Saya Homo, Saya Bukan Homo

0
1671
Sumber: www.tribunnews.com

Akhirnya, Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin oleh seorang hakim konservatif mensahkan pernikahan sesama-jenis. Karena hal ini terjadi di Amerika Serikat, efeknya tentu luar biasa: tiba-tiba isu seks dan gender kembali menyeruak di seluruh belahan dunia, terutama yang berkaitan dengan LGBTQ. Isu ini menjadi topik sehari-hari, yang, serupa dengan isu-isu vital berujung politis lainnya, pandangan masyarakat tentangnya sangat terkutub antara yang mendukung dan yang menentang. Tidak jauh berbeda dengan perselisihan ateis versus agamawan yang tak ada ujungnya.

Dalam kaitannya dengan pernikahan sesama jenis, mesti yang diperdebatkan adalah hak manusia. Apakah mereka yang hubungannya “tidak natural” berhak mendapatkan hak perlindungan hukum yang sama dengan mereka yang “natural”? Jika ingin menjadikannya sebatas persoalan ideologis, mestinya cukup dengan pernyataan “saya adalah manusia, sama seperti Anda, dan apa yang saya lakukan tidak menyakiti Anda.”

Tapi tidak semudah itu. Butuh alasan untuk menolak adanya hubungan homoseksual dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak natural, dan kebutuhan ini menarik perdebatan sampai kepada persoalan seksualitas itu sendiri. Hal ini mengangkat pertanyaan mendasar: apakah seksualitas merupakan sesuatu yang alamiah, ataukah sebuah konstruksi sosial (belaka)? Ketika sampai pada pertanyaan ini, terlihat bahwa pihak-pihak pendukung tidak selalu menggunakan kacamata yang sama dalam memandang LGBTQ, dan sebaliknya. Tidak ada persetujuan, meskipun sama-sama mendukung atau menentang. Tidak jauh berbeda dengan perdebatan panjang determinisme versus kebebasan berkehendak yang tak ada ujungnya.

Bagaimanapun, setiap kubu pada masa kini umumnya memiliki asumsi dasar yang sama: bahwa orientasi seksual adalah suatu bentuk identitas, sama halnya dengan gender. Bahwa yang dibicarakan adalah apakah menjadi seorang gay bermoral atau tidak. Berbicara tentang hal-hal yang lebih luas daripada sekedar “menjadi seorang gay” seperti tindakan sodomi itu sendiri, apakah sebuah hubungan gay tanpa tindakan seks dibolehkan, dan seterusnya, mungkin terlalu rumit dan ke luar konteks bagi kedua kubu.

Pendukung hak gay memiliki hal riil yang diperjuangkan: persamaan hak sebagai manusia terlepas dari identitas seksual, dan akan sulit menyalahkan secara mutlak identitas gay jika berbicara lebih luas dari itu. Karena berdebat tentang tindakan sodomi—yang, meski identik dengan pasangan homoseksual, bisa juga dilakukan oleh pasangan heteroseksual—justru akan menghancurkan perjuangan mereka.

Hal ini menjadi salah satu alternatif perjuangan kaum homoseksual dengan mengesampingkan perdebatan mendasar yang melelahkan dan fokus kepada masalah di permukaan. Dapat dikatakan lebih efektif, apalagi dalam konteks liberalistis yang merupakan pandangan populer saat ini, setidaknya di dunia barat.

Di sisi lain, paradigma ini akan mengerucutkan masalah dengan mengonfirmasi terkotak-kotaknya identitas seksual. Dengan menyebut diri sebagai “homoseksual”, secara tidak langsung para homoseksual mengakui bahwa dirinya “menyimpang”. Mereka merepresentasikan kelompok menyimpang yang memohon persamaan hak, sementara lawan utama mereka adalah kelompok religius yang memiliki argumen mutlak: homoseksualitas adalah dosa, menghancurkan peradaban dan tak bisa diberi ruang dalam masyarakat. Mungkin mereka akan mengatakan, ingat cerita Nabi Luth, bagaimana Tuhan membuat bumi menelan kaum-kaum yang berdosa itu!

Tetapi apakah pada dasarnya memang seksualitas memiliki “orientasi” tertentu dan terkotak-kotakkan, antara yang heteroseksual dan homoseksual? Lebih jauh lagi, mereka yang “menyimpang” mengidentifikasi diri mereka sebagai gay, lesbian, biseksual, transgender, atau queer? Ataukah seksualitas memang merupakan sesuatu yang hakikatnya netral, suatu masalah preferensi yang sesederhana selera makan atau selera musik? Untuk mencari jawabannya, kita bisa mencoba mundur sedikit dari linimasa pergerakan LGBTQ sampai kepada awal munculnya pembacaan yang benar-benar baru terhadap sejarah seksualitas oleh Michel Foucault.

Foucault dalam The Confession of the Flesh mengatakan, “We have had sexuality since the eighteenth century, and sex since the nineteenth. What we had before that was no doubt the flesh.” Dengan kalimat ini, Foucault mengacu kepada perubahan politis terhadap tubuh dan hasrat-hasratnya. Tentu, menurut Foucault, seperti hal lainnya, seksualitas berkaitan dengan relasi kuasa. Secara sekilas, tampaknya wacana seksualitas mulai dibebaskan sejak abad ke-18—tetapi justru dengan “kebebasan” ini gagasan tentang seksualitas dikendalikan dengan rapi.

Pengendalian ini bukan dengan hukum yang mengatur bahwa penyimpangan seksual adalah haram, namun dengan berkembangnya diskursus tentang seksualitas. Diskursus ini yang mengendalikan masyarakat. Ketika masyarakat bebas berpikir dan menimbang tentang seksualitas, di situ kontrol terhadap seksualitas terinternalisasi dalam diri subjek, sehingga subjek sendiri dapat menyebut dirinya menyimpang atau tidak, tanpa perlu disiplin yang keras.

Pandangan Foucault ini mewakili kubu konstruksionisme sosial sebagai jawaban dari terkotak-kotaknya seksualitas. Seksualitas merupakan sesuatu yang jelas-jelas dibangun oleh diskursus tentangnya, di mana homoseksualitas pernah dianggap sebagai kelainan mental yang mesti diobati lewat psikiatri, tetapi sekarang hanya sebatas “tidak natural” dan mungkin hanya hasil pengaruh lingkungan dan sebagainya. Seperti yang telah disebut tadi, jika kita mundur kepada masa sebelum abad ke-18, larangan hanya berlaku untuk tindakan seksual spesifik seperti sodomi, seks luar nikah, atau bahkan seks non-prokreasional dalam pernikahan. Menarik bagaimana masa tersebut bahkan tidak menunjukkan adanya istilah tersendiri terhadap orientasi seksual tertentu.

Dengan melihat betapa dinamisnya gagasan tentang seksualitas dalam sejarah, dapat dilihat bahwa identitas seksual bukan merupakan hal yang kokoh dan internal. Kita dapat melihat persoalan identitas ini dalam pandangan Judith Butler, di mana ia dengan keras menyatakan bahwa persoalan “siapa aku?” dan “seperti apa aku?” adalah ilusi. Menurutnya, diri hanyalah suatu titik diskursif yang tidak stabil, di mana diskursus yang berkembang di sekitarnya berbenturan di dalam dirinya—norma-norma yang yang ditiru dan ditekankan berulang-ulanglah yang membentuk diri tersebut. Butler menegaskan betapa orang-orang telah begitu keliru dengan mempercayai bahwa seseorang memiliki identitas yang terpatri secara emosional dalam dirinya yang berasal dari kondisi alamiah biologisnya, yang dimanifestasikan oleh alat kelamin.

Namun pada akhirnya perasaan memiliki identitas telah terinternalisasi dengan sebegitu hebatnya, sehingga yang tersisa dari perjuangan LGBTQ adalah pembelaan atas identitas. Pada dasarnya, identitas itulah yang berdiri menghalangi langkah mereka yang “berbeda”, dan sulit untuk melepaskan identitas itu jika ingin membela hak mereka sebagai “yang berbeda”. (Ajeng/Jofie)

LEAVE A REPLY