“Aparat kepolisian dan militer tetap menjadi perkakas efektif negara dalam menekan siapapun yang berani melawan,” ucap Ahmad Ryan Faza, selaku divisi acara aksi September Nestapa dalam mengantongi gambaran lembaga aparatur negara.
Aksi yang berlangsung pada Senin (25/9) berlokasi di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menitikberatkan perhatiannya pada permasalahan Rekoleksi Kejahatan Negara. Aliansi Mahasiswa UGM bersama dengan mahasiswa lainnya membawa semangat yang sama dalam aksi ini. Mereka berusaha memperjuangkan keadilan bagi orang-orang yang diperlakukan tidak adil dengan membawa beberapa tuntutan. Tuntutan tersebut mengekspos empat fokus utama yang diungkapkan dalam aksi, termasuk diantaranya:
- Menghentikan semua langkah-langkah represif yang dilakukan aparat kepada masyarakat;
- Menyelidiki tindakan aparat terkait tindakan represif yang terjadi akhir-akhir ini;
- Mengadili pihak-pihak yang melakukan tindakan represif terhadap warga dengan hukum yang seadil-adilnya;
- Hentikan produksi dan penggunaan gas air mata sebagai senjata pengendali massa.
Negara, Berikan Tanggung Jawabmu!
Aksi ini merupakan bentuk tuntutan yang digaungkan, bertujuan untuk mendorong negara menghentikan tindakan represif terhadap masyarakat. Selain itu, aksi ini juga meminta pemerintah untuk bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Aksi ini dilaksanakan di Bundaran UGM sebagai bentuk tuntutan sikap kepada pihak universitas untuk peduli terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. “Kami juga menuntut kampus kami, UGM, yang mengaku sebagai kampus kerakyatan untuk vokal dan sadar akan tanggung jawab intelektual terhadap kasus pelanggaran HAM yang menindas rakyat Indonesia,” ujar Faza.
Lebih lanjut, Sekitar pukul setengah lima sore, massa aksi mulai bergerak dari lapangan Pancasila menuju bundaran UGM. Rangkaian aksi yang dilakukan meliputi beberapa aksi simbolis, yakni dengan membawa replika nisan, menyalakan lilin, dan mengheningkan cipta.
Suara orasi dalam September Nestapa disampaikan oleh berbagai kelompok mahasiswa. Seperti Aliansi Mahasiswa UGM, serta mahasiswa dari berbagai fakultas yang turut hadir dan mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap situasi yang ada. Bermigrasi dari orasi, mahasiswa juga menyerukan pernyataan sikap mereka dengan salah satu peserta berkostum pocong. Hal tersebut menggambarkan para korban yang meninggal akibat kasus pelanggaran HAM, seperti Peristiwa 30 September dan Tragedi Semanggi serta matinya keadilan di Indonesia sejauh ini.
Tumbuhkan Rasa Kemanusiaan, Ciptakan Kesadaran
Orator dalam September Nestapa menyebutkan bahwa momentum aksi ini bertepatan dengan September Hitam. “Kekerasan yang telah dan sedang terjadi di Rembang menambah deretan panjang tindak kejahatan oleh negara terhadap rakyat,” tuturnya. Mochamad Zidan, sebagai salah satu peserta aksi memberi tanggapan terkait keberlanjutan aksi ini. “Perlu untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa baru agar peduli, dan mengantarkan mereka ke aksi-aksi berikutnya,” ucap Zidan.
Salah satu momen menarik selama aksi ialah pembagian bunga sebagai simbol kemanusiaan kepada aparat polisi. Faza berharap agar aparat polisi dapat memahami rasa kemanusiaan dan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat saat menjalankan tugas mereka. “Berkaca dari kasus di Rempang, Wadas, dan Kanjuruhan,mereka hanya bertindak sebagai alat perkakas tanpa adanya konsiderasi pada kesejahteraan masyarakat, padahal tugas utamanya mengayomi.” lanjut Faza.
Larisa sebagai salah satu peserta aksi kali ini berharap bahwa harus ada bentuk tanggung jawab yang jelas terhadap tindakan-tindakan represif. Terutama yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat, seperti permasalahan agraria Wadas dan Rempang. Menurutnya, hal tersebut penting untuk diperhatikan karena Indonesia merupakan negara agraris yang sangat rentan akan terjadinya kasus-kasus serupa. “Harus ada penindaklanjutan dan penuntasan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang menyangkut isu agraria dan penindasan oleh aparat dalam prosesnya yang menyalahi asas manusia,” ujar Larisa.
Lebih lanjut, Larisa juga berharap mahasiswa harus mengambil peran di dalam masyarakat, terutama dalam membela hak-hak mereka. “Mahasiswa harus menentukan sikap atas permasalahan yang terjadi serta membantu orang-orang yang dirugikan,” ucap Larisa.
Aksi diakhiri dengan penyalaan lilin yang sekaligus menjadi sebuah momen refleksi dan bentuk peringatan atas berbagai kasus HAM. Faza berpendapat bahwa aksi malam ini lebih berfokus pada perkabungan dibandingkan aksi massa. “Kita berduka dan sedih atas meninggalnya, ditindasnya masyarakat Indonesia oleh rezim saat ini atau pendahulu yang juga sebagai peringatan bagi kita semua,” tambah Faza.
Aksi ini diharapkan dapat menyadarkan negara bahwa mereka masih harus memperhatikan kasus-kasus HAM. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi harus segera dihentikan. Tindakan represif yang dilakukan oleh seluruh aparat keamanan harus segera ditindak lanjuti, serta memberikan bukti konkrit dalam menyelesaikan kasus-kasus tersebut. “Diharapkan aparat dapat memahami rasa kemanusiaan dan dapat mengerti yang selama ini kita anggap tidak ada,” tutup Faza.
Penulis: Fais Adnan Hidayat, Safira Noor
Penyunting: Sukma Kanthi Nurani
Fotografer: Anas Abrar