguk saja dan menikmati isapan terakhir rokokku.
“Ćao,” ucapnya sambil beranjak meninggalkanku dan membiarkan percakapan ini berakhir menggantung.
Waktu menunjukkan pukul tiga siang, masih terlalu awal untuk kembali. Mengingat aku masih memiliki banyak tenaga untuk berjalan. Berarti masih ada beberapa waktu berjalan-jalan sebentar lagi sembari memikirkan kembali apa yang pria itu coba katakan. Aku mencoba mengelilingi kembali tempat ini, kiri kanan jalan dipenuhi toko-toko pakaian terkenal dan pedagang yang menjual makanan tradisional. Aku memutuskan untuk mengisi perutku. Langkahku berhenti di sebuah restoran kecil. Pada buku menu menggunakan aksara Sirilik sepenuhnya, sebagai seorang yang tak pernah mempelajari aksara lain selain aksara Romawi jelas aku dibuat kebingungan hingga kuputuskan untuk melantangkan suaraku dan mengucapkan, “Chicken and coke, please Sir!”
Tak lama seorang pria datang dan menyajikan makanan yang terlihat seperti kebanyakan burger di Indonesia. “Pileći Batak and Coke,” katanya.
“Hah?” sahutku spontan.
“Pileći Batak,” katanya. “Batak is chicken.”
“Pantek kali bah,” sahutku spontan.
Sebagai turunan Batak asli, kecewa sekali aku mendengarnya. Bagaimana tidak, suku bangsa yang aku bangga-banggakan selama ini rupanya di sini artinya ayam. Bayangkan, hanya sebatas ayam. Rasanya nyali Batakku ini diciutkan dengan sebutan ayam yang identik dengan pengecut.
Aku bangkit dari restoran itu, melanjutkan perjalananku hingga berakhir di sebuah taman luas yang dikelilingi tembok-tembok besar dan kokoh.
Masih berpedoman pada brosur yang sama, aku sampai di Kalemegdan. Sebutan yang disematkan orang-orang Belgrade untuk taman tersebut. Tempat ini dikenal juga dengan nama Benteng Belgrade, memiliki sejarah panjang dan pengaruh penting bagi negeri-negeri di dataran Balkan. Tempat yang tampaknya selalu ramai. Kata Kalemegdan berasal dari bahasa Turki “Kale” yang berati benteng dan “megdan” yang artinya tanah lapang. Mengutip dari brosur yang kupegang, bangunan ini sudah ada sejak awal abad ke dua dan sudah berulang kali dihancurkan lalu dibangun lagi karena peperangan.
Brosur sudah habis kubolak-balik, beberapa tempat penting sudah kukunjungi, dan matahari sudah mulai beranjak ke arah barat saat itu. Aku masih menyusuri setiap sudut banteng saat itu. Udara semakin dingin, kira-kira pukul empat sore hingga akhirnya aku sampai di ujung benteng. Aku duduk di sana sambil menunggu matahari terbenam di puncak benteng paling penting di Balkan ditemani pemandangan kapal yang bersender di bibir sungai lalu di bangku lainnya seorang pasangan ber-romansa ria.
Hari mulai gelap, dan aku lemah dengan angin malam. Aku beranjak meninggalkan Kalemegdan menuju halte bus terdekat, harapanku di halte ada orang yang bisa memberi tahuku bus mana yang bisa aku tumpangi menuju ke hotelku. Seorang wanita paruh baya ada di sana. Ia mengisyaratkan nomor bus mana yang harus aku naiki saat kutunjukkan alamat hotelku. Di halte, aku hanya bisa senyum-senyum, tak terpikir juga olehku bagaimana akhirnya aku bisa sampai di sini, di benua biru. Lalu teringat olehku kata-kata seorang penyair masyhur fakultasku:
“Aku Dim, kalau jadi kamu, bakal lari dari kegiatan. Kalau udah gak tahu lagi harus apa, baru minta tolong bokap supaya dipulangin,” tukasnya.
Memang, idenya Pramodana hanya pantas sebatas untuk disenyumin atau indah apabila dibayangkan di kepala tetapi jelas bakal jadi perkara besar kalau dilakukan sungguhan.
(Dimas/Ayom)