“Selamat hari Kartini yah, ma!” ucap Sarah sembari mencium kening ibunya sebelum ia terlelap.
Udara lembap memberi suasana anyep kota Yogyakarta di malam menjelang akhir pekan ketiga di bulan april tahun ini. Tak terkecuali di Institut Francais Indonesia (IFI) Yogyakarta. Jalan yang basah dan segenang air pada satu kursi taman menandakan petang tadi sempat turun hujan disana.
Ada yang mengundang pehatian dari ujung barat gedung IFI saat itu. Terdapat banyak kerumunan orang yang terpisah, berdiri sambil membicarakan tentang bentuk pentas teater macam apa yang akan mereka tonton malam itu. Kebanyakan, sibuk membicarakan berbagai macam kesan dan pengalaman yang mereka alami saat menonton teater.
Kira-kira pukul 19.40 WIB, pintu teater dibuka. Sekerumunan orang yang tadinya menunggu, mulai masuk ke ruangan dengan mendapat cap acara di punggung tangan. Mereka berbaris dalam empat atau lima barisan tak beraturan, membuat penuh setengah dari ruang showroom IFI.
Terdapat dua kursi, dua meja, dua lukisan dan seorang wanita yang sedang sibuk berkerja mengisi sisa setengah ruangan yang disetting sebagai ruang kerja. Lampu pameran yang banyak bergelantungan di langit-langit ruangan menerangi seluruh sisi ruangan, sebelum hanya dipakai beberapa diantaranya sebagai penanda adegan akan dimulai.
Tak ada tempat duduk penonton dan kebisingan dibiarkan berisik. Penonton seperti tidak diarahkan untuk menonton sebuah pentas teater. Adegan pembuka pun dimulai begitu saja. Tanpa ada salam atau pembukaan, membuat sebagian penonton terutama yang datang belakangan, tidak tahu bahwa pentas telah dimulai.
Wanita dalam ruang kerja itu tampak sibuk mengurusi urusan periklanan perusahaan. Ia mencatat beberapa catatan, membuka dan membolak-balikkan lembar demi lembar berkas dan buku arsip yang tertumpuk rapi di meja kerjanya. Sambil sesekali mengecek telepon genggamnya untuk membaca notes atau pesan yang masuk. Ia melakukan aktivitas layaknya kepala bagian kantor yang sibuk. Pandangan matanya tak lepas dari lembaran berkas-berkas, arsip dan layar telepon genggamnya.
Tiba-tiba masuk seorang lelaki yang merupakan pimpinan perusahaan tempat wanita itu berkerja. Berpakaian rapi dengan jas lengkap dengan dasinya serta bersepatu kulit. Ia membujuk wanita itu untuk ikut dalam suatu program acara televisi untuk memperingati hari Kartini agar mempopulerkan nama perusahaan. Wanita yang belakangan diketahui memainkan peran sebagai Sarah Medina itu dengan ogah-ogahan kurang bersedia menerima ajakan dengan mengajukan jawab yang acuh, hampir setengah abai.
Selanjutnya, adegan berganti latar. Penonton diarahkan masuk ke dalam ruang studio pertunjukan IFI. Kru studio acara menuntun penonton untuk mengisi tempat duduk berundak layaknya akan menonton sebuah pertunjukan. Setelah terisi penuh, dua orang kru bagian mengucapkan salam, memberi arahan dan intruksi-instruksi kapan penonton harus bertepuk tangan, tertawa. Dari arahan dua kru tersebut sudah bisa diduga, ini adalah acara talkshow dalam sebuah teater.
Seluruh mekanisme acara diatur sedemikan rupa hingga menjadi sama seperti serial talkshow di layar televisi kebanyakan. Mulai dari pengarahan penonton, penata artistik, pembawa acara (host dan co-host) hingga peran time keeper ada di sana. Penonton dibuat seolah-olah sedang menonton talkshow secara langsung.
Teater-talkshow yang bertepatan dengan hari Kartini itu membicarakan perempuan. Lebih sempitnya, membicarakan kecantikan pada perempuan. Berbagai narasumber mulai dari artis yang sedang naik daun, pelajar intelek yang kritis, mantan model sampul majalah, kepala bidang periklanan sebuah perusahaan, hingga dokter kecantikan perempuan dihadirkan untuk membicarakan tema talkshow hari itu. Juga, penonton juga diajak berbicara “apa itu cantik?” dan “mengapa ia harus tampil cantik?”
Semua segmen dan obrolan talkshow berjalan lancar sampai terjadi pertengkaran antara pemeran Karina, mantan model sampul majalah dengan Adelia, artis yang sedang naik daun. Panitia terpaksa mengakhiri acara talkshow karena hal ini.
Talkshow dapat dikatakan sebagai “bentuk bangunan utama” dalam pentas teater ini. Dalam pentas ini, mula-mula dihadirkan adegan teater tradisional yang sangat formal, kaku, penampilan sesuai dengan naskah dan penonton diabaikan secara total. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada arahan. Tidak ada pengkondisian kepada penonton. Kemudian, talkshow mengambil porsi terbanyak hingga ia membangun ide cerita teater sebelum ditutup dengan bentuk teater tradisional kembali dengan menampilkan kepulangan Sarah di rumahnya.
Bentuk talkshow sangat mudah menjadi media untuk menjalin interaksi antara penonton dengan aktor karena talkshow sendiri menuntut adanya interaksi komunikasi secara lisan; berbicara. Ini terbukti ketika aktor, terutama host dan co-host membicarakan “apa itu cantik?”, “mengapa seseorang harus tampil cantik?” mendapat tanggapan yang beragam dari penonton. Tanggapan seperti “tampil cantik ya pengin aja”, “tampil cantik supaya pede ketemu orang” atau ”aku cantik karena ingin dapet pujian dari suami” terlontar dari penonton saat pentas kali ini.
Ada interaksi antar kedua unsur teater; penonton teater dan aktor pemeran teater.
Pentas diakhiri dengan adegan kepulangan Sarah Medina dari acara talkshow tadi. Berlatar ruang keluarga dan suasana yang dingin, ia menemui dan mendengar cerita ibunya yang ternyata menonton acara talkshow melalui televisi. Ibunya kaget anaknya masuk televisi. Karena capai dan tuntutan pekerjaan besok, Sarah minta pamit untuk tidur.
Pentas Sulamin Bibir Saya, dong! ini ditutup dengan keambiguan dari Sarah ketika ibunya menanyakan apa yang dibicarakan dari talkshow tadi. Ia tak memberi jawaban jelas. Ia hanya memeluk tubuh ibunya dari belakang seraya berkata, “Selamat Hari Kartini yah, ma!” sembari mencium kening ibunya sebelum ia terlelap.
***
Dalam berbagai pentas teater, penonton seringkali hanya dijadikan penonton. Ia hanya menjadi pemirsa, suatu hal yang tidak dianggap, acapkali dilupakan. Bahkan posisinya dalam unsur pertunjukan, tak jarang hanya dijadikan obyek yang pasif. Apa yang dilakukan penonton tidak akan mempengaruhi jalannya pentas sebuah pertunjukan teater. Semua adegan berjalan liner sesuai dengan peran yang dimainkan pemeran.
Teater sebagai seni pertunjukan seharusnya mampu menjadi media untuk menampilkan realitas seutuhnya dan menemukan solusi atas masalah yang diangkat. Artinya, teater seharusnya tidak memiliki batas. Teater tidak semestinya bersifat estoris melainkan terbuka untuk massa. Konsep teater seperti ini tidak mengandalkan formalitas baik terikat pada bentuk penyampaiannya atau pun permasalahan teknis dalam teater sendiri. Bentuk penyampaian tidak lagi menjadi soal supaya teater tetap terbuka untuk massa.
Tak ada batasan antara aktor dan penonton dalam teater yang bersifat terbuka. Penonton bebas menanggapi tingkah laku atau pun segala hal yang dibicarakan aktor teater dan ditanggapi balik oleh aktor. Di sini, hakikat teater sebagai seni pertunjukan massa di rasakan untuk kepentingan massa bukan sebagai pertunjukan yang hanya dimiliki dan dimengerti segelitir elit yang perasaannya telah terlatih untuk peka menikmati teater.
Salah satu usaha yang dilakukan FAY adalah dengan menyelenggarakan teater dalam bentuk talkshow. Sayang, dalam pelaksanaanya masih belum berhasil.
Bentuk talkshow dalam teater sendiri merupakan salah satu representasi dari “teater forum” a la Agusto Boal, seorang Brazil yang tekun di bidang teater. Menurutnya, dalam teater seharusnya tak ada batasan antara penonton (spectator) dangan pemeran teater (actor). Spectator membaur dengan actor manjadi sebuah relasi yang disebut“spect-actor”.
Lebih jauh lagi, Boal menegaskan bahwa bentuk teater yang terbuka untuk massa ini bisa dijadikan media dalam kegiatan politik-demokrasi. Boal melihat teater bisa dijadikan panggung demokrasi. Teater berguna bagi kelangsungan hidup sosial-masyarakat. Dengan menggunakan prinsip teater forum (relasi spect-actor) yang dikaitkan dengan badan legislatif, Boal yang sempat menjadi walikota Brazil untuk periode 1993-1996 berhasil meresmikan belasan kebijakan-kebijakan atau undang-undang melalui sistem teater terbuka seperti ini.
Pentas teater FAY kali ini masih belum bisa membawa penonton terlibat dalam suatu pentas teater. Teater belum bisa dikatakan terbuka, bahkan dalam adegan talkshownya sekalipun.
Dalam pentas teater Sulamin Bibir Saya, dong!, bentuk teater yang “hidup” dan teater “mati” digabungkan menjadi kesatuan. Teater hidup dikemas dalam bentuk talkshow yang (seharusnya) berjalan mengalir dan komunikatif, sedangkan teater mati dalam bentuk teater tradisional di awal dan akhir pentas yang terkesan kaku, hanya mengikuti alur linier dari skenario yang tertulis.
Talkshow yang sebenarnya bisa menjadi alat untuk membuat suasana menjadi hidup dan komunikatif , kurang ditekankan potensinya. Talkshow masih dijalankan secara linier. Talkshow dalam teater ini memang berhasil membuka perbincangan “apa itu cantik?”, “mengapa seseorang harus tampil cantik?”, namun, ia seakan berhenti sendiri setelah berhasil membuka perbincangan. Tak ada yang bisa disimpulkan dari perbincangan yang dibangun, baik dari pemeran, khususnya bintang tamu atau pun dari penonton. Masing-masing masih berdiri sama kuatnya.Permasalahan kecantikan yang ingin diangkat membuat kesan yang menggantung karena bentuk talkshow yang masih belum terbuka.
Kesan menggantung dipertegas dengan peralihan bentuk antara teater tradisional dengan teater “forum” dalam bentuk talkshow. Teater yang diawali dengan bentuk teater tradisional membuat penonton acuh bahkan ada yang tidak mengetahui sudah dimulainya adegan pembuka dalam teater. Begitupula setelah talkshow berakhir. Teater dikembalikan dalam bentuk teater tradisional lagi seakan-akan dianggap telah “berhasil” menutup perbincangan kencantikan pada perempuan malam itu.
Tetapi, karena teater Sulamin Bibir Saya, dong! mungkin diselenggarakan sebagai perayaan seremoni, wajar dan sah-sah saja. Wajar dalam artian, teater diselenggarakan hanya sebagai serangkaian kegiatan perayaan di tanggal 21 April, dan tidak membawa tujuan politis, masih tetap bisa dinikmati sebagai hiburan. Sah-sah saja, penonton hanya mendapat hiburan dari sebuah teater. (Arie Kamajaya/Ajeng)